Ringkasan Eksekutif “Penyiksaan, Kultur Kekerasan, dan Impunitas: Negara Diam”

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) secara konsisten mengeluarkan laporan terkait kondisi penyiksaan dan  perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia. Maksud dan tujuan laporan ini dirilis sebagai upaya masyarakat sipil untuk mendorong penghapusan terhadap praktik-praktik penyiksaan dan tindakan kejam lainnya.

Pada momen peringatan hari Dukungan Bagi Korban Penyiksaan Sedunia yang jatuh pada tanggal 26 Juni 2019-KontraS kembali mengeluarkan laporan terkait situasi penyiksaan di Indonesia selama satu tahun terakhir-terhitung dari Juli 2018 sampai Juni 2019.

Laporan ini berisi informasi dan data yang kami peroleh melalui beberapa metode yakni: 1) pemantauan media, 2) pengaduan masyarakat kepada KontraS, 3) pemantauan jaringan KontraS, dan 4) proses advokasi KontraS. Data yang ada kemudian kami analisis untuk menemukan pola-pola penyiksaan. Selain itu, dalam laporan ini juga kami kemukan pandangan kritis serta rekomendasi untuk menjadi masukan kepada negara agar ada perbaikan baik dari segi norma hukum maupun implementasi hukum serta proses penegakan hukum.

Laporan ini juga menelaah situasi penyiksaan yang terjadi di tingkat Asia berdasarkan pemantauan terhadap 16 negara di Asia sebagai sampel melalui Asia Alliance Against Torture (A3T). Berdasarkan pemantauan tersebut, kami menemukan bahwa pola penyiksaan yang paling sering terjadi ialah: 1) mengendalikan massa; 2) memperoleh informasi pada proses penyidikan tindak kriminal; 3) menertibkan para narapidana di Lapas; 4) sebagai bagian integral dari konflik bersenjata dan strategi kontra-pemberontakan; dan 5) sebagai bentuk diskriminasi bagi para kelompok minoritas. Kami melihat bahwa pola-pola penyiksaan yang terjadi di tingkat Asia ini tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Indonesia.

Terkait penyiksaan selama periode Juni 2018-Mei 2019, kami menemukan angka penyiksaan masih sangat tinggi-setidak-tidaknya ada 72 kasus penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat manusia yang mengakibatkan sebanyak 16 orang tewas  dan 114 korban luka-luka.

Dalam catatan kami, aktor yang paling dominan menggunakan cara-cara kekerasan adalah aparat kepolisian. Dari 72 kasus yang kami temukan, 57 kasus dilakukan oleh aparat kepolisian, 7 kasus oleh tentara, dan 8 kasus oleh sipir. Sama dengan tahun-tahun sebelumnya, kepolisian masih mendominasi sebagai pelaku dalam kasus-kasus penyiksaan yang terjadi di Indonesia. Hal ini selaras dengan temuan kami bahwa motif utama dalam kasus-kasus penyiksaan yang ada adalah untuk mendapat pengakuan dengan total 49 kasus dibandingkan sebagai bentuk penghukuman dengan total 23 kasus. Dari 72 peristiwa penyiksaan dan penghukuman tidak manusiawi, kami menemukan bahwa setidak-tidaknya 51 peristiwa tersebut terjadi pada korban salah tangkap, yang ditandai dengan korban dilepaskan oleh polisi setelah mengalami tindak penyiksaan. Fakta ini sangat ironis mengingat sudah ada peraturan internal di tingkat lembaga yang bertujuan menghapus praktik penyiksaan seperti Perkap 8/2009. Selain itu, fakta ini seharusnya dijadikan bahan evaluasi bagi negara dalam menentukan keabsahan keterangan/pengakuan yang didapatkan dari praktik penyiksaan sebagai alat bukti di pengadilan.

Dari sisi wilayah, Provinsi yang paling dominan terjadinya tindak penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi adalah Sumatera Utara dengan 14 kasus dan disusul oleh Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur dengan 6 kasus serta Papua dan Aceh dengan 5 kasus.  Dari segi lokasi atau tempat, kami mencatat 32 tindakan terjadi didalam sel tahanan baik yang terdapat di kantor polisi (Polsek, Polres, Polda) dan Lapas; sebanyak 27 kasus terjadi ditempat publik; dan sebanyak 13 kasus terjadi ditempat-tempat lainnya seperti didalam mobil. Mayoritas praktik penyiksaan dilakukan dengan menggunakan tangan kosong dengan total 60 kasus dan disusul dengan senjata api sebanyak 14 kasus, penggunaan benda keras 8 kasus, senjata listrik (sengatan listrik) 2 kasus, air keras 1 kasus, dan temuan baru kami yaitu menggunakan binatang (ular) 1 kasus.

Terjadinya praktik penyiksaan di sel tahanan atau ruang lapas/rutan dan berulang dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa tidak ada upaya kontrol, evaluasi, dan koreksi atas tata kelola pusat-pusat penahanan yang masih memungkinkan dilanggengkannya praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Fakta ini kembali mempertegas pentingnya National Preventive Mechanism (Mekanisme Pencegahan Nasional) untuk mencegah tindak penyiksaan yang terjadi di pusat-pusat penahanan sebagaimana dimandatkan dalam OPCAT yang sampai saat ini belum diratifikasi oleh Indonesia.

Angka praktik – praktik penyiksaan di beberapa institusi diatas ini menjadi dinamis dan berlipat karena praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya juga diketahui terjadi di lokasi-lokasi yang minim audit, seperti pusat-pusat penahanan: sel kepolisian, lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan. Pemberitaan yang muncul di media massa lebih banyak meliput pada residu peristiwa, seperti aksi kerusuhan di pusat-pusat penahanan; namun tidak ada upaya kontrol evaluasi dan koreksi atas tata kelola pusat-pusat penahanan yang masih memungkinkan dilanggengkannya praktik penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya.

Sementara itu, berkaitan dengan penghukuman tidak manusiawi, kami mencatat sebanyak 40 peristiwa eksekusi hukuman cambuk di Provinsi Aceh. Dari 40 peristiwa tersebut, terdapat 226 korban luka-luka yang terdiri atas 173 orang laki-laki dan 53 orang perempuan. Kami juga mencatat bahwa dari 40 peristiwa tersebut delik yang digunakan terdiri atas maisir (judi) pada 14 kasus, khamar (alkohol) pada 10 kasus, khalwat (tindakan asusila) pada 14 kasus, dan ikhtilath (zina) pada 19 kasus.  Masih diterapkannya hukum cambuk di Aceh 21 tahun pasca meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan (CAT) menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki itikad cukup untuk menghapuskan praktik penyiksaan secara utuh sebagaimana diatur dalam pasal 2 CAT serta dalam General Comment No. 2 Tahun 2008. Hal ini juga menunjukan bahwa negara masih gagal dalam memahami hak untuk tidak disiksa sebagai hak asasi yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable right).

Selain data-data yang kami uraikan di atas. selama rentang setahun kebelakang, KontraS secara khusus mendampingi 6 (enam) peristiwa penyiksaan dan tindakan tidak manusiawi lainnya. Berangkat dari kasus – kasus yang didampingi oleh KontraS tersebut, kami menemukan beberapa pola yang terjadi, yakni penyiksaan dilakukan untuk memperoleh pengakuan, menggunakan senjata api, dan diikuti dengan kedatangan anggota dari instansi pelaku yang meminta keluarga untuk menandatangani pernyataan tidak akan menempuh jalur hukum terhadap pelaku.

Kami juga memberi perhatian khusus kepada peristiwa-peristiwa saat kepolisian menggunakan penghukuman tidak manusiawi dalam konteks penanganan aksi massa, seperti yang terjadi dalam peristiwa May Day dan Aksi 21-22 Mei 2019. Dalam kedua peristiwa ini kami menggarisbawahi bahwa aparat kepolisian tidak menggunakan kekuatannya berdasarkan prinsip-prinsip seimbang (proporsionalitas) dan masuk akal (reasonable) sebagaimana yang diamanatkan oleh Perkap No. 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

Di samping itu, kami menilai bahwa pendekatan yang dilakukan Pemerintah dalam menjawab isu ini dengan memasukan rumusan penyiksaan dalam RKUHP belum menjawab masalah penyiksaan secara menyeluruh. Upaya-upaya di luar perumusan delik seperti penghapusan penghukuman yang tidak manusiawi, mekanisme NPM, dan membuat keterangan yang didapatkan dari praktik penyiksaan menjadi tidak sah sebagai alat bukti membutuhkan sebuah payung hukum berupa undang-undang tersendiri. Selain itu, instansi-instansi yang anggotanya kerap menjadi pelaku penyiksaan juga wajib dievaluasi dengan melibatkan pihak eksternal.

Berangkat dari kondisi di atas, KontraS merekomendasikan beberapa hal di antaranya:

Pertama, Institusi-institusi negara independen yang memiliki mandat untuk melakukan fungsi pengawasan, pemantauan, perlindungan dan pemulihan secara ketat harus menggunakan alat ukur terpercaya (salah satunya mekanisme vetting) untuk mempersempit ruang gerak para pelaku kejahatan penyiksaan.

Kedua, sebagai bentuk akuntabilitas dan perbaikan terhadap institusi yang dominan terhadap terjadinya praktik – praktik penyiksaan, sudah saatnya bagi institusi-institusi tersebut untuk membuka diri kepada evaluasi secara menyeluruh dengan melibatkan pengawasan eksternal. Baik institusi Polri, TNI, maupun Lembaga Pemasyarakatan harus memastikan bahwa anggotanya yang terlibat dalam kasus penyiksaan diproses secara adil dan sesuai dengan hukum yang berlaku, dengan mekanisme hukum yang transparan dan dapat diakses oleh publik.

Ketiga, seiring dengan berjalannya inisiasi NPM oleh lima lembaga negara, KontraS mengusulkan kepada pemerintah segera menyusun proses ratifikasi OPCAT.

Keempat, perumusan undang-undang khusus mengenai penghapusan praktik penyiksaan dan tindakan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, yang merendahkan manusia lainnya dengan mengacu pada keseluruhan substansi yang terkandung dalam Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia beserta instrumen hukum internasional lain yang melengkapinya.

 

Laporan utuh bisa diakses di sini