Debat Pilpres 2019: Mendulang Suara, Memperdagangkan HAM

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan pandangan kritis terhadap dinamika dan pelaksanaan Debat Capres dan Cawapres 2019 yang akan berlangsung mulai 17 Januari 2019 mendatang, dengan tema pembahasan pada Putaran I mengenai Hukum, HAM, Korupsi, dan Terorisme.

Kami menilai dalam tahap persiapan pelaksanaan Debat Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak mampu memenuhi ekspektasi publik.  Sikap dan keputusan KPU yang cenderung kaku terhadap respon publik, namun akomodatif dan kompromis terhadap dua Tim pasangan Capres Cawapres, dan bahkan protektif terhadap citra dua kandidat Capres Cawapres hanya akan menjadikan penyelenggaraan debat sebagai ajang sosialisasi dan formalitas semata. Hal tersebut ditandai dengan; Pertama, masing – masing pasangan capres-cawapres akan menerima pertanyaan debat sebelum debat diselenggarakan.[1] Kedua, ditiadakannya penyampaian visi-misi pasangan capres-cawapres oleh KPU[2]. Ketiga, adanya pemberitahuan bahwa dalam debat tersebut tidak bisa disampaikan kasus – kasus[3].

KPU mengatakan keputusan tersebut atas “kesepakatan” kedua belah pihak, hal ini menunjukkan ketidaktegasan KPU atas format debat yang akan dilaksanakan. KPU lebih mengedepankan kemauan dan kepentingan dua kandidat, di antaranya dengan alasan tidak ingin ada yang dipermalukan dalam debat. Sikap KPU ini telah mereduksi esensi tema HAM, dan dapat berdampak pada orisinalitas gagasan, pandangan dan kualitas perdebatan karena jawaban telah disiapkan sebelumnya. Penyelenggaraan debat yang hanya berisi sosialisasi dan menolak pembahasan persoalan kasuistik, dan kontekstual dalam isu HAM, hukum dan korupsi hanya  menghasilkan jawaban yang normatif, retoris, dan cenderung hafalan. Seharusnya momen debat dapat menjadi ruang untuk menguji jejak rekam dan gagasan juga komitmen kedua calon dalam isu HAM, bukan sebaliknya untuk saling menutupi kelemahan, kekurangan atau masalah dari kedua kandidat sebagaimana pernyataan KPU yang menyatakan tidak ingin ada yang dipermalukan.

Menyadari adanya potensi  risiko akan terus memburuknya kondisi HAM lima tahun ke depan, atas siapapun yang memenangkan pemilu 2019, KontraS tidak terlalu banyak berharap hadirnya komitmen-komitmen baru dari para calon atas agenda-agenda HAM. Dalam catatan KontraS, isu HAM selalu muncul menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres). HAM dijadikan komoditi untuk merebut dukungan suara dari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, termasuk hanya menjadi pelengkap dari tahapan debat yang ada. Sehingga masuknya agenda HAM sebagai topik debat tidak menjadi ukuran bahwa HAM merupakan pokok prioritas bagi dua kandidat Capres Cawapres. Namun demikian, KontraS dan keluarga korban pelanggaran HAM jelas berkepentingan langsung dengan isu HAM dalam debat Pilpres. Karena debat itu akan menentukan sejauhmana para calon akan mewarnai dan membawa situasi HAM setidaknya lima tahun kedepan.

Oleh karenanya, kami menekankan bahwa agenda HAM dapat dikatakan menjadi prioritas, yakni apabila pemerintahan yang berkuasa dapat memenuhi 3 alat ukur berikut ; (1) kemampuan negara untuk bertanggung jawab (responsibility), (2) kemampuan negara untuk memberikan rasionalisasi atas setiap kebijakan yang diputuskan (answerability), (3) kemampuan negara untuk menggunakan mekanisme koreksi dalam rangka penegakan hukum (enforceability). Untuk menguji ketiga hal tersebut, tidak cukup hanya dengan pembahasan dan jawaban normatif dan retoris, tetapi harus diuji dengan persoalan-persoalan yang terjadi.

Selain itu, Indonesia yang telah meratifikasi kovenan internasional hak sipil dan politik, serta kovenan internasional hak ekonomi, sosial, dan budaya harus mendelegasikan penerapannya ke tingkat yang lebih rendah, termasuk otoritas lokal. Kebutuhan akan mendelegasikan hak asasi manusia ke ranah debat bukan retorika semata, sebab pelanggaran HAM dapat terjadi karena adanya tindakan langsung dari Negara (act commission) atau pembiaran dari Negara (act of ommission).

Kami juga menenakan bahwa pemenuhan, perlindungan, dan penghormatan HAM tidak boleh tebang pilih dan tidak dapat dipertentangkan antara satu dan lainnya. Penguasa atau otoritas negara tidak dibenarkan hanya “memilih” untuk memenuhi isu HAM yang dapat “mendulang” dukungan atas kekuasaan tetapi menghindari pemenuhan HAM yang dianggap  ”berisiko” secara politik.

Jika menilik kembali peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi sepanjang 4 tahun terakhir dalam kepemimpinan Joko Widodo – Jusuf Kalla[4], cukup menunjukkan bahwa ide hak asasi manusia hanya dijadikan hiasan dalam kitab visi – misi calon presiden (Nawacita—red). Namun, pada tingkat pelaksanaannya, hak asasi manusia tidak menjadi standar, baik dalam perumusan kebijakan ataupun dalam membuat pernyataan tertentu yang memunculkan diskursus publik. Hal tersebut terulang kembali ketika kedua capres dan cawapres periode 2019 – 2024 tidak menempatkan satu kalimat yang menyebut hak asasi manusia atau pun penyelesaian pelanggaran HAM pada visi – misinya. Dengan demikian, isu HAM lagi – lagi hanya menjadi gimik politik saja tanpa ada komitmen yang konkret untuk  menyelesaikan kasus pelanggaran HAM [berat] masa lalu yang masih terkatung – katung sejak lama.

Penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat tentunya menjadi satu hal yang mutlak dilakukan oleh Presiden dan Wakil Presiden terpilih nantinya, mengingat hal tersebut masih menjadi hutang negara yang harus  dipertanggungjawabkan kepada masyarakat. Momentum Kejaksaan Agung yang lagi – lagi mengembalikan berkas terkait 9 kasus dugaan pelanggaran HAM berat kepada Komnas HAM dengan alasan tidak ada kebaruan yang substansial, pada 27 November 2018 silam, menjadi salah satu persoalan paling serius untuk dipecahkan agar tidak berlarut – larut.

Selain itu, persoalan HAM yang juga harus dijawab diantaranya ada agenda-agenda HAM yang dalam ranah hak sipil politik yang cenderung dihindari untuk oleh pemerintah diantaranya; perlindungan kelompok terhadap rentan dan minoritas agama dan kepercayaan, pelanggaran HAM di  Papua, penerapan hukuman mati, praktik penyiksaan, implementasi pengadilan HAM, Reformasi Peradilan Militer, kriminalisasi pembela HAM, dukungan untuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh (KKR), perlindungan kebebasan berkumpul, berpendapat dan isu civic freedom lainnya. Persoalan lainnya juga juga penting mendapat perhatian isu – isu bisnis dan HAM; pembangunan, investasi  yang merugikan  masyarakat.

Kami juga melihat subtansi dan esensi persoalan HAM di atas jauh dari radar pembahasan dua tim kampanye. Perdebatan di tataran elit nasional sama sekali tidak menunjukkan geliatnya untuk membawa momentum pemilihan umum sebagai momen perbaikan atas aspek kesejahteraan sosial, lingkungan hidup, penegakan hukum, demokratisasi, terlebih lagi perlindungan hak asasi manusia. Belakangan, publik hanya dipertontonkan dengan “drama” kedua calon yang berebut paling alim[5] atau yang paling populis.[6]

KontraS perlu mengingatkan bahwa elemen hak asasi manusia bukanlah ide yang “mengawang-awang.” Hukum hak asasi manusia internasional menetapkan kewajiban yang harus dihormati oleh negara. Dengan menjadi pihak dalam perjanjian internasional, Pemerintah wajib—di bawah hukum internasional— untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi manusia. Kewajiban untuk menghormati berarti bahwa Negara harus menahan diri untuk tidak mencampuri atau membatasi pemenuhan hak asasi manusia. Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk melindungi individu dan kelompok terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Kewajiban untuk memenuhi berarti bahwa Negara harus mengambil tindakan positif untuk memfasilitasi kenikmatan hak asasi manusia.

 

Jakarta, 11 Januari 2019

Badan Pekerja KontraS

 

 

Yati Andriyani

Koordinator

 

[1] https://t.co/KhzYtCaTXO

[2] https://www.idntimes.com/news/indonesia/rochmanudin-wijaya/kontroversi-sosialisasi-visi-misi-paslon-saat-debat-capres

[3] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20190109122848-32-359534/debat-capres-tak-boleh-bahas-kasus-termasuk-pelanggaran-ham

[4] Lihat laporan 4 tahun Joko Widodo – Jusuf Kalla

[5] https://regional.kompas.com/read/2019/01/02/13205561/jokowi-dipastikan-hadir-untuk-tes-baca-al-quran-di-aceh

[6] https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20180129/281496456716912