Peringatan 29 Tahun Peristiwa Talangsari Lampung: Negara Harus Menjalankan Kewajiban dan Mekanisme Penyelesaian Atas Peristiwa Pelanggaran HAM Berat

Memperingati 29 tahun Peristiwa Talangsari Lampung yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam kesempatan ini ingin menyampaikan beberapa hal berkaitan dengan upaya advokasi dan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu termasuk untuk Peristiwa Talangsari Lampung.  Meskipun sejak Oktober 2014, Jenderal (Purn) Hendropriyono telah menyatakan diri siap menjalani sidang dalam Pengadilan HAM Ad Hoc atas dugaan keterlibatannya pada Peristiwa Talangsari dalam sebuah wawancara dengan jurnalis Amerika Serikat bernama Allan Nairn yang kemudian dipublikasi secara terbuka dan bisa diakses oleh publik.

Namun, fakta ini justru tidak ditindaklanjuti dan Pemerintah melalui Menteri Koordinasi Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto, memilih untuk menyelesaikan sederet kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu (salah satunya Peristiwa Talangsari) melalui rekonsiliasi dan mengenyampingkan jalur hukum. Penyelesaian melalui rekonsiliasi ini hendak dilembagakan dalam sebuah Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Secara tegas KontraS menolak hadirnya jalur penyelesaian di luar hukum yang berlaku yang jelas-jelas akan mengenyampingkan prinsip keadilan bagi korban. Berkaitan dengan hal tersebut KontraS dan perwakilan korban dari berbagai kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu melaporkan Menkopolhukam dan Komnas HAM ke Ombudsman RI dengan dugaan maladministrasi. Dimana kedua institusi tersebut dianggap telah melampaui wewenangnya dalam hal menggagas pembentukan DKN.

Ada paradigma untuk menggeser cara-cara berkeadilan untuk menuntaskan penyelesaian pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu sesuai dengan prinsip-prinsip pemenuhan bagi korban mengacu kepada sejumlah peraturan perundang-undangan kepada keinginan personal pemangku kekuasaan sebagaimana wacana pembentukan DKN yang digulirkan. Sementara, hasil penyelidikan Komnas HAM terhadap sejumlah peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu termasuk Peristiwa Talangsari Lampung jelas menyatakan bahwa peristiwa a quo harus dilakukan penyidikan oleh Jaksa Agung dalam tahap lebih lanjut sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Melihat fakta dilapangan bahwa korban terus menerus dalam keadaan yang tidak kunjung mendapat kejelasan bahkan upaya-upaya yang dilakukan oleh korban dan pendamping selalu mendapatkan resistensi aparat negara, maka sudah seharusnya menjadi penting langkah-langkah dan upaya hukum yang lebih maju untuk diambil. Namun ibarat ‘jauh panggang dari api’, sosok Jaksa Agung yang diharapkan menjadi ujung tombak keberlanjutan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu justru menjadikan upaya yang telah berjalan menjadi mundur. Jaksa Agung H.M. Prasetyo kembali “keluar jalur” saat memberikan pernyataan terkait kewenangannya dalam melakukan penyidikan peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu termasuk Peristiwa Talangsari Lampung dengan menyatakan bahwa ia tidak menelantarkan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalau dan siapapun yang melakukan penyidikan kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu akan sulit menemukan bukti yang diinginkan (9/1/2018).  Bahkan, H.M. Prasetyo juga meyakini pemerintah era manapun akan sulit menangani kasus pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu lewat jalur yudisial. Pada kesempatan yang sama, H.M. Prasetyo menyatakan bahwa pihaknya menawarkan penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu melalui jalur rekonsiliasi.

Maka dari itu, pada kesempatan ini KontraS mendesak agar penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu untuk segera dituntaskan dengan poin rekomendasi, yakni :

Rekomendasi :

  1. Presiden Joko Widodo untuk secara langsung mengambil langkah konkret dalam penuntasan peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu, salah satunya Peristiwa Talangsari Lampung.Hal ini termasuk memerintahkan Jaksa Agung guna melakukan upaya penyidikan terhadap sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu;
  2. Presiden Joko Widodo menghentikan segala macam bentuk upaya-upaya yang melenceng pada tujuan pemenuhan keadilan bagi korban pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu, salah satunyamenolak pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN) yang diusulkan oleh Menkopolhukam, Wiranto untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu;
  3. Presiden membentuk Komite Kepresidenan yang secara normatif telah disebutkan di dalam RPJMN 2014-2019 sebagai solusi untuk menjembatani semua persoalan, dan mempercepat proses penanganan pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk mempermudah Presiden dalam mengambil kebijakan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. Dalam hal ini, kami ingin menegaskan bahwa proses pembentukan Komite Kepresidenan harus bersifat terbuka dan partisipatif yang melibatkan figur-figur yang berintegritas, berpihak pada keadilan dan memiliki rekam jejak kredibel pada isu kemanusiaan;
  4. Mendorong Komisioner Komnas HAM untuk periode 2017-2022 agar mampu untuk mengambil langkah-langkah konkret, inovatif dan akuntabel sesuai parameter keadilan korban. Komnas HAM ke depan harus mengambil langkah yang tepat dan strategis agar penyelesaian peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu termasuk Peristiwa Talangsari Lampung tidak berjalan di tempat dan tidak memberi celah bagi Jaksa Agung untuk menghindari proses penyidikan sederet peristiwa pelanggaran HAM yang berat pada masa lalu.

Jakarta, 7 Ferbruari 2018
Badan Pekerja KontraS

Feri Kusuma
Kepala Divisi Pemantauan Impunitas

Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian pelanggaran HAM yang berat dimaksud yakni : 1) Ketetapan MPR RI (TAP MPR RI) Nomor V/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional; 2) Undang-Undang Dasar 1945, khususnya Pasal 28I yang secara tegas memberikan jaminan perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM di Indonesia; 3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan; 4) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM