Memperingati 19 tahun Peristiwa Simpang KKA

Memperingati 19 tahun Peristiwa Simpang KKA.

03 Mei 1999 – 03 Mei 2018

“Mempertanyakan Kemauan Politik Negara Untuk Menyelesaikan Kasus Simpang KKA”

 

Pada 3 Mei 2018, tepat 19 Tahun peristiwa Simpang KKA, Krueng Geukueh, Kabupaten Aceh Utara, Propinsi Aceh. Mengenang peristiwa ini bukan sekedar mengingat sejarah bangsa yang penuh luka yang belum diobati, tetapi juga keadilan yang terus diingkari oleh Pemerintah. Selain hak korban, pengabaian ini juga berdampak pada publik yang juga punya hak untuk mengetahui kebenaran sepenuhnya yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran, baik karena pelanggaran itu sendiri maupun untuk memastikan agar peristiwa atau kejahatan-kejahatan serupa tidak berulang di masa kini dan yang akan datang.

Dalam rangka mengenang peristiwa ini-para korban dan keluarganya melakukan do’a dan orasi serta long mach dari simpang KKA lebih kurang 500 meter  ke makam dua orang syuhada korban Tragedi Sp.KKA yakni Karimuddin dan Wardiani Puteh, guna melakukan ziarah bersama di pemakaman umum Gampong Paloh Lada,Kecamatan Dewantara. Dalam serangkain acara mengenang 19 tahun Tragedi Simpang KK ini, Panitia Bersama  juga menggelar juga pameran  poto-poto Korban dan Keluarga Korban Pelanggaran HAM Aceh  serta penggalangan  1000 tanda tangan dari masyarakat sebagai wujud dukungan bagi terpenuhinya hak-hak korban yang masih terabaikan aksi ini masih  di lokasi mengenang 19 tahun peristiwa Simpang KKA sebagai bentuk protes atas sikap Pemerintah yang terus mengabaikan pemenuhan hak-hak korban.

Peringatan19 tahun Peristiwa Simpang KKA kali ini bertepatan dengan momentum 20 Tahun reformasi. Jika merujuk 6 (enam) agenda reformasi dimana salah satu poinnya adalah tegaknya supremasi hukum. 20 tahun reformasi bisa menjadi sebuah momen yang ideal untuk mendorong Pemerintah terkait penyelesaian secara yuridis terkait peristiwa Simpang KKA melalui mekanisme Pengadilan yang adil dan akuntabel serta menghadirkan pemulihan yang sebesar-besarnya bagi para korban. Oleh karena itu, Pemerintah terutama Presiden harus mendorong Kejaksaan Agung untuk melakukan kewajiban penyidikan sesuai dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM terkait dengan peristiwa Simpang KKA agar proses hukum berjalan sesuai dengan mandat reformasi.

Peristiwa Simpang KKA yang terjadi 3 Mei 1999 merupakan salah satu peristiwa Pelanggaran HAM Berat yang terjadi pada masa Operasi Militer di Aceh. Pada tahun 2000, Komisi Independen Pengusutan Kekerasan Aceh (KIPKA) yang dibentuk melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 88/1999-telah melakukan pengkajian dan penyelidikan.

Komnas HAM pada 2014 juga telah melakukan penyelidikan projustisia terhadap peristiwa Simpang KKA. Dalam laporan Komnas HAM yang dirilis tahun 2016 menyimpulkan terdapat bukti permulaan yang cukup untuk menduga terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai salah satu bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam peristiwa Simpang KKA, Aceh Utara, Propinsi Aceh.

Dalam peristiwa ini mengakibatkan 21 orang masyarakat sipil meninggal dibunuh, 30 orang melangalami persekusi. Dua Komisi yang dibentuk oleh Negara tersebut telah merekomendasikan agar Pemerintah menindaklanjuti kasus Simpang KKA ke proses hukum. Tetapi hingga saat ini tidak ada satupun pelaku yang diproses hukum-bahkan karier mereka terus menanjak dan memperoleh posisi-posisi penting.

Sesuai prosedur hukum yang berlaku seharusnya bahwa bukti permulaan awal hasil penyelidikan projustisia Komnas HAM ditindaklanjuti oleh penyidik (Kejaksaan Agung). Namun Kejaksaan Agung menolak melakukan penyidikan dengan alasan hasil penyelidikan Komnas HAM belum memenuhi syarat formil dan materiil untuk dinaikkan ke tingkat Penyidikan.  Pengembalian Berkas Perkara Simpang KKA oleh Kejaksaan Agung merupakan upaya untuk menghambat proses hukum terhadap kasus Simpang KKA. Kejaksaan Agung sudah menjadi lembaga tameng untuk melanggengkan impunitas (kekebalan hukum bagi para pelaku).

Alasan tidak memenuhi syarat formil dan materiil merupakan persoalan politis penyidik (Kejaksaan Agung) yang tidak punya kemauan untuk melakukan penyidikan. Dalam amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi  No. 75/PUU-XIII/2015, 23 Agustus 2016 pada bagian pertimbangan menyampaikan bahwa sesungguhnya penyelesaian pelanggaran HAM berat sudah tidak berada di wilayah yuridis melainkan pada kemauan politik semua pihak untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM berat sambil menjunjung bekerjanya supremasi hukum di atas pertimbangan lainnya, sesuai dengan amanat pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

Atas kondisi itu, kami mendesak Pemerintah agar segera menuntaskan persoalan pelanggaran HAM berat masa lalu sesuai amanat konstitusi UUD 1945 dan berbagai produk peraturan lainnya yang terkait. Jika Pemerintah tidak punya kemauan menyelesaikan secara sungguh-sungguh-tidak tertutup kemungkinan dunia luar atau internasional akan ambil alih urusan.

Presiden Joko Widodo yang telah menjanjikan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu secara berkeadilan dan menghapus impunitas supaya bisa bertindak tegas untuk mengintruksikan Jaksa Agung guna melakukan penyidikan terhadap kasus Simpang KKA, dan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat lainnya.

Selain permasalahan mandegnya penyelesaian melalui proses hukum di Pengadilan. Penyelesaian melalui mekanisme non yudisial juga mengalami hal serupa hingga saat ini. Hal ini juga dikarenakan Presiden selama ini hanya menyerahkan persoalan ini dibawah kendali Menkopolhukam. Padahal Presiden Joko Widodo yang secara normatif menyebutkan dalam RPJMN 2015-2019 telah menyatakan akan membentuk Komisi ad hoc/temporer dengan tugas memfasilitasi proses pengungkapan pelanggaran HAM di masa lalu yang berada langsung dibawah Presiden dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada Presiden. Seharusnya Presiden dapat segera mengimplementasikan janji tersebut dengan membentuk Komite ad hoc/Komisi Kepresidenan. Pembentukan Komite ad hoc atau Komisi Kepresidenan dapat menjadi solusi terbaik untuk menjembatani semua persoalan, dan mempercepat proses penanganan Pelanggaran HAM berat masa lalu. Presiden harus memastikan figur-figur  yang mengisi Komite Kepresidenan memiliki integritas, tidak diduga terlibat dalam pelanggaran HAM yang berat dan korupsi, berpihak pada keadilan dan kridibel.

Dalam konteks lokal Aceh, telah terbentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh melalui Qanun(Peraturan Daerah) No. 17 tahun 2013 tentang KKR Aceh. KKR Aceh merupakan inisiatif lokal Aceh yang memiliki landasan hukum dan konsep yang jelas penyelesaian melalui mekanisme non yudisial-sebagai bagian dari implementasi mandat MoU Helsinki dan Undang-Undang No.11/2006 tentang Pemerintah Aceh. Namun kehadiran KKR Aceh belum menjadi diskursus penting dikalangan Pemerintah Pusat, dan lebih jauh belum ada dukungan politik dan legal secara Nasional untuk memperkuat eksistensi KKR Aceh.Terkait dengan Operasional dan Kesekretariatan KKR Aceh kiranya Pemerintah tidak menghambat kerja-kerja KKR Aceh lebih dari pada itu yang meski menjadi renungan bersama , terabainya pemenuhan hak-hak para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM Aceh. Mengingat urgensinya KKR Aceh, maka Pemerintah Pusat agar memberikan dukungan politik dan legal untuk memperkuat KKR Aceh. Begitu juga Pemerintah Aceh agar lebih memperhatikan Kesekretariatan dan Operasional KKR Aceh.

Lemahnya dukungan Pemerintah ini juga disebabkan oleh kurang dukungan dan ketidakpedulian Parlemen, baik DPR RI maupun DPR Aceh yang selama ini cenderung diam dan membiarkan persoalan rakyat ini berlarut-larut tanpa ada kepastian hukum. Legislatif seharusnya menggunakan kewenangannya memanggil Pemerintah untuk mempertanyakan terkait proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat masa lalu.

Krueng Geukueh, 03 Mei 2018
Forum Korban dan Keluarga Korban Tragedi Sp.KKA ( FK3T- SP.KK )

 

Narahubung:

  1. Murtala (FK3T-SP. KKA); 0853 73189870
  2. Muhammad Laina (Sekretaris Panitia); 0813 6030 8429
  3. Dimas Bagus Arya Saputra (Divisi Pemantauan Impunitas KontraS); 081232758888