15 Tahun Peristiwa Wamena Berdarah Pengadilan HAM Hanya Janji Manis Diplomasi

15 Tahun Peristiwa Wamena Berdarah

Pengadilan HAM Hanya Janji Manis Diplomasi

 

Pada 4 April 2018 memasuki 15 tahun peristiwa Wamena Berdarah, Papua. Pada momentum ini Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak pemerintah Indonesia segera merealisasikan janjinya terkait penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua. Penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang berat sudah sangat mendesak untuk dilaksanakan oleh Pemerintah Jokowi. Jika pemerintah Indonesia tidak menyelesaikan masalah ini, tidak tertutup kemungkinan dunia internasional akan mengambil alih penyelesaian permasalahan ini. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diatur bahwa  setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran HAM yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum Internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima negara Republik Indonesia.

Komnas HAM telah menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya pelanggaran HAM yang berat dalam peristiwa Wamena dalam bentuk pembunuhan terhadap 9 orang warga sipil, pengusiran penduduk secara paksa (sebanyak 42 orang meninggal karena kelelahan dan kekurangan makanan), perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lainnya secara sewenang-wenang terhadap 15 orang, sebanyak 30 orang mengalami penyiksaan, dan adanya pemaksaan penandataganan surat pernyataan dan pengerusakan berbagai fasilitas umum, seperti gereja, poliklinik dan gedung sekolah yang juga mengakibatkan adanya pengungsian secara paksa. Hasil penyelidikan projustisia Kasus Wamena telah diserahkan oleh Komnas HAM sejak 3 September 2004 kepada Kejaksaan Agung.

Pemerintah Indonesia melalui pernyataan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi dalam Sidang United Nations 3rd Cycle Universal Periodic Review (Sidang UPR) yang diadakan di Jenewa pada 3 Mei 2017, menyampaikan akan melakukan penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di Papua. Disebutkan bahwa Kejaksaan Agung sedang mempersiapkan untuk memproses kasus pelanggaran HAM Wamena dan Wasior di lingkungan Pengadilan HAM di Makassar. Namun hingga saat ini tidak ada langkah nyata yang diwujudkan Pemerintah Indonesia guna mempersiapkan pengadilan HAM tersebut. Praktis, pernyataan Pemerintah Indonesia dalam sidang UPR tersebut hanya sebagai pembohongan publik di hadapan entitas Internasional.

Akibat dari ketiadaan penegakan hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu memunculkan berbagai persoalan baru serta peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM yang terus menerus terjadi di Papua. Pendekatan pembangunan infrastruktur semata dan keamanan dengan mengesampingkan pemenuhan kewajiban negara untuk menghadirkan keadilan, rasa aman dan sejahtera bagi masyarakat Papua merupakan tindakan sesat pikir (Logical Fallacy).

Untuk itu, KontraS menilai bahwa Pemerintah harus segera mengambil langkah-langkah konkrit sebagai upaya untuk memberikan kepastian hukum, rasa keadilan bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM di Wamena. Hal ini sejalan dengan amanat dari UUD 1945 pasal 28 D ayat (1) menyatakan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Oleh karena itu, KontraS mendesak;

Pertama Presiden Joko Widodo agar melaksanakan komitmennya sebagaimana disampaikan dalam Nawa Cita dan dalam Sidang UPR sebagai bentuk tanggung jawab politik dan hukum. Percepatan pembentukan Pengadilan HAM perlu diimbangi dengan pelaksanaan prosedur hukum yang adil dan memberikan kepastian akan keadilan untuk korban (Fair Trial) untuk menghindari keberulangan atas putusan Pengadilan HAM dalam kasus Abepura di Makassar yang jauh dari nilai-nilai keadilan karena membebaskan pelaku.

Kedua Komnas HAM dan Kejaksaan Agung untuk segera mencari jalan keluar penyelesaiannya jika terjadi perbedaan pendapat berlarut antara penyelidik (Komnas HAM) dan penyidik (Kejaksaan Agung) mengenai dugaan pelanggaran HAM berat dalam kasus Wamena dan Wasior. Kejaksaan Agung dan Komnas HAM dapat membentuk Tim Ad Hoc penanganan kasus Wamena dan Wasior yang bertugas melengkapi bukti-bukti terkait untuk dibawa ke proses hukum di Pengadilan.

Ketiga LPSK agar proaktif memberikan bantuan psikososial terhadap korban dan keluarga korban pelanggaran HAM baik di Wasior maupun Wamena yang hingga pasca peristiwa, belum mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Indonesia. Bantuan psikososial ini penting untuk mempersiapkan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM saat pengadilan HAM untuk kasus Wasior dan Wamena dibentuk.

 

 

 

Jakarta, 4 April 2018

 

Yati Andriyani
Koordinator