Habis Gelap Terbitlah Terang, Sudah Terbit Malah Dilarang

Pada hari Jumat, 1 Februari 2019, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan acara diskusi sekaligus membuka lapak buku dengan tajuk “Habis Gelap Terbitlah Terang, Sudah Terbit Malah Dilarang”. Acara ini merupakan bentuk tanggapan KontraS terhadap isu razia dan penyitaan buku yang marak terjadi sejak akhir tahun 2018 sampai awal tahun 2019. Menurut catatan KontraS, dalam kurun waktu tersebut telah terjadi 2 peristiwa razia sekaligus penyitaan buku. Peristiwa pertama terjadi di Kediri yakni penyitaan lebih dari seratus buku dari beberapa toko buku di daerah Kediri oleh tim gabungan Kodim 0809 dan Polres Kediri, sementara peristiwa kedua terjadi di Padang, Sumatera Barat berupa penyitaan 6 eksemplar dari 3 jenis buku yang ditengarai memuat konten yang berkaitan dengan komunisme di sebuah toko buku di Kota Padang. Kondisi ini kemudian diperparah dengan pernyataan Jaksa Agung, H. M. Prasetyo, yang mengusulkan diadakan razia besar-besaran terhdap buku yang diduga mengandung ideologi terlarang.

Lapak buku dalam acara ini dibuka pada pukul 14.30 WIB dengan diisi oleh 8 pelapak yakni Koperasi Mutualis, Buku Bergerak, Marjin Kiri, Berdikari, Yayasan Obor Indonesia, Kios Ojo Keos, Perempuan Kopi, dan Sebumi. Pada pukul 15.00 WIB, lapak buku ini juga dibarengi dengan diskusi dengan tema seputar pelarangan buku di Indonesia. Diskusi ini diisi oleh tiga pembicara yaitu Ronny Agustinus (Marjin Kiri), Asvi Warman Adam (LIPI), dan Miko Ginting (STIH Jentera) dan dipandu oleh Feri Kusuma (KontraS) selaku moderator. Diskusi ini menyimpulkan bahwa fenomena razia buku yang baru-baru ini terjadi bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada karena tidak sesuai dengan tahapan-tahapan proses hukum terhadap konten barang cetakan sebagaimana terdapat dalam putusan MK.

Acara ini diadakan untuk memberikan narasi baru ke publik yang selama ini telah disajikan berbagai pemberitaan yang mengisyaratkan bahwa terdapat buku-buku yang dilarang untuk dijual dan/atau dimiliki. Padahal, sampai saat ini belum ada putusan pengadilan yang menetapkan adanya buku yang dilarang peredarannya. Dengan adanya acara ini, diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada publik mengenai kebebasan berpendapat dan mekanisme yang diatur oleh hukum tentang tahap-tahap yang seharusnya ditempuh oleh aparat dalam melakukan “pelarangan” terhadap sebuah buku melalui tahapan-tahapan sebagaimana dijabarkan dalam putusan MK Nomor 6-13-20/puu-viii/2010 perkara Permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 4/PNPS/1963 tentang Pengamanan Terhadap BarangBarang Cetakan Yang Mengganggu Ketertiban Umum juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Harapannya, acara ini dapat dijadikan momentum untuk merefleksikan nasib kebebasan berpendapat di Indonesia, khususnya dalam bentuk konten barang cetakan serta peran masyarakat sipil dalam mempertahankan hak-haknya dari represifitas negara.