Persekusi Komunitas Ahmadiyah Lombok Timur Kembali Terulang : Lemahnya Perlindungan Negara Terhadap Kelompok Minoritas

Press Release

Persekusi Komunitas Ahmadiyah Lombok Timur Kembali Terulang : Lemahnya Perlindungan Negara Terhadap Kelompok Minoritas

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok masa intoleran terhadap komunitas Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Dusun Geprek Tanah Eat, Desa Greneng, Kecamatan Sakra Timur, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat yang terjadi pada tanggal 19 Mei 2018. Peristiwa penyerangan tersebut tidak hanya mengakibatkan rusaknya sejumlah rumah dan harta benda milik kelompok JAI, tetapi sebanyak 24 orang yang berasal dari 7 kepala keluarga diusir secara paksa dari tempat kediamannya.

Berdasarkan informasi yang kami terima, peristiwa persekusi yang terjadi dalam dua hari ini merupakan bagian dari rentetan peristiwa persekusi terhadap kelompok JAI yang telah terjadi sebelumnya yakni pada bulan Maret 2018, disusul dengan peristiwa serupa pada tanggal 9 Mei 2018 di lokasi berbeda. Peristiwa persekusi tersebut sebenarnya telah dilaporkan oleh korban kepada pihak kepolisian yang kemudian hanya direspon dengan melakukan dialog. Akibatnya, persekusi kembali terjadi pada hari sabtu lalu, sekitar pukul 11.00 WITA dan kembali menyusul sekitar pukul 21.00 WITA. Meski para korban sudah dievakuasi ke Kantor Polres Lombok Timur dan tempat kediamannya dijaga ketat oleh pihak kepolisian, namun keesokan harinya yaitu pada tanggal 20 Mei 2018 sekitar pukul 06.30 WITA, kelompok intoleran masih terus melakukan penyerangan dan pengrusakan terhadap rumah tinggal kelompok JAI di lokasi yang sama.

Dari rangkaian peristiwa persekusi serupa di wilayah Lombok Timur, baik Pemerintah Lokal maupun aparat kepolisian seharusnya memiliki deteksi dini tentang potensi penyerangan maupun persekusi lanjutan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) Lombok Timur sehingga segala risiko dapat terhindarkan. Ketiadaan tindakan preventif maupun penghukuman terhadap mereka yang terlibat dalam peristiwa persekusi mengakibatkan kelompok – kelompok intoleran dapat dengan mudahnya menebarkan virus kebencian dan penghakiman terhadap kelompok minoritas yang dianggap bertentangan atau berbeda tanpa kekhawatiran untuk diproses secara hukum.

Dalam catatan KontraS, aksi persekusi terhadap kelompok – kelompok minoritas dalam melakukan aktivitas keagamaannya bukan pertama kalinya terjadi di Indonesia. Sebut saja, Jemaat Gereja Kristen, kelompok penghayat kepercayaan dan lain sebagainya merupakan kelompok yang rentan mengalami tindakan kekerasan dari kelompok intoleran. Laporan dari Pelapor Khusus PBB tentang Hak untuk Berkumpul secara Damai dan Hak untuk Berserikat pada 13 Mei 2014 silam, secara tegas menyatakan bahwa Indonesia masih memiliki catatan buruk HAM dunia terkait dengan hak-hak berkumpul secara damai, termasuk untuk kepentingan peribadatan agama.

Kami memandang bahwa peristiwa persekusi dan pengrusakan yang dilakukan oleh kelompok intoleran telah melanggar hak atas berkeyakinan, beragama dan beribadah yang telah dijamin secara konstitusional dalam Pasal 28E ayat (1 dan 2), pasal 29 ayat (1 dan 2) UUD 1945. Tindakan persekusi yang dilakukan kelompok intoleran tersebut juga jelas mengancam demokrasi dan prinsip negara hukum karena sekelompok orang telah mengambil alih tugas Negara untuk menyatakan seseorang telah bersalah dan melakukan penghukuman tanpa dasar hukum yang sah.

Selain itu, Pasal 2 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) secara tegas menyatakan bahwa Negara harus menghormati dan memastikan bahwa hak-hak sipil dan politik harus dinikmati oleh segenap warga negara, tanpa ada pembedaan atas dasar salah satunya adalah keyakinan Oleh karenanya, Negara berkewajiban untuk melakukan upaya yang efektif untuk mencegah dan menangani setiap ancaman atas kebhinekaan yang pada dasarnya merupakan kewajiban seluruh elemen bangsa dari berbagai latar belakang primordial berbasis suku/etnis, agama, ras, golongan dan daerah.

Untuk itu, KontraS secara tegas mendesak :

Pertama, Menteri Agama RI untuk mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 3 Tahun 2008 yang melakukan pelarangan dan memberikan batasan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia dalam melakukan ibadahnya. Kami meyakini bahwa tindakan persekusi yang terus dialami oleh kelompok Ahmadiyah di berbagai wilayah di Indonesia dikarenakan masih diberlakukannya SKB 3 Menteri yang sangat diskriminatif tersebut;

Kedua, Kapolda Nusa Tenggara Barat (NTB) untuk mengambil tindakan hukum terhadap kelompok – kelompok yang terlibat dalam peristiwa persekusi kelompok JAI dalam kurun waktu beberapa bulan terakhir. Kapolda NTB juga harus melakukan evaluasi terhadap kerja – kerja anggotanya di lapangan terkait minimnya deteksi dini akan potensi terjadinya tindak kekerasan atau persekusi terhadap kelompok minoritas keagamaan di wilayah Lombok Timur;

Ketiga, Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Lombok Timur untuk berkoordinasi dengan seluruh elemen Pemerintahan dan Polri guna menjamin hak atas rasa aman serta memastikan tidak terjadi persekusi lebih lanjut terhadap kelompok JAI di Lombok Timur. Kami juga mendesak agar Pemda Kabupaten Lombok Timur juga memberikan pemulihan trauma bagi para korban dan memberikan bantuan terhadap rumah maupun harta benda milik kelompok JAI yang telah dirusak oleh kelompok intoleran;

Keempat, Kami mengingatkan bahwa Provinsi NTB dan Kabupaten Lombok Timur merupakan wilayah yang masuk dalam Pemilihan Daerah Serentak pada Juni 2018. Kami mengingatkan kepada calon – calon kepala daerah untuk tidak menggunakan peristiwa tersebut sebagai isu politik untuk meraih dukungan masyarakat. Kami juga mendesak pihak kepolisian untuk mengusut dan menindak tegas jika memang terbukti adanya dugaan sentimen politik di balik peristiwa persekusi terhadap kelompok JAI ini.

 

 

Jakarta, 21 Mei 2017

Badan Pekerja KontraS,

 

Yati Andriyani

Koordinator