Periksa dan Adili Secara Pidana Petugas Lapas yang Diduga Melakukan Penganiayaan Terhadap Sejumlah Narapidana di Lapas Nusakambangan

SURAT TERBUKA

Periksa dan Adili Secara Pidana Petugas Lapas yang Diduga Melakukan Penganiayaan Terhadap Sejumlah Narapidana di Lapas Nusakambangan

Kepada Yang Terhormat,

Kepala Polisi Daerah (Kapolda) Jawa Tengah

  1. Irjen Pol Rycko Amleza Dahnil

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia

  1. Yasonna Laoly

Direktur Jendral Pemasyarakatan Kemenkumham RI

  1. Sri Puguh Budi Utami

Dengan Hormat,

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mempertanyakan sikap Junaedi selaku Direktur Pembinaan Narapidana dan Latihan Kerja Produksi, Dirjen Pas Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang hanya memberikan sanksi administratif kepada 13 (tiga belas) petugas lapas dan HM selaku Kepala Lapas Narkotika Nusakambangan.

Berdasarkan informasi yang kami dapatkan, pada tanggal 28 Maret 2019 KontraS mencatat telah terjadi peristiwa penyiksaan, penghukuman dan tindakan tidak manusiawi yang dilakukan oleh para petugas Lapas di Nusakambangan terhadap 26 (dua puluh enam) narapidana pindahan dari Lapas Grobokan dan Lapas Bangli ke Lapas Nusakambangan. Dalam video tersebut terlihat jelas bentuk-bentuk penganiayaan, penghukuman, tindakan keji dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh para petugas Lapas terhadap para terpidana. Terkait peristiwa tersebut, Kemenkumham menonaktifkan para petugas lapas yang diduga terlibat atas tindakan tersebut.

KontraS menilai keputusan menonaktifkan para petugas lapas, merupakan keputusan yang salah dan keliru, sebab penganiayaan adalah perbuatan kejahatan yang masuk dalam ranah tindak pidana dan hal itu diatur dalam Pasal 351 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara paling lama dua tahun. Oleh karenanya, penghukuman yang tepat ialah para terduga pelaku dapat diproses dan diadili secara pidana.

Bahwa dikarenakan tindak pidana penganiayaan merupakan bukan delik aduan (klacht delict) pihak kepolisian tidak perlu menunggu adanya laporan dari korban atas kerugian yang diderita. Sebaliknya, pihak kepolisian harus secara proaktif melakukan penyidikan atas perisitwa hukum yang telah terjadi.

Lebih lanjut, pihak penyidik sekiranya tidak hanya memeriksa petugas Lapas yang melakukan tindak pidana, melainkan juga harus dapat mengurai sejauh mana keterlibatan atasan petugas Lapas. Hal itu dilakukan, guna mengetahui hubungan hukum antara atasan dengan petugas Lapas di lapangan, sehingga pertanggungjawaban pidana tidak hanya terletak pada pelaku yang melakukan tindak pidana, melainkan juga kepada seseorang yang menyuruh melakukan tindak pidana bilamana memenuhi bukti permulaan yang cukup.

Bahwa peristiwa hukum yang dialami sejumlah narapidana di Lapas Nusakambangan bukan pertama kalinya terjadi, kami mencatat sepanjang bulan Januari-Juni tahun 2018, di berbagai daerah di Indonesia terdapat 13 (tiga belas) tindakan kekerasan yang dilakukan oleh petugas Lapas. Kondisi ini menunjukan adanya keberulangan ketidaktaatan hukum dan berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia terhadap para narapidana, hal itu tentu tidak sejalan dengan Undang-Undang 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengamantkan petugas Lapas dalam kerja-kerjanya harus menghormati harkat dan martabat manusia.

Berdasarkan uraian dan penjelasan kami di atas, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mendesak:

Pertama, Kementerian Hukum dan HAM menyerahkan sepenuhnya kasus dugaan penganiayaan terhadap narapidana Lapas Nusakambangan kepada Polda Jawa Tengah dan memberhentikan sementara para terduga pelaku sebagai aparatur sipil negara selama proses hukum berlangsung;

Kedua, Polda Jawa Tengah untuk segera melakukan koordinasi dan melakukan penyidikan terkait dengan peristiwa diatas, yang diduga telah melakukan dugaan praktik-praktik penganiayaan terhadap sejumlah para narapidana di Nusakambangan, termasuk melakukan proses penyidikan secara menyeluruh, sehingga tidak hanya terhadap para pelaku-pelaku lapangannya saja;

Ketiga, Kami ingin mengingatkan bahwa sebelumnya pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi anti penyiksaan yang mana dalam konvensi tersebut pengertian dari praktik-praktik penyiksaan tidak bisa dilepaskan dari suatu tindakan atau perbuatan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat, oleh karenanya kami mendesak agar Kementerian Hukum dan HAM untuk merumuskan dan memasukan definisi terkait dengan tindakan atau perbuatan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat dalam Revisi Kitab Undang – Undang Hukum Pidana, mengingat bahwa banyak kasus yang terjadi khususnya di lembaga pemasyarakatan atau pusat-pusat penahanan masuk dalam katagori tindakan atau perbuatan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat.

Berdasarkan Pasal 53 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Menteri Hukum dan HAM RI, Dirjen PAS Kemenkumham RI dan Polda Jawa Tengah wajib untuk merespon dan melakukan tindakan administrasi terkait dengan surat ini, selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah surat ini diterima.

Demikian surat terbuka ini kami sampaikan. Atas perhatian dan kerjasamanya, kami mengucapkan terima kasih.

 

Jakarta, 13-05-2019
Badan Pekerja KontraS

 

 

Yati Andriyani
Koordinator