Ringkasan Laporan Pemantauan Prapilkada 2018

Ringkasan Laporan Pemantauan Prapilkada 2018

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Pilkada serentak yang akan diselenggarakan di 171 daerah-di antaranya 17 Provinsi untuk pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, 39 Kota pemilihan Walikota dan Wakil Walikota, dan 115 Kabupaten pemilihan Bupati dan Wakil Bupati-merupakan moment penting dalam kontinum demokratisasi untuk memberikan suara kepada kehendak rakyat yang merupakan dasar bagi otoritas pemerintah itu sendiri. Melalui penyelenggaraan pemilihan kepala daerah diharapkan masyarakat dapat menentukan pemimpin daerah yang dapat menciptakan ketentraman dan ketertiban (“law and order”), menciptakan kesejahteraan dan pemenuhan hak asasi manusia. Tata pemerintahan yang baik adalah sebuah proses bagi institusi publik melakukan urusan publik, mengelola sumber daya publik dan menjamin terwujudnya hak asasi manusia dengan cara yang bebas dari penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum lainnya.

Menyikapi Pilkada Serentak, KontraS ingin memastikan bahwa Pilkada serentak sebisa mungkin dapat menjadi medium untuk penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM). Setidaknya ada beberapa indikator HAM yang ingin dipastikan dalam Pilkada ini antara lain; hak untuk bebas dari diskriminasi, hak atas kebebasan berekspresi, hak atas kebebasan berpendapat, hak atas kebebasan berkumpul secara damai, hak untuk kebebasan berserikat, hak atas kebebasan bergerak, dan hak bebas dari rasa takut dan intimidasi.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mendorong terwujudnya proses Pilkada yang berkesesuaian dengan parameter HAM dan pemerintahan daerah yang akuntabel terhadap hak asasi manusia. KontraS melakukan pemantauan penyelenggaraan Pilkada yang dibagi menjadi tiga tahap; Prapilkada, Pilkada, Pascapilkada. Tahapan Prapilkada dimulai dari masa pendaftaran calon hingga penetapan resmi dari KPU. Tahapan Pilkada dimulai dari masa kampanye hingga pemilihan. Pascapilkada akan dilihat dari hasil Pilkada dan jumlah peristiwa yang muncul selama periode Pilkada secara keseluruhan.

Laporan ini merupakan rangkuman hasil pemantauan sepanjang Januari-Mei 2018 yang dilakukan dengan metode riset media maupun pengumpulan data-data di lapangan yang diperoleh melalui proses wawancara dengan jaringan-jaringan KontraS, yang kemudian dianalisis lebih lanjut. Secara singkat laporan ini berisi empat bagian, antara lain, pertama membahas tentang latar belakang KontraS melakukan pemantauan pilkada. Kedua, KontraS menuliskan indikator hak asasi manusia yang dapat dijadikan tolak ukur bagi lembaga penyelenggara maupun pengawas pemilu dalam mengawal pelaksanaan pilkada. Ketiga, berisi tentang temuan KontraS berupa daerah kerawanan dan isu khusus yang patut dijadikan perhatian selama proses pelaksanaan pilkada serentak. Dan keempat, KontraS menyampaikan kesimpulan serta rekomendasi dalam mengawal proses pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia.

Berdasarkan laporan tersebut, kami menyoroti sejumlah peristiwa penting yang terjadi selama Pra Pilkada, antara lain:

  1. Kami mengindentifikasi kasus-kasus pelanggaran pilkada yang terjadi di 10 daerah tersebut pada periode Januari – Juni 2018. Kami mendapati bahwa di setiap daerah terdapat pelanggaran yang berbeda-beda. Namun, ada tiga pola yang sama yang terjadi, diantaranya: (a) Intimidasi dan teror, (b) provokasi dan pengrusakan, serta (c) kampanye hitam dan kampanye ilegal. KontraS menemukan bahwa perihal pelanggaran non-administratif pada periode pilkada cenderung meningkat sejak masa kampanye dimulai. Hal tersebut patut menjadi pertanyaan bagi badan pengawas pemilu dengan kewenangannya, mengingat BAWASLU memiliki nota kesepahaman dengan beberapa lembaga negara lain untuk mengawasi pelaksanaan pilkada. Secara umum, masyarakat dan pendukung para calon tetap menjadi kelompok yang rentan menjadi korban pelanggaran HAM. Hal tersebut terjadi karena ekspresi politik sah mereka bisa ditafsirkan lain oleh penegak hukum yang dalam bekerja kurang independen, misalnya dengan penggunaan pasal pencemaran nama baik, UU ITE dan ujaran kebencian. Kontestasi politik kerap kali dibumbui oleh saling serang antar pendukung untuk menjatuhkan reputasi dari calon pemimpin yang mereka usung. Hal-hal di atas didukung pula akibat lemahnya sistem pengawasan pemilu dan penegakan hukum yang seolah membiarkan peristiwa tersebut terjadi atau malah terlibat dalam politik praktis di beberapa daerah. Seperti yang terjadi di Kalimantan Selatan. Isu kampanye hitam menguat melalui media sosial, yang dilakukan oleh pendukung, simpatisan, ataupun tim sukses dari masing-masing calon. Salah satu kasus yang masuk ke dalam pemantauan KontraS ialah beberapa akun media sosial facebook dilaporkan oleh Tim Pasangan Calon (paslon) Bupati dan Wakil Bupati) ke Kepolisian Resort Tabalong, akun tersebut diduga kuat melakukan pencemaran nama baik, ujaran kebencian dan dianggap telah merugikan salah satu calon. Kampanye hitam yang dilakukan oleh antar tim pendukung tiap calon pemimpin penting untuk mendapatkan perhatian khusus karena dapat berdampak pada konflik horizontal.
  2. Keterlibatan kepolisian di ranah sipil yang terbukti membantu kampanye salah satu calon namun tidak mendapat tindakan tegas atau lolos dari pengawasan Bawaslu/Panwaslu. Kepolisian berada dalam sorotan khususnya karena sebagian dari perwira mereka ikut dalam pertarungan pilkada. Independensi kepolisian berada dalam titik kritis selama proses pilkada di tempat-tempat di mana para mantan perwira polisi ikut bertarung. Selain itu, kami turut menyoroti penunjukkan langsung anggota polisi aktif yang ditempatkan sebagai Plt. kepala daerah tertentu sebab berpotensi terjadi kerentanan penggunaan kekuatan Polri untuk tujuan politik, mengingat peraturan yang ditabrak dan juga terdapatnya kontestan Pilkada yang berasal dari institusi Polri dalam kontestasi Pilkada 2018.
  3. Daerah dengan calon tunggal berpotensi besar atas terjadinya politik uang dan intimidasi. Berkaca pada pengalaman pilkada di Pati, Jawa Tengah terkait dengan calon tunggal pada tahun 2017 lalu, masyarakat yang memiliki pilihan politik independen serta tidak puas dengan keputusan partai politik dalam pengusungan calon, juga rentan menjadi target intimidasi dan kekerasan. Ekspresi politik ‘pilih kotak kosong’ misalnya, telah memberikan pukulan dan tantangan yang besar pada calon tunggal yang tidak ingin legitimasinya ternodai. Dalam situasi seperti itu, penting untuk Bawaslu dan KPU untuk memberikan penghormatan hak politik warga sebagaimana aturan dalam UU Pemilu.
  4. Keterlibatan ASN (Aparatur Sipil Negara) dalam politik praktis. Pola politisasi ASN bisa berlangsung dua arah. Pertama, ASN yang dimobilisasi sebagai basis dukungan politik—biasanya dilakukan petahana, sanak keluarganya, atau (mantan) birokrat yang menjadi Pasangan Calon (Paslon). Kedua, ASN yang aktif menggalang dukungan untuk kepentingan salah satu Paslon dengan harapan mendapat promosi atau mutasi ke jabatan yang lebih prestise. Pelanggaran yang dilakukan oleh ASN tidak semata-mata hanya karena mereka ingin menduduki jabatan tinggi atau menolak untuk dimutasi ke wilayah yang mereka tidak inginkan, namun juga tidak sedikit dari ASN yang terlibat dalam kampanye menyatakan bahwa ada dugaan akan mendapatkan sanksi penurunan jabatan jika tidak mendukung calon kepala daerah tertentu di wilayahnya.

Kami berharap hasil temuan ini dapat dijadikan acuan bagi BAWASLU untuk lebih tegas dan memaksimalkan perannya dalam melakukan pengawasan dan penindakan setiap tindakan pelanggaran pemilu pada pelaksanaan Pilkada Serentak maupun pada momentum pelaksanaan Pemilu dan Pilpres 2019 mendatang.

Mendasarkan pada kondisi tersebut, KontraS merekomendasikan sejumlah hal kepada BAWASLU, antara lain:

Pertama, Badan Pengawas Pemilu untuk menjadikan hak asasi manusia sebagai standar pelayanan minimal dalam instrumen pengawasan untuk menjamin pemilu yang bebas dan adil, baik bagi para pemilih, para pihak yang mengikuti pemilu, maupun bagi rakyat umumnya dari segala ketakutan, intimidasi, penyuapan, penipuan dan praktik-praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilihan umum.

Kedua, Badan Pengawas Pemilu memastikan kinerja BAWASLU Kab/Kota dan Panwaslu Kecamatan untuk dapat tegas terhadap pelanggaran yang terjadi, baik yang dilakukan oleh tim sukses, ASN, maupun aparat negara yang terlibat. Kemudian, menindak secara tegas terhadap Bawaslu Kab/Kota juga Panwaslu Kecamatan/Kelurahan tidak terlibat politik praktis. Sebagaimana temuan KontraS yang menemukan adanya daerah penyelenggaraan pilkada, dimana BAWASLU Kab/Kota maupun Panwaslu Kecamatan tidak bekerja secara maksimal.

Ketiga, Badan Pengawas Pemilu dapat menindak tegas salah satu calon yang memainkan isu pelanggaran HAM masa lalu, seperti isu PKI, komunisme, eks-tapol, sebagai bagian dari kampanye hitam. Hal tersebut penting dilakukan guna tetap menjaga kualitas demokrasi di Indonesia.

Keempat, Badan Pengawas Pemilu berkoordinasi dengan Lembaga – lembaga independen negara yang memiliki mandat untuk melakukan tugas dan fungsinya di bidang pengawasan, pemantauan, dan perlindungan seperti Komnas HAM, ORI, KPK, dan Kompolnas guna memaksimalkan mandat dan kewenangannya dalam pencegahan dan penanganan terjadinya kerawanan pilkada serentak yang dapat merugikan hak – hak warga negara dan potensi penyalahgunaan kewenangan lembaga negara.

Kelima, Badan Pengawas Pemilu agar menyampaikan informasi secara detil berkaitan dengan tupoksi (informasi hasil pengawasan) meliputi kluster informasi hasil pengawasan pilkada, tahapan, jenis pelanggaran, pihak yang dilaporkan, pihak yang melaporkan, kondisi laporan memenuhi syarat atau tidak, serta hasil tindak lanjutnya, yang dapat diakses oleh masyarakat sebagai bagian dari pengawasan publik.

Jakarta, 22 Juni 2018.

KontraS

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

Lampiran; Laporan Pemantauan Pra Pilkada Januari-Juni 2018