TNI-POLRI dalam Kontestasi Pilkada 2018: Pertahankan Supremasi Sipil, Jaga Netralitas TNI-POLRI

Dinamika Pilkada serentak pada 2018 diwarnai dengan majunya para kandidat yang memiliki latar belakang anggota TNI dan Polri. Majunya para kandidat tersebut bukanlah hal yang baru, karena dalam Pilkada yang lalu juga terdapat para kandidat yang berasal dari TNI dan Polri. Namun demikian, pada saat ini sebagian kandidat dari kalangan TNI dan Polri telah memperlihatkan langkah politiknya sebelum mengundurkan diri. Hal inilah yang menimbulkan masalah bagi kehidupan demokrasi.

Dalam negara demokrasi, anggota TNI dan Polri tidak boleh berpolitik. Tugas TNI dan Polri di dalam negara demokrasi adalah untuk menjaga pertahanan dan keamanan negara dan tidak difungsikan untuk berpolitik. Penegasan tentang larangan anggota TNI dan Polri aktif tidak boleh berpolitik diatur secara jelas dalam UU No  34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Pasal 39 Ayat 2 UU TNI menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.” Sedangkan dalam UU Polri Pasal 28 Ayat 1 menyebutkan bahwa “Kepolisian negara republik Indonesia bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis.”

Penegasan tentang larangan untuk berpolitik di dalam UU Polri dan UU TNI sesungguhnya mensyaratkan kepada para anggota TNI dan anggota Polri untuk tidak melakukan langkah-langkah politik dalam ruang publik sebelum mereka mengundurkan diri. Dengan kata lain, sepanjang mereka masih aktif menjadi anggota TNI dan Polri maka seharusnya mereka tidak boleh melakukan kampanye politik, deklarasi politik, pemasangan atribut politik seperti baliho dan langkah-langkah politik lainnya.

Dari dinamika yang terjadi belakangan ini, kami melihat bahwa terdapat sebagian kandidat yang berasal dari TNI dan Polri yang masih aktif namun sudah terlebih dahulu melakukan manuver politik dalam ruang publik sebelum mereka mengundurkan diri. Hal ini tentu merupakan bentuk pelanggaran terhadap UU TNI dan UU Polri.

Di dalam negara demokrasi, sudah semestinya partai politik tidak memberikan ruang bagi anggota TNI dan Polri yang masih aktif untuk melakukan langkah-langkah politik dalam Pilkada. Partai politik semestinya meminta dan mendesak kepada para kandidat tersebut untuk mengundurkan diri.

Pembiaran atas langkah-langkah anggota TNI dan Polri aktif berpolitik akan berbahaya bagi kehidupan demokrasi. Hal itu juga merupakan bentuk kemunduran reformasi sektor keamanan. Upaya untuk tidak melibatkan militer maupun polisi dalam berpolitik adalah capaian yang esensial dari reformasi 1998. Dengan demikian, pembiaran atas langkah-langkah anggota TNI dan Polri dalam berpolitik (sebelum melakukan pensiun dini) adalah bentuk pengingkaran atas reformasi.

Penting untuk diingat, anggota TNI dan Polri memiliki jiwa esprit de corps dan struktur hirarki komando sehingga sepanjang mereka masih berstatus sebagai anggota TNI ataupun Polri aktif maka akan potensial mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (abuse of power). Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya pengerahan kekuatan militer ataupun polisi untuk memenangkan Pilkada.

Persoalan lemahnya pengaturan dalam UU Pilkada terkait dengan pelibatan militer dan polisi aktif sebagai calon kepala daerah seharusnya tidak dijadikan ruang untuk melegitimasi bagi anggota TNI dan Polri aktif untuk berpolitik. Pijakan payung hukum tentang larangan bagi anggota TNI dan Polri aktif tidak boleh berpolitik cukup jelas diatur dalam UU TNI dan UU Polri sehingga dalih lemahnya UU Pilkada tidak bisa dijadikan celah bagi para anggota TNI dan Polri aktif untuk melakukan langkah-langkoh politik dalam Pilkada.

Kami memandang, bahwa sangat penting dan sudah menjadi keharusan bagi aparat keamanan (Polisi, TNI, Intelijen) untuk bersikap netral dan profesional menjelang dan pada saat pelaksanaan hajatan Pilkada ke depan. Pemihakan pada salah satu kandidat atau pemanfaatan situasi politik untuk tujuan lain yang merupakan bentuk dari penyimpangan profesionalitasnya harus dihindari. Dalam konteks ini, profesionalisme aparat sangat penting dan dibutuhkan untuk menjamin dan memastikan proses Pilkada berjalan demokratis, aman dan damai. Hal ini ini harus diwujudkan dengan independensi dan berfokus menjamin keamanan sesuai dengan fungsi dan tugasnya. Keberpihakan aparat terhadap salah satu kandidat justru akan mengancam keamanan pelaksanaan Pilkada.

Berkenaan dengan hal-hal tersebut di atas, kami mendesak:

Pertama, seluruh kandidat calon kepala daerah yang berasal dari TNI dan Polri aktif harus mengundurkan diri sebelum terjun dalam arena politik (Pilkada);

Kedua, Kapolri dan Panglima TNI memastikan setiap calon Kepala Daerah yang berasal dari TNI/Polri tidak menggunakan kekuatan, sumber daya, jejaring teritori TNI/Polri dalam kontestasi Pilkada. Tindakan yang tegas, terbuka dan transparan harus dilakukan terhadap anggota TNI/Polri yang terbukti berpolitik praktis dan atau memberikan dukungan (terbuka atau diam-diam) kepada calon tertentu;

Ketiga, KPU dan Bawaslu melakukan pengawasan atas potensi penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) dan penyimpangan fasilitas jabatan berkaitan dengan pencalonan kepala daerah dari TNI/POLRI;

Keempat, terkait dengan aturan UU yang hanya mengatur tentang kewajiban mundur anggota TNI/Polri aktif yang mengikuti Pilkada ataupun Pemilu sejak ditetapkan sebagai calon dalam pilkada/pemilu, perlu dilakukan pengaturan yang lebih jelas dan spesifik, khususnya berkenaan dengan tenggang waktu pengunduran diri harus jauh sebelum proses pencalonan di tingkat partai dan pendaftaran di KPU, guna mencegah berkembangnya politik praktis di tubuh TNI/Polri dan memastikan netralitas, profesionalisme sektor pertahanan, keamanan,  dan penegakan hukum tidak tergerus oleh kepentingan – kepentingan politik;

Kelima, Partai politik sebagai salah satu mesin demokrasi untuk secara serius menjaga marwah demokrasi yang merupakan amanat serta cita-cita reformasi dengan memendesak kepada calon anggota TNI dan Polisi aktif untuk mengundurkan diri sebelum maju dalam Pilkada.

Jakarta, 9 Januari 2018

Yati Andriyani — Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Asfinawati — Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Titi Anggraini — Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (PERLUDEM)
Al Araf — The Indonesian Human Rights Monitor (IMPARSIAL)
Wahyudi Djafar — Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM)