Hari Pengungsi Sedunia: Kertas Posisi KontraS untuk Dukungan Bagi Para Pengungsi dan Internally Displaced Persons

Tepat setiap 20 Juni, dunia secara serentak memperingati World Refugee Day (Hari Pengungsi Sedunia). Peringatan ini merupakan upaya komunitas internasional untuk mengenang dan menghormati setiap curah darah dan peluh seluruh pengungsi di dunia dalam menghadapi setiap rintangan. Hari Pengungsi Sedunia ini merupakan momentum untuk meningkatkan kesadaran bersama bahwa pengungsi adalah masalah kolektif yang artinya membutuhkan kemauan dan upaya penyelesaian yang kolektif pula. Maka dari itu, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ingin memberikan perspektif kami terkait situasi pengungsi secara umum, dan khususnya situasi di Indonesia.

Mengingat krisis pengungsi merupakan masalah internasional, menjadi perlu untuk mulai melihat permasalahan ini dari kacamata global. Dari sudut konstelasi politik internasional, pengaruh sekaligus dampak dari permasalahan pengungsi jelas memiliki efek domino. Uni Eropa kalang kabut untuk menangani badai krisis pengungsi yang melanda Eropa sejak tahun 2015. Salah satu penyebab Inggris keluar dari Uni Eropa ialah karena Inggris merasa Uni Eropa terlalu banyak menggelontorkan dana untuk program penanggulangan krisis pengungsi.

Di rezim Donald Trump, Amerika Serikat membuat kebijakan untuk mengurangi izin masuk bagi pengungsi ke titik yang paling rendah sepanjang sejarah negara itu berdiri. Terminologi pengungsi mengalami peyorasi karena pemimpin ataupun calon pemimpin dan juga partai-partai konservatif negara-negara di dunia menggunakan isu pengungsi sebagai kampanye politik identitas mereka untuk membangkitkan xenophobia dan kebencian dari masyarakat guna mendulang lebih banyak suara dari golongan masyarakat yang merasa “terancam” dengan kedatangan pengungsi. Saat ini, isu pengungsi lekat dengan tumbuh dan berkembang biaknya populisme konservatif di berbagai belahan dunia. Padahal, mengutip kalimat dari António Guterres, “Pengungsi bukanlah teroris. Justru pengungsi sering kali merupakan korban pertama dari teroris.”[1]

Data sampai 19 Juni 2019 menyebutkan bahwa total pengungsi di seluruh dunia hampir menyentuh angka 26 juta jiwa, yang artinya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pengungsi adalah masalah internasional yang serius.[2] Pertama, masalah ini adalah masalah yang serius, bukan hanya karena penderitaan yang dihasilkan dari kegagalan negara untuk melindungi dan menjamin keamanan warga negaranya, tapi juga karena masalah ini punya efek yang meluas karena melibatkan negara-negara lain. Kedua, masalah ini bukan masalah baru, karena komunitas internasional sudah menyediakan platform formal untuk membantu menyelesaikan permasalahan ini sejak tahun 1951 melalui 1951 Convention on Refugee. Ketiga, jika 68 tahun setelah Konvensi Pengungsi dibuat dan masalah pengungsi masih menjadi masalah yang serius sampai hari ini, maka ini artinya kegagalan komunitas internasional untuk bahu-membahu dalam menjaga stabilitas isu kemanusiaan secara global.

Terkait isu boat people, terdapat hampir 26 juta orang tua-anak yang terombang-ambing di lautan di seluruh dunia itu jelas merupakan angka yang mencengangkan, terutama ketika mengetahui bahwa 67% (lebih dari dua pertiga) dari angka tersebut berasal dari agregasi 5 negara asal saja, yaitu: Suriah (6.7 juta jiwa), Afghanistan (2.7 juta jiwa), Sudan Selatan (2.3 juta jiwa), Myanmar (1.1 juta jiwa), dan Somalia (0.9 juta jiwa).[3] Berdasarkan sumber yang sama, 4 dari 5 pengungsi itu kabur ke negara tetangga atau ke negara yang secara geografis dekat dengan negara asalnya.[4] Berangkat dari data tersebut, KontraS ingin menggarisbawahi satu kasus yang memiliki dampak langsung kepada Indonesia sebagai negara tetangga dari negara Asia Tenggara, yaitu Myanmar. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa laporan Fact-Finding Mission (FFM) atau Misi Pencari Fakta Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah menerbitkan laporan yang menyimpulkan bahwa yang dilakukan pemerintah Myanmar terhadap masyarakat Rohingya di Rakhine State dapat diklasifikasikan sebagai genosida.[5] Hal ini berarti pemerintah Myanmar sudah melakukan kejahatan paling serius di bawah hukum internasional.

Fakta di atas menunjukkan bahwa pola ini tidak akan berhenti kecuali: Pertama, negara asal berhenti melakukan pelanggaran HAM berat kepada warga negaranya sendiri, sehingga bisa dilakukan repatriasi. Kedua, negara penerima pengungsi juga membekali diri dengan peraturan formal yang baik beserta implementasinya guna memitigasi permasalahan ini sebelum menjadi katastrofe. Jika dimasukkan ke dalam isu krisis Rohingya, maka pada hal pertama, sampai detik ini, Dewan Keamanan PBB belum melakukan tindakan konkret untuk mulai menyelesaikan tindak genosida pemerintah Myanmar di Rakhine State lewat norma intervensi kemanusiaan PBB, Responsibility to Protect (RtoP). Disebutkan dengan jelas bahwa apabila tanggung jawab sebuah negara untuk melindungi warga negara itu gagal dilakukan maka tanggung jawab itu akan dilimpahkan menjadi tanggung jawab komunitas internasional. Repatriasi pun sangat sulit untuk dilakukan karena pada hakikatnya setiap warga negara yang berubah menjadi pengungsi itu pasti didasari ketakutan dan ketakutan tersebut tidak akan hilang jika belum ada jaminan ketidak berulangan dari pemerintah negara asal.

Sementara itu pada hal kedua, sebetulnya dengan meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, maka negara tersebut dapat menentukan sendiri status pengungsi tanpa harus menunggu diberi mandat terlebih dahulu oleh UNHCR. Negara tersebut juga bisa mendapat bantuan dan kerja sama internasional terkait penguatan kapasitas nasional dalam penanganan pengungsi. Namun, hal tersebut tidak dilakukan oleh Indonesia, sehingga Indonesia tidak bisa menentukan sendiri status pengungsi (harus menunggu mandat dari UNHCR) dan fasilitas seperti Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) yang sangat minim dan tidak layak bagi pengungsi di Indonesia juga tidak dapat dibenahi. Sementara itu di sisi yang lain, Indonesia (dan negara anggota ASEAN yang lain) juga kehilangan gigi ketika berhadapan dengan pemerintah Myanmar di forum regional karena Myanmar dengan cepat membentengi diri dengan prinsip-prinsip dasar ASEAN yaitu prinsip ASEAN Way yang mengedepankan prinsip nonintervensi, konsensus dan cara-cara yang bersahabat dalam meyelesaikan sengketa antar anggota. Negara-negara anggota ASEAN tidak mau berurusan dengan konflik di Rakhine State karena “menghormati” prinsip ASEAN Way, tapi juga tidak mau ambil pusing dengan pengungsi Rohingya. Thailand atau Malaysia, yang sering menjadi tujuan pengungsi Rohingya, ditolak dan tidak diberikan izin untuk tinggal di sana.[6] Artinya prinsip non-refoulement yang dimiliki oleh pengungsi sudah dilanggar.

Berdasarkan data yang kami dapatkan pula, hasil keterangan yang dihasilkan dari wawancara dengan pengungsi Rohingya maupun negara lain yang terdampar di Medan dan beberapa kota lainnya di Indonesia menyebutkan bahwa mereka pun sudah tidak berharap akan bisa kembali ke negara mereka karena negara asal mereka sudah tidak dapat menjamin bahwa hak kewarganegaraan mereka dapat kembali. Mereka hidup seperlunya dikarenakan status pengungsi yang tidak memungkinkan mereka bekerja. Terlebih lagi bagi anak-anak yang seharusnya masih bersekolah tidak dapat bersekolah karena status pengungsi.

Selain pengungsi yang berasal dari negara lain. Tidak dapat kita kesampingkan bahwa Indonesia masih memiliki hutang untuk menyelesaikan persoalan internally-displaced persons (IDPs) yang hingga saat ini membuat mereka tidak mendapatkan hak ekonomi, sosialnya untuk bekerja dan memiliki tempat tinggal yang layak. Sebagai contoh kasus, lebih dari satu dekade komunitas Ahmadiyah yang menetap di transito di Nusa Tenggara Barat dan juga komunitas Syiah di Sampang, Jawa Timur. Hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum memberikan kejelasan terkait nasib mereka sebagai warga negara di Indonesia.

Atas dasar itu, seiring dengan momentum Hari Pengungsi Sedunia, KontraS mendesak pemerintah untuk:

  1. Meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967, agar Indonesia dapat menentukan sendiri status para pengungsi sehingga pemerintah dapat terlibat langsung dan berkontribusi dalam penanganan masalah ini. Selain itu, Indonesia pemerintah dapat mendapat bantuan dan kerja sama internasional terkait penguatan kapasitas nasional dalam penanganan pengungsi dan pencari suaka, sehingga penyelesaiannya dapat dilakukan dengan komprehensif. Selain itu beban penanganan pengungsi dan pencari suaka tidak ditanggung seluruhnya oleh pemerintah, tapi juga ditopang oleh solidaritas dan kerja sama dengan komunitas internasional.
  2. Mendorong penyelesaian kasus krisis kemanusiaan masyarakat Rohingya di Myanmar lewat berbagai macam mekanisme yang ada, baik mekanisme norma intervensi kemanusiaan ataupun mekanisme hukum lewat Mahkamah Pidana Internasional. Hal ini harus diupayakan semaksimal mungkin karena tanpanya repatriasi akan sangat sulit terjadi. Masyarakat Rohingya memiliki hak untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran dan di samping itu semua, mereka jelas membutuhkan jaminan ketidakberulangan dari rezim pemerintahan Myanmar yang sekarang.
  3. Pemerintah harus berkomitmen untuk memenuhi hak-hak warga negara, termasuk untuk menyelesaikan sengketa IDPs yang terjadi kepada komunitas Ahmadiyah di transito NTB dan Syiah di Sampang dengan mengembalikan mereka ke rumah asal mereka masing-masing dan dapat mengakses kebutuhan mereka sebagai hak warga negara untuk bekerja, mendapatkan tempat tinggal yang layak dan mengemban pendidikan.

Kontak: Fatia (081913091992)

 

 

[1] https://www.un.org/press/en/2017/sgsm18580.doc.htm

[2] https://www.unhcr.org/en-us/figures-at-a-glance.html

[3] https://www.unhcr.org/globaltrends2018/

[4] https://www.unhcr.org/globaltrends2018/

[5] OHCHR. “Report of the Independent International Fact-Finding Mission on Myanmar”. 24 August 2018. A/HRC/39/64.

[6] https://thediplomat.com/2015/09/adrift-in-asean-tackling-southeast-asias-migration-challenge/