Tim Hukum Nasional Usulan Menkopolhukam; Reaktif, Subjektif, Berpotensi Melanggar HAM dan Demokrasi

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memandang rencana pembentukan tim hukum nasional untuk merespon tindakan, ucapan dan pemikiran tokoh oleh Kemenkopolhukam, Wiranto sebagai tindakan yang berlebihan, tidak proporsional, cenderung subjektif tanpa parameter yang jelas dan akuntabel. Lebih jauh,  pembentukan tim tersebut berpotensi membungkam kebebasan berpendapat, berekpresi dan berkumpul, termasuk berpotensi mencederai kebebasan pers karena Wiranto juga menyebutkan akan menutup media yang membantu pelanggaran hukum. Rencana tersebut sebagaimana dikemukanan Wiranto  pasca menggelar Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) tingkat menteri, tentang permasalahan hukum pasca Pemilu 2019 bersama Menteri Dalam Negeri, Wakapolri, dan Menteri Komunikasi dan Informatika.

Wacana pembentukan tim hukum nasional ini seolah menunjukkan negara tidak memiliki dan tidak mempercayai instrumen dan mekanisme penegakan hukum yang ada, juga menunjukan lemahnya koordinasi antar lembaga negara mengingat solusi yang ditawarkan dalam menghadapi dinamika politik dan situasi sosial dengan membentuk tim juga berpotensi terjadi tumpang tindih kewenangan lembaga penegakan hukum dan pengawasan yang ada.

Kekhawatiran atau kepanikan pemerintah atau kelompok manapun atas dinamika dan situasi politik yang muncul pasca Pemilu tetap harus direspon secara proporsional, terukur dan akuntabel, diantaranya dengan tetap mengedepankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Kebijakan yang dikeluarkan dalam menghadapi dinamika politik tidak boleh mencederai nilai – nilai demokrasi dan HAM yang menjamin hak kebebasan berpendapat, bereskpresi dan berkumpul. Ancaman terhadap pers, pengawasan terhadap tokoh dan warga masyarakat lainnya yang tidak jelas parameternya dan akuntabilitasnya hanya akan memundurkan demokrasi. Sementara aturan negara yang lainnya seperti UU ITE telah cukup ampuh merenggut kebebasan  kebebasan berekpresi warga negara.

Kami juga mencatat Menkopolhukam Wiranto kerap kali mengeluarkan usulan yang kontroversial dan mengancam demokrasi. sejumlah pernyataan dan kebijakan yang keluar sejak Wiranto diangkat menjadi menteri cenderung memberikan ruang gerak kepada penguasa untuk mengambil keputusan-keputusan yang berujung pada kontroversi, melanggengkan impunitas, dan melanggar hukum. Wiranto mengatakan bahwa hukuman mati di Indonesia tidak perlu dievaluasi, penyelesaian peristiwa 1965 diselesaikan dengan pendekatan nonyudisial, pembuatan Dewan Kerukunan Nasional, mendukung pembubaran organisasi tanpa mekanisme hukum, mengatakan peristiwa Deiyai di Papua bukan pelanggaran HAM, menyatakan sikap perlawanan hukum yang ia sampaikan di Lembaga Pertahanan Nasional tentang ketidakterkaitannya pada kasus pelanggaran HAM serius di Timor Leste jelang pelaksanaan dan pasca Jajak Pendapat 1999. Pernyataan yang kontroversial itu menjadi sulit dibayangkan keluar oleh posisi jabatan publik yang idealnya mengampu mengkoodinasikan jaminan pelaksanaan dan perlindungan hukum, politik dan keamanan di Indonesia secara terukur, terpadu dan sistematis.

 

Dalam hal ini kami mengingatkan bahwa dalam meredam, menangani situasi politik dan keamanan Menkopolhukam tidak bisa serta merta dapat mengorbankan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia. Jika demikian maka pola – pola Orde Baru rentan digunakan dalam melindungi kekuasaan. Pengurangan/derogasi hak-hak asasi dalam Kovenan SipilPolitik, memiliki prasyarat ketat. Derogasi bisa diperbolehkanbila suatu kondisi darurat  di suatu negara bisa mengancamkeselamatan bangsa (life of the nation) yang memiliki karaktersangat luar biasa (exceptional) dan sementara (temporary).[1] Keadaan darurat ini tidak melulu harus didefinisikan sebagaikeadaan darurat perang atau militer, tapi juga mencakup suatukondisi genting yang bisa membahayakan tatanan masyarakatseperti bencana alam atau krisis ekonomi. Siracusa Principles ini secara lebih rinci menyediakan definisi faktor-faktorpenyebab kondisi darurat (emergency) seperti apa itu ancamanterhadap tatanan masyarakat (public order), kesehatanmasyarakat (public health), moral publik (public morals), keselamatan nasional (national security), dan keselamatanpublik (public safety). Parameter tersebut harus dipenuhi jikapemerintah melakukan pembatasan pada hak kebebesanberpendapat, berekpresi dan berkumpul.

Merujuk pada hal – hal di atas, kami mendesak;

Pertama, Presiden Joko Widodo memastikan setiap langkah dan keputusan yang dilalukan oleh jajaran kementerian di kabinetnya ada di bawah pengetahuan, pemahaman dan kontrol-nya. Termasuk memastikan langkah yang diambil tidak mencederai nilai – nilai demokrasi dan hak asasi manusia.

Kedua, Menkopolhukam menghentikan rencana pembentukan tim yang dimaksud, dan upaya mengeluarkan kebijakan yang berdampak pada pelanggaran HAM, mencederai demokrasi, termasuk kebebasan pers.

Ketiga, pemerintah, penegak hukum harus mampu menjaga netralitas dan profesionalisme dalam menghadapi dinamika politik yang muncul pasca Pemilu.

Jakarta, 7 Mei 2019

 

Yati Andriyani

Koordinator