RKUHP MENGANCAM HAK – HAK FUNDAMENTAL DAN KEBEBASAN SIPIL WARGA NEGARA

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) untuk menunda pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU tentang Hukum Pidana serta mendorong Panitia Kerja (Panja) Revisi KUHP agar melakukan pembahasan kembali dengan melibatkan masyarakat sipil guna mendapatkan masukan terkait sejumlah pasal yang dianggap bermasalah dan bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi serta hak asasi manusia. Kami menilai, jika RKUHP tersebut secara terburu – buru disahkan oleh DPR menjadi UU tentang Hukum Pidana, maka UU dimaksud tidak akan mampu menjawab persoalan – persoalan penting di Indonesia yang belum terakomodir dalam aturan perundang – undangan yang berlaku saat ini.

Dari pemantauan yang KontraS lakukan, setidaknya terdapat 15 (lima belas) poin bermasalah yang berpotensi mengkriminalisasi warga negara dan melanggar hak asasi manusia dalam draft RKUHP saat ini (lihat lampiran). Alih-alih melakukan penyempurnaan atas kodifikasi hukum pidana itu sendiri serta perbaikan atas kondisi hukum di Indonesia, RKUHP justru lahir dengan semangat penghukuman dan pembatasan hingga ke wilayah privat warga negara. Hal ini, tentunya tidak terlepas dengan pembahasan RKUHP itu sendiri yang lebih bernuansa politis daripada mempertimbangkan norma – noma aturan dan hukum yang berlaku saat ini.

Kami juga menemukan fakta tentang adanya upaya untuk memasukkan kembali pasal – pasal yang telah dibatalkan ke dalam RKUHP. Hal tesebut jelas merupakan bentuk pengabaian terhadap putusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam proses pembuatan Undang-undang, sebagaimana yang diamanatkan melalui Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Disisi lain, RKUHP juga memasukan sejumlah pasal – pasal tindak pidana khusus dengan adopsi yang tidak sempurna, sehingga menimbulkan ketidakjelasan serta konflik antara RKUHP dan instrumen hukum yang memuat ketentuan pidana di luar KUHP tersebut.

Secara khusus, KontraS mengkritisi 4 (empat) tema krusial terkait sejumlah pasal dalam RKUHP serta ancamannya terhadap hak-hak fundamental dan kebebasan sipil di Indonesia, yakni sebagai berikut;

       1. RKUHP Merintangi Penuntasan Kasus Pelanggaran HAM Berat.

Salah satu isu yang menjadi catatan penting terhadap RKUHP adalah Pasal 680 – 683 yang termuat dalam Bab XXXVIII: Tindak Pidana Berat terhadap HAM. Tim Panja RKUHP menyepakati bahwa tindak pidana pelanggaran HAM yang berat sebagai tindak pidana khusus tetap diatur dalam RKUHP meski hanya mengatur pada pokok pidananya (core crimes). Namun, pengaturan secara khusus tentang isu pelanggaran HAM yang berat ini justru bertentangan dengan prinsip dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, mulai dari lebih rendahnya ancaman hukuman, diberlakukannya asas ne bis in idem, membuka adanya peluang penyelesaian di luar proses hukum ataupun penghapusan penghukuman hingga ketidakjelasan konsep ganti rugi bagi korban pelanggaran HAM berat.

Dikhawatirkan, ketidakmampuan RKUHP dalam mengakomodir konsep – konsep tersebut di atas akan mempersulit penerapan pemidanaan yang dimaksud, karena pengaturan pemidanaan pelanggaran berat dalam RKUHP yang ada saat ini semakin memperlihatkan dan memperkuat potensi impunitas dalam kasus pelanggaran HAM berat.

       2. RKUHP Berpotensi Memberikan Ancaman Terhadap Kebebasan Sipil

Dalam draft RKUHP saat ini, Pemerintah dan DPR masih mempertahankan rumusan pasal – pasal yang selama ini dinilai membungkam kebebasan sipil dan bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, khususnya yang terkait dengan hak atas kebebasan berekspresi dan beropini, seperti Pasal tentang Tindak Pidana terhadap Keamanan Negara (larangan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme) hingga ancaman kriminalisasi yang berlebihan terhadap pers yang meliput sidang di pengadilan (Pasal tentang Contempt of Court). Selain itu, Pemerintah dan DPR bahkan menghidupkan kembali pasal yang sudah pernah dihapuskan sebelumnya oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pada tahun 2006 yakni Pasal tentang Penghinaan Presiden. Bahkan dalam rumusan RKUHP saat ini, Pasal Penghinaan Presiden menjadi delik umum yang berarti siapapun yang dianggap telah melakukan penghinaan terhadap Presiden, dapat diproses secara hukum tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari korban. Pasal ini dapat berpotensi mengkriminalisasi serta membatasi kebebasan berekspresi dan beropini warga negara karena tidak ada pengaturan yang jelas antara kritik dan penghinaan terhadap Presiden, sehingga dapat diberlakukan secara subjektif oleh aparat penegak hukum.

       3. Masih Terdapatnya Pidana Hukuman Mati Dalam RKUHP

Dalam RKUHP saat ini, sayangnya hukuman mati masih tetap diberlakukan di Indonesia meski pengaturannya kini diubah menjadi pidana alternatif. Dan oleh karenanya, setiap terpidana yang telah divonis hukuman mati diharuskan untuk menjalani masa tunggu selama 10 (sepuluh) tahun di dalam tahanan sebelum Pemerintah mengevaluasi apakah yang bersangkutan berkelakuan baik hingga dapat diturunkan hukumannya menjadi seumur hidup atau 20 (dua puluh) tahun.

Pengaturan pidana mati sebagai pidana alternatif ini sebenarnya menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum, terlebih tidak adanya jaminan bagi terpidana mati yang telah menjalanimasa tunggu 10 (sepuluh) tahun ini secara serta merta dinyatakan memenuhi syarat untuk diturunkan hukuman matinya menjadi pidana seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara. Dalam hal ini, subjektifitas dalam mengevaluasi atau menentukan layak tidaknya terpidana mati mendapatkan penurunan hukuman berada di tangan Pemerintah. Di sisi lain, bagi terpidana mati yang dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur oleh Pemerintah, oleh karenanya harus menjalani 2 (dua) kali penghukuman sekaligus, yaitu dipenjara selama 10 (sepuluh) tahun dan dieksekusi mati setelahnya.

       4. Menyempitnya Kategori Penyiksaan dan Tindakan Tidak Manusiawi Lainnya

Dalam pembahasan RKUHP ini, pemidanaan terhadap pelaku penyiksaan telah diakomodir melalui Bab tentang Tindak Pidana Paksaan dan Tindak Pidana Penyiksaan sebagaimana yang dicantumkan dalam pasal 613 RKUHP. Namun sayangnya, Pasal tersebut secara tidak langsung justru mempersempit kategori tindakan yang masuk dalam definisi penyiksaan serta elemen tindakan tidak manusiawi lainnya sebagaimana yang diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1998.

Dalam pasal tentang penyiksaan ini, tidak dijelaskan secara spesifik bentuk pertanggungjawaban pelaku, tidak diaturnya bentuk perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, hingga lebih rendahnya rumusan ancaman pidana terhadap pelaku penyiksaan dibandingkan ancaman pidana yang diatur dalam Konvensi Anti Penyiksaan.

Berdasarkan sejumlah tema krusial dan bermasalah dalam RKUHP yang telah kami paparkan diatas tersebut, dengan ini kami mendesak :

Pertama, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) untuk menunda pengesahan RKUHP yang masih berisi sejumlah pasal bermasalah dan segera melakukan pembahasan kembali secara hati-hati dan komprehensif dengan melibatkan dan mempertimbangkan masukan dari masyarakat sipil agar rumusan RKUHP tidak bertentangan dengan konstitusi serta prinsip – prinsip demokrasi dan hak asasi manusia;

Kedua, Presiden Republik Indonesia selaku pimpinan tertinggi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk menolak pengesahan RKUHP yang masih berisi pasal – pasal bermasalah dan bertentangan dengan semangat upaya – upaya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia bagi warga negara serta berpotensi mempersempit ruang-ruang berdemokrasi di Indonesia.

Ketiga, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai perangkat pemerintahan yang  berfungsi untuk merumuskan, melaksanakan dan menetapkan kebijakan di bidang hukum dan hak asasi manusia untuk memberikan masukan terkait sejumlah pasal krusial yang berpotensi menimbulkan konflik dan ketidakjelasan hukum serta tidak sejalan dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Keempat, Seluruh elemen masyarakat sipil untuk secara aktif melibatkan diri melakukan pengawalan terhadap pembahasan pasal-pasal bermasalah dalam RKUHP yang berpotensi membatasi serta mengancam hak-hak fundamental dan kebebasan sipil warga negara.

Jakarta, 8 Februari 2018
Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani
Koordinator

 

LAMPIRAN

15 Poin Bermasalah dalam RKUHP* yang Berpotensi Mengkriminalisasi Warga Negara dan Melanggar Hak Asasi Manusia

1. Bab tentang Tindak Pidana Berat terhadap HAM (Pasal 680 – 683)

  • Diletakkannya aturan tentang Pelanggaran HAM Berat dalam RKUHP jelas menunjukkan degradasi tentang bagaimana keseriusan Pemerintah melihat dan menindak kasus Pelanggaran HAM Berat. Pengaturannya dalam RKUHP pun membuat dimensi kekhususan (lex specialis) dalam kejahatan ini pun menjadi hilang. Hal ini dapat kita lihat dengan lebih rendahnya pengaturan batas minimum dan maksimum pidana bagi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam RKUHP yakni minimum 5 tahun dan maksimum 20 tahun penjara. Padahal dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, ancaman hukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat minimum 10 tahun dan maksimum 25 tahun penjara;
  • RKUHP memberlakukan asas ne bis in idem (asas untuk tidak dapat dituntut dua kali untuk perkara yang telah mendapat putusan yang telah berkekuatan hukum tetap) dalam kasus pelanggaran HAM berat. Pasal tersebut dikhawatirkan dapat dijadikan dalih bagi Pemerintah agar tidak perlu mempidana seseorang melalui mekanisme Pengadilan HAM dengan alasan telah diselesaikan melalui mekanisme lainnya;
  • RKUHP membuka peluang penyelesaian di luar proses hukum sebagai alasan gugurnya penuntutan. Namun tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan penyelesaian di luar proses hukum tersebut. Rekonsiliasi tanpa dasar ataupun melalui Komisi Kebenaran Rekonsiliasi (KKR) yang RUU-nya tengah digodok saat ini oleh Pemerintah, dapat dengan mudah dianggap sebagai bentuk penyelesaian di luar proses yang kemudian meniadakan pertanggungjawaban pelaku dalam Pengadilan HAM;
  • RKUHP memberikan peluang untuk tidak diadakannya penghukuman terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dikarenakan adanya amnesti, grasi atau abolisi;
  • Tujuan pemidanaan dalam RKUHP tidak menyentuh pemenuhan rasa keadilan bagi korban pelanggaran HAM. Konsep ganti rugi yang diatur dalam RKUHP tidak secara rinci menyebutkan atau menjelaskan prosedur khusus terkait pemberian hak-hak korban pelanggaran HAM berat. Konteks reparasi juga harus diletakkan tidak semata-mata pada konsep ganti kerugian berupa uang, tetapi juga dalam bentuk lainnya, seperti adanya jaminan ketidakberulangan (non-reccurence);

2. Pasal yang Berpotensi Mengancam Kebebasan Sipil

  • Munculnya kembali Pasal tentang Penghinaan terhadap Presiden dan Kebencian terhadap Pemerintah yang diatur dalam Pasal 238, 239, 259, dan Bahkan dalam rumusan RKUHP saat ini, Pasal Penghinaan Presiden menjadi delik umum yang berarti siapapun yang dianggap telah melakukan penghinaan terhadap Presiden, dapat diproses secara hukum tanpa perlu menunggu adanya pengaduan dari korban. Dalam catatan KontraS, sedikitnya ada 17 (tujuh belas) upaya kriminalisasi yang terjadi sepanjang tahun 2014 – 2017 dengan menggunakan delik penghinaan terhadap presiden;
  • Pasal tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara. Aturan dalam Pasal 206 – 207 RKUHP yang memuat larangan penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme, peniadaan dan mengganti ideologi Pancasila, sangat multitafsir dan berpotensi mengkriminalisasi hak atas kebebasan berekspresi dan beropini warga negara;
  • RKUHP juga berpotensi untuk mengkriminalisasi dan membatasi kerja pers yang melakukan peliputan sidang di pengadilan, sebagaimana rumusan Pasal 304 yang berlaku untuk seluruh proses peradilan dari penyidikan sampai pengadilan, serta Pasal 305 yang mengatur pidana terhadap seseorang yang menghina hakim atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan dan publikasi yang dapat mempengaruhi sifat tidak memihak hakim dalam pengadilan. Rumusan pasal – pasal tersebut sangat bertentangan dengan semangat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang menjamin kemerdekaan pers;

3. Pasal tentang Hukuman Mati sebagai Pidana Alternatif

  • Hak untuk hidup merupakan hak yang dijamin UUD 1945 dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, sehingga masih terdapatnya pengaturan terkait dengan ancaman pidana Hukuman Mati dalam RKUHP jelas bertentangan dengan konstitusi;
  • Penjelasan Pasal 73 yang masih menimbulkan kerancuan dan ketiadaan jaminan kepastian hukum bagi terpidana mati. Dengan keharusan terpidana mati untuk menjalani masa tunggu 10 (sepuluh) tahun ini tidak menjamin secara serta merta yang bersangkutan dinyatakan memenuhi syarat untuk diturunkan hukuman matinya menjadi pidana seumur hidup atau paling lama 20 tahun penjara. Dalam hal ini, subjektifitas dalam mengevaluasi atau menentukan layak tidaknya terpidana mati mendapatkan penurunan hukuman berada di tangan Pemerintah. Di sisi lain, bagi terpidana mati yang dianggap tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang diatur oleh Pemerintah, oleh karenanya harus menjalani 2 (dua) kali penghukuman sekaligus, yaitu dipenjara selama 10 (sepuluh) tahun dan dieksekusi mati setelahnya;
  • Penerapan hukuman mati dengan landasan metode Delphy yang dijadikan acuan dalam penentuan ancaman pemidanaan melalui metode score yang diisi oleh tim dari Pemerintah (termasuk melibatkan unsur dari Kepolisian dan Kejaksaan) tanpa melibatkan Hakim dan Penasehat Hukum, sangat rentan untuk menjadi sekadar alat legitimasi dari Pemerintah untuk mendukung argumentasi ancaman pidana terhadap jenis kejahatan yang dianggap luar biasa (extra ordinary crime). Padahal hingga saat ini Pemerintah, khususnya Kementerian Hukum dan HAM tidak pernah melakukan evaluasi dan audit terhadap praktik penjatuhan pidana melalui tuntutan yang dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan vonis yang dilakukan oleh hakim di Pengadilan, meski banyak ditemukan fakta tentang adanya dugaan rekayasa kasus yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap para terpidana mati;

4. Pasal tentang Penyiksaan (Pasal 613)

  • Dalam rumusan RKUHP ini, hukuman pidana hanya dijatuhkan terhadap pelaku yang melakukan penyiksaan secara langsung tanpa menyebutkan sanksi pidana terhadap mereka yang secara tidak langsung terlibat dalam praktik penyiksaan, seperti misalnya pertanggungjawaban atasan (komando);
  • Rumusan RKUHP hanya mengatur tentang praktik penyiksaan namun tidak menyebutkan secara khusus tentang bagaimana penghukuman terhadap bentuk perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia sebagaimana yang tertuang dalam Konvensi Anti Penyiksaan.
  • Pelaku penyiksaan dalam rumusan RKUHP hanya diancam dengan hukuman selama 3 – 15 tahun penjara. Ancaman pidana ini masih terlalu ringan jika dibandingkan dengan rekomendasi dari Komite PBB Menentang Penyiksaan yang merekomendasikan ancaman pidana selama 6 – 20 tahun penjara terhadap pelaku praktik penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat manusia;
  • Penyiksaan merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM yang dianggap serius yang merupakan bagian dari norma hukum Internasional “jus cogens”. Maka sepatutnya pasal 613 yang mengatur tentang penyiksaan terkait dengan ketentuan mengenai daluarsa menjadi tidak dapat diberlakukan

 

*) Berdasarkan draft RKUHP per tanggal 2 Februari 2018