Pentingnya Parameter HAM dalam Pilkada 2018;
Risiko Kekerasan dan Pelanggaran HAM
Momentum Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 sudah seharusnya tidak hanya ditempatkan sebagai periode politik elektoral yang hanya berujung pada politik kekuasaan. Pilkada yang akan berlangsung di 171 daerah—di antaranya 17 Provinsi, 39 Kota, dan 115 Kabupaten—sebisa mungkin dapat menjadi medium untuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Hal ini dapat dilakukan dengan mendorong berjalannya penyelenggaran Pilkada yang berkesesuaian dengan parameter HAM, dan terwujudnya pemimpin dan pemerintahan daerah yang akuntabel dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM.
Berkaitan dengan hal tersebut, KontraS melakukan pemantauan penyelenggaraan Pilkada melalui tiga tahap; Prapilkada, Pilkada, dan Pascapilkada. KontraS memerhatikan beberapa daerah yang kami rasa berpotensi rawan konflik dan pelanggaran HAM. Adapun indikator yang digunakan oleh KontraS dalam mendeteksi daerah tersebut di antaranya, Pertama, keterlibatan/netralitas aparat negara dalam Pilkada; Kedua, calon tunggal vs kotak kosong; Ketiga, data pemantauan KontraS terkait pelanggaran HAM di sektor KBB, pembatasan hak atas informasi, dan sumber daya alam.
Dalam temuan prapilkada ini, KontraS menemukan sejumlah hal di antaranya:
Pertama, Berdasarkan hasil korespondensi KontraS dengan kedua lembaga negara (TNI dan Polri), dari 13 orang nama yang mencalonkan, kami mendapati baru 6 orang (4 polisi dan 2 TNI) yang diketahui telah mendapatkan respon dari institusinya terkait pengunduran diri. Kami kembali mempertanyakan terkait dengan penegakan terhadap UU no 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU no 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menekankan bahwa anggota Polri dan TNI dilarang melakukan langkah-langkah politik, seperti deklarasi, pemasangan atribut, dan bentuk kampanye lainnya sebelum mendapat surat resmi pengunduran diri dari masing-masing institusi.
Ketidakjelasan dari lembaga TNI maupun Polri sendiri dalam menanggapi surat pengunduran diri anggota yang mencalonkan diri sangat mencerminkan lemahnya pengaturan internal di dalam suatu institusi lembaga negara tersebut. Hal ini bisa menjadi preseden buruk sebab perlu diingat bahwa anggota TNI dan Polri memiliki jiwa esprit de corps dan struktur hierarki komando sehingga sepanjang mereka masih berstatus sebagai anggota TNI ataupun Polri aktif maka akan potensial mengakibatkan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan (abuse of power). Hal ini akan membuka kemungkinan terjadinya pengerahan kekuatan militer ataupun polisi untuk memenangkan Pilkada.
Selain itu, jika tidak ada kejelasan (telah mendapat keputusan pemberhentian) yang diberikan oleh institusi, dikhawatirkan anggota polisi yang mengikuti pilkada dan tidak terpilih akan dapat ditarik kembali ke kepolisian. Hal ini sesuai dengan Perkap nomor 19 tahun 2011 pasal Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) . bahwa jelas perundang-undangan yang menerangkan tentang pencalonan Polri pada Pilkada mewajibkan setiap anggota Polri untuk netral dari kehidupan berpolitik, tidak berpolitik praktis, tidak menjadi anggota/pengurus partai politik, tidak menggunakan hak untuk memilih dan dipilih, serta mewajibkan setiap anggota Polri untuk mengajukan pengunduran diri dan mendapat persetujuan dari instansi sebelum menduduki jabatan sipil. Namun, salah satu dari kewajiban tersebut tidak dilakukan, maka pelanggaran tersebut merupakan pelanggaran disiplin dan etika kenegaraan Polri yang memiliki hukuman berupa sanksi administratif, serta wajib untuk segera diselesaikan oleh atasannya.
Berikutnya, lawan politik menjadi pihak yang juga terancam. Kriminalisasi dan tuduhan perbuatan pidana yang dicari-cari untuk menjatuhkan reputasi lawan juga rentan terjadi. Dalam hal ini Kepolisian berada dalam sorotan khususnya karena sebagian dari perwira mereka ikut dalam pertarungan pilkada. Indepedensi kepolisian berada dalam titik kritis selama proses pilkada di tempat-tempat di mana para mantan perwira polisi ikut bertarung.
Kedua, Berdasarkan pemantauan KontraS, terdapat 11 daerah yang terdapat calon tunggal dalam Pilkada serentak 2018. Adapun rinciannya, 3 Kota dan 8 Kabupaten. Situasi di daerah ini turut menjadi pantauan KontraS dalam penyelenggaraan Pilkada 2018. Di sisi lain, adanya calon tunggal di suatu daerah menunjukkan buruknya kaderisasi partai yang membuat mereka hanya mengusung calon itu-itu saja atau berkoalisi untuk memajukan salah satu calon. Hal tersebut akan berdampak buruk bagi demokrasi sebab berpotensi terjadinya kecurangan berupa penyuapan, intimidasi, bahkan kekerasan akan rentan terjadi.
Berkaca pada pengalaman pilkada di Pati terkait dengan calon tunggal, masyarakat yang memiliki pilihan politik independen yang tidak puas dengan keputusan partai politik dalam pengusungan calon, juga rentan menjadi target intimidasi dan kekerasan. Ekspresi politik ‘pilih kotak kosong’ misalnya, telah memberikan pukulan dan tantangan yang besar pada calon tunggal yang tidak ingin legitimasinya ternodai. Dalam situasi seperti itu, penting untuk Bawaslu dan KPU untuk memberikan penghormatan hak politik warga sebagaimana aturan UU Pemilu.
Ketiga, berdasarkan pemantauan prapilkada terhadap tiga isu, (SDA, KBB, dan Hak Atas Informasi), KontraS menemukan daerah-daerah dengan kerawanan pelanggaran HAM di sektor tersebut. Dalam kaitannya dengan Pilkada, isu kebebasan berekspresi menjadi penanda dari suatu tatanan politik yang demokratis dan dasar supremasi hukum. Kebebasan berekspresi merupakan hak individual (kelompok) untuk membentuk, membangun, dan menyatakan pikiran (opini)nya sendiri dari indoktrinasi eksternal Hak ini menjadi batu penjuru dari hak-hak asasi lainnya, baik itu hak-hak-hak sipil-politik, maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya lainnya. Pada aspek pembatasan hak atas informasi, KontraS mengacu pada pelarangan pemberitaan pers di sejumlah daerah. Dalam konteks pilkada, kehadiran pers dapat memainkan peran strategis untuk memberikan informasi secara proporsional guna mendukung kebutuhan berita yang berimbang di tengah masyarakat. Isu sumber daya alam sebagai bagian dari pemantauan hak ekonomi, sosial dan budaya menjadi penting untuk dilihat sebab potensi-potensi daerah yang ada diduga kuat dapat menjadi penyokong dana terhadap salah satu pasangan calon pemimpin. Hal tersebut menjadi sandera bagi pemimpin jika menjadi calon terpilih. Sehingga akan merusak tatanan demokrasi dengan keputusan-keputusan yang dibuat tidak berdasar pada kepentingan masyarakat.
Melalui ketiga landasan dasar tersebut, KontraS menentukan 10 (sepuluh) daerah dengan potensi kerawanan pada Pilkada Serentak 2018, di antaranya, 1. Sumatera Utara; 2. Riau; 3. Jawa Barat; 4. Jawa Tengah; 5. Jawa Timur; 6. Kalimantan Timur; 7. Kalimantan Selatan; 8. Sulawesi Selatan; 9. Maluku; 10. Papua.
KontraS menenggarai potensi risiko pelanggaran HAM dan kekerasan menjelang di daerah-daerah tersebut dalam bentuk 1) Penggunaan hukum untuk membungkam lawan politik, 2) Politisasi SARA, hoax, teror dan kekerasan, 3) Keterlibatan Polisi dan Militer dalam politik, dan 4) intimidasi, penyuapan, di daerah-daerah dengan calon tunggal.
Dari ketiga potensi risiko pelanggaan HAM tersebut, masyarakat dan pendukung para calon akan menjadi kelompok yang rentan menjadi korban pelanggaran HAM. Ini bisa terjadi karena ekspresi politik sah mereka bisa ditafsirkan lain oleh penegak hukum yang dalam bekerja kurang independen, misalnya dengan penggunaan pasal pencemaran nama baik, UU ITE dan ujaran kebencian. Kontestasi politik kerap kali dibumbui oleh saling serang antar pendukung untuk menjatuhkan reputasi dari calon pemimpin yang mereka usung. Dalam proses ini, diperlukan kehati-hatian dari penegak hukum untuk menerapkan aturan perundang-undangan tentunya supaya kebebasan berekspresi tidak terlanggar.
Untuk itu, KontraS membuat ukuran-ukuran hak asasi manusia dalam menilai keberlangsungan pilkada, di antaranya, (1) hak untuk bebas dari diskriminasi, (2) hak atas kebebasan berekspresi, (3) hak atas kebebasan berpendapat, (4) hak atas kebebasan berkumpul secara damai, (5) hak untuk kebebasan berserikat, (6) hak atas kebebasan bergerak, (7) bebas dari rasa takut dan intimidasi.
KontraS menganggap ketujuh indikator hak asasi manusia tersebutsebagai salah satu alat uji evaluatif yang valid—dan paling sering digunakan—juga bersifat praktis mengingat Indonesia sudah meratifikasi berbagai instrumen-instrumen HAM pokok internasional. Dalam kaitannya dengan Pilkada, ukuran tersebut dapat menjadi tolak ukur keberhasilan penyelanggaraan pesta demokrasi.
Adapun dalam merespon temuan prapilkada KontraS merekomendasikan kepada penyelenggara Pemilu, pemerintah dan lembaga – lembaga negara terkait sebagai berikut:
Pertama, Badan Pengawas Pemilu melakukan antisipasi terhadap setiap kerawanan dalam Pilkada 2018. Melakukan tindakan tegas tidak hanya pada hal – hal yang terkait prosedural tetapi juga tetapi dapat menindak secara tegas kandidat Pilkada, institusi negara, partai politik yang terbukti terlibat, memfasilitasi langsung atau tidak langsung dalam kekerasan, kecurangan, intimidasi, atau terlibat tindak pidana lainnya sesuai dengan wewenang Bawaslu dalam UU 15 tahun 2011.
Kedua, Kepolisian RI bersikap dan bertindak netral berdasarkan hukum dan aturan yang ada, tidak membuka ruang untuk menjadi perpanjangan kepentingan politik kandidat dan atau partai politik manapun. Kepolisian Republik juga harus memastikan bahwa anggota polisi aktif yang ikut dalam kontestasi Pilkada serentak sudah mendapatkan keputusan pemberhentian, menindak secara tegas anggota polisi yang terbukti terlibat aktif (mengampanyekan, memaksa pemilih) dalam pilkada.
Ketiga, Lembaga – lembaga independen negara yang memiliki mandat untuk melakukan tugas dan fungsinya di bidang pengawasan, pemantauan, dan perlindungan seperti Komnas HAM, ORI, Kompolnas memaksimalkan mandat dan kewenangannya dalam pencegahan dan penanganan terjadinya kerawanan Pilkada serentak yang dapat merugikan hak – hak warga negara dan potensi penyalagunaan kewenangan lembaga negara.
Jakarta, 12 Januari 2018
Badan Pekerja KontraS
Yati Andriyani
Koordinator
Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Perkap) Nomor 19 Tahun 2011 Tentang Pencalonan Anggota Kepolisian Republik Indonesia Dalam Pemilihan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah: Pasal 12 ayat (1) huruf a dan ayat (3): (1) Pengajuan permohonan pengunduran diri bagi Anggota Polri yang akan mengikuti Pilkada, ditujukan kepada: a. Kapolri, bagi Anggota Polri berpangkat Pati dan Pamen Polri; (3) Anggota Polri yang permohonan pengunduran diri disetujui dan telah mendapat keputusan pemberhentian dengan hormat dari Anggota Polri, tidak dapat mengajukan permintaan untuk diaktifkan atau diangkat kembali menjadi Anggota Polri.
Lembar Penerangan Pasukan Nomor: 20/VIII/2016/Penpas Tentang Ketentuan Dan Tata Cara Mengikuti Pemilu Legislatif Dan Pilkada. Berdasarkan Surat Telegram Panglima TNI Nomor: ST/983/2016 tanggal 9 Agustus 2016 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pilkada kepada seluruh anggota TNI dan PNS TNI.
Terlampir
Pasal 14 (1) Kapolri berwenang untuk menolak atau mengabulkan setiap permohonan persetujuan pencalonan, yang diterima dari Anggota Polri berpangkat Pati dan Pamen. Pasal 16 ayat (1) Kapolri berwenang untuk menolak atau mengabulkan dan meneruskan kepada Presiden setiap permohonan pengunduran diri, yang diterima dari Anggota Polri berpangkat Pati dan Kombes Pol.
terlampir