Menyikapi Draf Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Terorisme

Pemerintahan saat ini tengah membahas draf Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi aksi terorisme. Berdasarkan draf Perpres yang diterima oleh koalisi, secara umum draf tersebut memberikan kewewenangan yang luas kepada TNI sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 2 dimana TNI juga ikut mejalankan fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan. Fungsi penangkalan sebagaimana dimaksud mulai dari kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi sampai deradikalisasi (pasal 3). Penangkalan sebagaimana dimaksud tersebut juga dijalankan dengan operasi intelijen, operasi tertorial dan informasi (pasal 5). Dengan pasal-pasal ini TNI mempunyai keleluasaan untuk melakukan penanganan terorisme didalam maupun di luar negri .

Koalisi menilai draf Perpres ini secara substansi bertentangan dengan UU Terorisme. Hal itu bisa dilihat dari penggunaan istilah  penangkalan dalam draf Perpres yang tidak dikenal didalam UU Terorisme. UU Terorisme pada Pasal 43A hanya mengenal istilah pencegahan yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan dengan BNPT. Aturan turunan dari pasal 43A tersebut juga seharusnya diatur melalui peraturan pemerintah (PP), bukan melalui perpres. Wewenang pencegahan sebagaimana diatur dalam UU Terorisme tersebut juga diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. Pasal 43F huruf c UU Terorisme menyatakan bahwa fungsi BNPT adalah melaksanakan kesiapsiagaan nasional, kontra radikalisasi dan deradikalisasi dimana peran peran tersebut juga diberikan oleh draf perpres ini kepada TNI. Sementara posisi BNPT tidak dijelaskan dalam Perpres ini .

Koalisis berpendapat, tugas TNI seharusnya fokus pada fungsi penindakan terorisme yang dapat dilakukan jika aparat penegak hukum sudah tidak mampu lagi mengatasi terorisme dan dilakukan atas keputusan politik negara. Sementara tugas TNI penangkalan  dan pemulihan sebaiknya dikerjakan oleh badan badan lain yang memang memiliki kompetensi untuk melakukan hal tersebut, seperti BNPT, Badan Intelijen Negara, kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, dan lembaga lembaga lainnya.

Lebih lanjut koalisi menilai draf Perpres ini bertentangan dan melampaui UU TNI. Hal tersebut terlihat dalam penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam pasal 17. Hal ini jelas berlawanan dengan pasala 66 UU TNI. Penggunaan anggaran diluar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak  terdesentralisasikan) sehingga anggaran untuk TNI hanya melampaui APBN sebagaimana diatur dalam pasal 66 UU TNI. Pendanaan du luar ketentuian UU TNI tersebut tentu menyalahi aturan.

Dengan demikian, draf Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini lebih mengedepankan pola War Model ( perang ), dimana hal tersebut tidak sejalan dengan UU Terorisme itu sendiri. Selain itu, hal ini juga akan berbahaya bagi kehidupan demokrasi dan HAM di Indonesia. Lebih dari itu, draf Perpres ini juga menghilangkan mekanisme checks and balances antara presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam pasal 17 (2) UU TNI, bahwa pengerahan kekuatan TNI harus mendapatkan persetujuan dari DPR.

Atas dasar hal tersebut diatas, koalisi mendesak kepada presiden Joko Widodo untuk merevisi secara total draf perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini dengan tetap mengacu pada aturan, prinsip dan semangat penanganan terorisme sebagai kebijakan penegakan hukum ( criminal justice system) dan bukan war model (perang). Pelibatan TNI dalam penanganan terorisme harus sejalan dengan UU terorisme dan UU TNI.