Penyerangan dan Persekusi Ancaman Serius di Tahun Politik

Peristiwa  penyerangan di terhadap umat Katolik yang tengah melakukan ibadah di Gereja Santa Lidwina Bedog, Sleman – Yogyakarta kembali mengoyak keprihatinan kita terhadap kebebasan beragama dan beribadah di negeri ini. Hak atas rasa aman menjadi sangat rentan dan lemah, termasuk hak atas rasa aman dalam menjalankan ibadah atau kepercayaan tiap – tiap umat beragama dan kepercayaan.  Diketahui dalam peristiwa ini, Minggu, 11 Februari 2018,  5 (lima) orang mengalami luka – luka, termasuk Pastor Karl-Edmund Prier SK (Romo Prier) yang tengah memimpin ibadah, dan seorang anggota kepolisian yang berusaha menghentikan perbuatan pelaku. Tindakan ini adalah bentuk teror dan ancaman serius yang harus dihentikan dan diungkap dengan sistematis, termasuk motif dan aktor dibalik peristiwa ini.

Sebelumnya, pada 28 Januari 2018, terjadi penganiayaan terhadap Pimpinan Pondok Pesantren Al Hidayah, KH. Umar Basri, seusai melaksanakan shalat shubuh di Musala Al Mufathalah, Cicalengka, Bandung – Jawa Barat. Berikutnya Ustad R. Prawoto yang merupakan Kepala Operasi (Ka.Ops) Brigade Pimpinan Pusat Persatuan Islam (PP Persis) tewas setelah dianiaya oleh orang tak dikenal pada 1 Februari 2018. Kemudian terjadi persekusi terhadap seorang Bhiksu bernama Mulyanto Nurhalim yang dipaksa warga untuk meninggalkan rumah tempat tinggalnya sendiri di Desa Babat, Kecamatan Legok, Tangerang – Banten hanya karena sering melakukan ibadah keagamaan di rumah tersebut.

Kami mencatat persekusi, kekerasan dan intimidasi khususnya yang menimpa kelompok agama atau kepercayaan tertentu masih terus terjadi. Sepanjang tahun 2017 KontraS mencatat telah terjadi 75 peristiwa kekerasan berdimensi agama dan keyakinan. Adapun Propinsi dominan terjadinya persekusi atas nama agama dan keyakinan terjadi di Jawa Barat (17 peristiwa), Jawa Tengah (13 peristiwa), Jawa Timur (7 peristiwa) dan Banten (7 peristiwa). Kasus – kasus tersebut muncul sebagai ekses dari penyelenggaran Pemilu Kepala Daerah (PILKADA) DKI Jakarta di tahun yang sama.

Kami khawatir, peristiwa – peristiwa penyerangan, kekerasan, intimidasi dan persekusi serupa akan terus terjadi sepanjang tahun ini, terlebih tahun 2018 merupakan tahun politik dimana sebanyak 171 Propinsi dan Kabupaten / Kota di Indonesia akan menyelenggarakan Pilkada secara serentak. Isu SARA dikhawatirkan akan menjadi salah satu isu yang dimunculkan untuk memperkeruh dan mengacaukan situasi Pilkada di Indonesia.

Oleh karenanya pengungkapan kasus dan kekerasan diatas, termasuk kekerasan terhadap tokoh agama diatas sebaiknya tidak hanya dilihat secara terpisah kasus perkasus, dimensi politik menjelang Pilkada 2018 dan Pemilu 2019 harus menjadi pertimbangan dalam mengungkap kasus ini, guna mencegah para pihak manapun menggunakan atau mengambil keuntungan politik dalam Pilkada dan Pemilu dengan menggunakan isu SARA dan memancing perpecahan  di masyarakat melalui peristiwa – peristiwa diatas.

Berkenaan dengan hal tersebut, kami berharap masyarakat tidak terpancing dengan rangkaian peristiwa kekerasan dan persekusi tersebut diatas, dan kami mendesak;

Pertama, seluruh elemen pemerintah terkait harus melakukan langkah – langkah preventif meluasnya tindakan dan efek lanjutan dari peristiwa – peristiwa diatas;

Kedua  Kepolisian mengusut kasus – kasus tersebut diatas dengan sistematis, motif dan aktor dibalik peristiwa – peristiwa ini harus diungkap;

Ketiga, Komnas HAM, Bawaslu dan Kepolisian mengambil langkah tegas terhadap individu, kelompok atau partai politik yang menggunakan isu SARA atau mengambil keuntungan dari isu SARA untuk dalam kontestasi Pilkada 2018.

Jakarta, 12 Februari 2018
Badan Pekerja KontraS

Yati Andriyani
Koordinator