Mendesak Dilakukannya Penyelidikan atas Peristiwa Penganiayaan terhadap Massa Aksi Aliansi Mahasiswa Papua bersama Fri-West Papua

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam tindakan aparat Polres Malang dan anggota Ormas reaksioner yang melakukan pembubaran paksa yang disertai dengan tindak kekerasan terhadap peserta aksi Aliansi Mahasiswa Papua dan Organisasi Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (Fri-West Papua) yang terjadi di depan Kantor Balai Kota Malang, Jawa Timur, pada hari Minggu, 7 April 2019.

Berdasarkan informasi yang kami terima, tindakan refresif tersebut diawali ketika Adi Fajar, salah seorang anggota Intelkam Polres Malang, mempersalahkan poster golput yang dibawa oleh masa aksi yang dianggapnya dapat diproses secara hukum. Anggota kepolisian dan sejumlah orang yang berpakain sipil (sebagian menggunakan penutup wajah)  melakukan pemukulan, tendangan, dorongan, pelemparan, dan penyiraman air kopi bercampur cabai rujak kepada massa aksi. Kemudian massa aksi dipaksa untuk naik ke mobil Dalmas dan di dalam mobil Dalmas ada satu orang massa aksi yang dipukul oleh seorang anggota polisi. Setelah itu, massa aksi akhirnya diturunkan di Terminal Landungsari. (Lampiran Kronologis Peristiwa)

Peristiwa kekerasan tersebut menambah daftar panjang catatan peristiwa pelanggaran terhadap hak-hak berkumpul dan berekspresi di Indonesia. Sepanjang tahun 2018, KontraS mencatat setidaknya telah terjadi 220 peristiwa pelanggaran terhadap hak-hak kebebasan berpendapat, berkumpul, dan berekspresi, dimana 119 peristiwa dilakukan oleh institusi Polri. Fakta ini mengindikasikan bahwa negara melalui aparat penegak hukumnya belum dapat memastikan adanya ruang yang aman bagi masyarakat untuk menyampaikan pendapat tanpa mendapat tindakan represif.

Fakta dalam peristiwa ini menunjukkan bahwa sejumlah aturan hukum telah dilanggar oleh aparat kepolisian, diantaranya UUD 1945;  UU No. 9/1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum; pasal 23 ayat (2) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM;  UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang dalam pasal 19 menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyampaikan pendapat, dan negara wajib menghormati serta menjamin hak-hak ini”. Selain itu, tindakan refresif aparat kepolisian juga bentuk pelanggaran terhadap Peraturan Kapolri No 16/2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa; Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian, serta Perkap No 8/2009 tentang Implementasi Prinsip-Prinsip dan Standar HAM dalam penyelenggaraan tugas Polri. Kami juga menilai bahwa tindakan aparat Kepolisian tersebut patut dikategorikan sebagai tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Berdasarkan hal-hal di atas, KontraS mendesak;

Pertama, Kapolda Jawa Timur untuk segera mengusut tindakan tersebut dan melakukan proses hukum  terhadap anggota Kepolisian Polres Malang. Hal ini penting untuk membuktikan komitmen serta keseriusan Polri dalam melakukan penegakan hukum tanpa pandang bulu, termasuk terhadap anggotanya sendiri.

Kedua, Kapolda Jawa Timur untuk melakukan evaluasi dan pengawasan yang ketat terhadap setiap perilaku anggotanya di lapangan, serta memastikan setiap anggota kepolisian dalam menjalankan tugasnya tetap memegang aturan hukum dan prinsip – prinsip hak asasi manusia.

Ketiga, Kompolnas, Komnas HAM, dan Ombudsman RI agar melakukan pengawasan dan evaluasi terkait tindakan melawan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya dalam hal pengendalian dan penanganan massa aksi demontrasi di lapangan. Pengawasan merupakan kewajiban untuk memastikan bahwa proses hukum yang dilakukan terhadap aparat penegak hukum yang melanggar, diproses secara transparan dan akuntabel. 

Jakarta, 8 April 2019

Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani

Koordinator