Pernyataan Organisasi Masyarakat Sipil kepada KT HAM PBB

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Human Rights Working Group (HRWG), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), dan Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA ) mengapresiasi inisiatif pemerintah Indonesia yang telah mengundang Komisioner Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, Zeid Ra’ad al Husein ke Jakarta, Indonesia. Pertemuan antara perwakilan masyakarat sipil dan Komisioner Tinggi HAM PBB yang dilaksanakan pada 5 Februari 2018 membahas isu-isu terkait hak asasi manusia, antara lain terkait diskrimininasi dan kekerasan, isu hak tanah dan masyarakat adat, impunitas, dan akuntabilitas.

Sejak kepemimpinan Presiden Jokowi, tindakan diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok minoritas kian meningkat, dimana seringkali pelakunya melibatkan kelompok ekstremis mayoritas agama, aktor non-negara, dan penegak hukum, yang dalam hal ini adalah pihak kepolisian. HRWG memaparkan bahwa masih banyaknya kebijakan diskriminatif yang diterapkan baik di tingkat nasional, maupun lokal juga masih berkontribusi besar atas meningkatnya tindakan kekerasan dan kriminalisasi, yang berdampak pada penghilangan atas hak-hak mendasar seperti hak sipil, politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. Sebut saja, UU PNPS No. 1 Tahun 1965 mengenai Penodaan Agama, yang seringkali digunakan individu atau kelompok agama mayoritas dalam mendiskriminasikan dan melakukan tindakan persekusi terhadap kelompok minoritas agama/keyakinan. Selain itu, setelah disahkannya Qanun Jinayat No. 6 Tahun 2014, hukum syariah ini telah banyak mengkriminalisasikan kelompok minoritas dan rentan, khususnya kelompok Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).

Persoalan hak atas tanah juga menjadi salah satu hal yang dipaparkan, karena merupakan suatu persoalan serius yang terus terjadi. AMAN memaparkan bahwa masyarakat adat, petani dan masyarakat miskin kota menjadi korban klaim sepihak negara atas tanah-tanah yang dianggap terlantar. Konsep Domein Verklaring yang diadopsi kedalam hukum negara yaitu UUPA menjadi alas negara untuk mengambil tanah-tanah yang dimiliki oleh masyarakat namun tidak bisa menunjukkan dokumen resmi kepemilikan, hal ini juga tergambar dalam UU Kehutanan. Kekosongan hukum untuk pengakuan dan perlindungan terutama masyarakat adat berimplikasi pada kriminalisasi dan meningkatnya angka konflik agraria. AMAN mencatat hingga kini 261 masyarakat adat dikriminalisasi, KPA mencatat di tahun 2017 terjadi 659 konflik agraria, angka-angka ini akan terus bertambah jika pemerintah tidak serius menangani konflik agraria dan mulai berpihak pada rakyat bukannya korporasi atau sektor privat. Penangkapan 13 masyarakat adat Seko karena ambisi pemerintah untuk pembangunan waduk, penangkapan serta teror dan kekerasan yang dialami masyarakat adat Nagari di Salingka Gunung Talang, dan kriminalisasi 4 warga Desa Sumber Agung Tumpang Pitu yang menolak tambang malah dikriminalisasi dengan tuduhan penyebaran paham komunisme, adalah sedikit contoh dari gunung permasalahan sektor agraria.

Kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut sulit untuk terselesaikan karena praktik impunitas yang masih berlaku dan menjadi beban Negara. Seperti yang disampaikan oleh KontraS, setelah hampir 20 tahun Reformasi, politik impunitas terus berlanjut hingga kini di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Penyelesaian pelanggaran HAM berat terus mengalami kemandekan. Dan dalam kasus Munir Dokumen TPF tidak diketahui keberadaannya. Presiden tidak menunjukan itikad untuk mengumunkan hasil penyelidikan TPF kepada publik. Situasi hak asasi manusia di Indonesia bukan saja kabur dari harapan tetapi semakin hari menunjukan potensi pelanggaran HAM dalam berbagai bentuknya terus terjadi, baik dalam bentuk kebijakan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan prinsip prinsip demokrasi dan HAM maupun kasus kasus pelanggaran yang terus terjadi. Impunitas juga ditandai dengan kebijakan kontraproduktif Presiden Jokowi dengan mengangkat terduga pelaku pelanggaran HAM dalam pemerintahannya dan/atau dalam lingkaran kekuasaanya baik secara formal maupun informal. Terkait hal ini, Komisioner Tinggi HAM PBB, Zeid mengatakan akan menyampaikan isu impunitas yang terjadi di Indonesia dalam pertemuannya dengan para pejabat Negara yang akan diadakan pada hari ini.

Selain itu, banyaknya putusan pengadilan yang tidak dilaksanakan oleh Pemerintah menunjukkan supremasi hukum tidak lagi ditaati. Peradilan sebagai mekanisme pemulihan malah menjadi alat pengambil hak rakyat akibat ketiadaan check & balances di lembaga Kepolisian, Kejaksaan & Pengadilan. Pembangunan yang tidak melibatkan dan mempertimbangkan pendapat masyarakat sekitarnya juga menimbulkan semakin banyaknya pelanggaran HAM. Hal ini terbukti dalam catatan YLBHI selama tahun 2017 proyek infrastruktur merupakan penyebab pelanggaran HAM terbanyak dari kasus-kasus yang ditangani 15 kantor LBH di seluruh Indonesia. Secara keseluruhan, semua permasalahan ini melanggar hak asasi manusia khususnya hak atas pemulihan bagi korban. Apabila dibiarkan, Negara kita akan bergeser dari rule of law menjadi rule by law.

Terkait kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB, FORUM-ASIA berharap agar hal ini tidak menjadi salah satu ajang diplomasi yang menggunakan HAM sebagai token. Komisioner Tinggi HAM PBB harus menunjukan sikap keras terhadap pemerintah Indonesia untuk mempertanyakan akuntabilitas nasional dari janji diplomasi Indonesia terkait sektor HAM. Riset FORUM-ASIA yang dilakukan di 18 negara menemukan bahwa pemerintah Asia menunjukan kemunduran yang signifikan terhadap kebebasan berekspresi, berkumpul dan berasosiasi dikarenakan oleh ramainya pembuatan peraturan perundang-undangan yang merepresi kebebasan dasar. Trend ini semakin memarjinalkan perempuan dan kelompok rentan seperti LBGTIQ. Indonesia harus menunjukan kepemimpinan global dengan menghapuskan Undang-Undang yang diskriminatif.

Maka dari itu,  berikut ini adalah rekomendasi yang ingin kami sampaikan pada Komisioner Tinggi HAM PBB:

  • Mendorong pemerintah agar melaksanakan ketentuan HAM secara utuh, khususnya dalam menyediakan pemulihan yang efektif bagi korban sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Sipil Politik dan Kovenan Ekonomi Sosial Budaya;
  • Memberikan dorongan/teguran keras kepada Pemerintah Indonesia untuk mencabut UU PNPS No. 1/1965;
  • Memberikan dorongan/teguran keras kepada Pemerintah Indonesia untuk meninjau kembali Qanun Jinayat No. 6 Tahun 2014 di Aceh;
  • Mendorong dan memastikan komitmen Pemerintah Indonesia dalam menjalankan rekomendasi UPR, khususya terkait dengan perlindungan kelompok minoritas dan rentan di Indonesia;
  • Memberikan kontribusi positif pada proses pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia;
  • Mendorong dan memastikan komitmen pemerintah dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu dengan mekanisme yudisial sesuai dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM;
  • Mendorong dan memastikan pemerintah untuk segera membuka dokumen Tim Pencari Fakta (TPF) Pembunuhan Munir kepada publik sebagai salah satu bentuk pertanggungjawaban Negara.

Kami mengingatkan dengan tegas bahwa kunjungan Komisioner Tinggi HAM PBB ke pejabat-pejabat Negara tidak untuk dijadikan panggung untuk memberi celah bagi pencucian kesalahan bagi para peduga pelaku pelanggaran HAM. Mandat kedatangan KTHAM ke Indonesia harus dipastikan tidak menjadi sarana bagi pemerintah Indonesia untuk mendapatkan “pemakluman” dari komunitas internasional atas kegagalan pemerintah Indonesia terhadap akuntabilitas pelanggaran HAM. Kehadiran Komisioner tinggi HAM PBB justru harus memperkuat suara masyakat sipil dan korban pelanggaran HAM. Dalam hal ini kami berharap  intervensi badan badan HAM internasional, seperti Komisioner Tinggi HAM PBB, agar berani untuk memberikan pernyataan sikap secara tegas dan rekomendasi yang kuat. Jika hal teresebut tidak dilakukan maka kejadiran Komisioner Tinggi HAM PBB ke Indonesia dengan difasilitasi pemerintah tidak lebih hanya sebagai diplomasi “investasi HAM” yang dilakukan pemerintah Indonesia dan didukung oleh KTHAM PBB, tentu saja hal tersebut tidak kami harapkan. Kami masih menaruh kekuatan badan badan HAM Internasional memgambil langkah signifikan dalam memberikan perhatian situasi HAM dan demokrasi di Indonesia

Jakarta, 6 Februari 2018
Koalisi Masyarakat Sipil:

  1. Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
    CP: Fatia (081913091992)
  2. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
    CP: Jane Aileen (08170192405)
  3. Aliansi Masyarakat Adat Nasional (AMAN)
    CP: Monica (085775353307)
  4. Human Rights Working Group (HRWG)
    CP: Astrid (085695886369)
  5. Asian Forum for Human Rights and Development (Forum-Asia)
    CP: Rachel (08111850090)