Tanggapan KontraS atas Konferensi Pers Mabes Polri Tanggal 5 Juli 2019 terkait Perkembangan Investigasi Peristiwa 21-22 Mei

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) terus mengawal dan memantau perkembangan peristiwa kerusuhan 21-22 Mei di Jakarta baik dalam bentuk pemantauan media, pembukaan posko pengaduan, investigasi lapangan, maupun pendampingan korban. Mengacu pada informasi dan fakta yang dihimpun, maka kami merasa perlu menyikapi isi konferensi pers oleh Polri tanggal 5 Juli 2019 mengenai perkembangan investigasi kasus ini.

 

  1. Berdasarkan dua konferensi pers yang telah diadakan oleh Mabes Polri terkait perkembangan proses investigasi dalam peristiwa kerusuhan 21-22 Mei, kami menilai bahwa Polri belum menuntaskan kasus ini secara keseluruhan mulai dari pengungkapan kebenaran, penetapan tersangka atas tewasnya 9 korban, sampai menuntut pertanggungjawaban yang adil dari para pelaku. Belum ditetapkannya tersangka terkait tewasnya 9 orang korban sampai saat ini juga menunjukan bahwa Polri belum melakukan fungsi penyelidikan dan penyidikan dalam kasus ini secara efektif. Dalam konferensi pers tanggal 5 Juli 2019, Polisi hanya menyatakan bahwa terduga pelaku penembakan merupakan seseorang dengan ciri-ciri berambut panjang dan bertubuh kurus. Hal ini sama sekali belum cukup untuk memberikan titik terang dalam kasus ini karena dengan waktu lebih dari satu bulan sejak kejadian, seharusnya Polri sudah dapat menetapkan tersangka dalam kasus penembakan ini.

 

  1. Kami menyoroti bahwa dalam menjelaskan mengenai adanya 9 korban yang tewas baik dalam siaran pers pada tanggal 11 Juni maupun tanggal 5 Juli Polisi menyatakan bahwa 9 korban yang tewas merupakan perusuh. Terhadap klaim ini, kami menilai bahwa atribusi perusuh terhadap korban tewas adalah klaim yang membutuhkan pembuktian, yang dalam hal ini Polisi sama sekali tidak menjelaskan proses penarikan kesimpulan berdasarkan bukti-bukti empiris yang digunakan oleh Polri sebelum menyimpulkan bahwa 9 korban yang tewas merupakan perusuh. Selain akan menyakiti hati keluarga korban, klaim ini juga menunjukan bahwa perspektif yang digunakan Polri dalam menangani kasus tewasnya 9 korban ini bersifat bias. Terlebih lagi, klaim Polri bahwa 9 korban tewas merupakan perusuh bertentangan dengan temuan kami berdasarkan wawancara dengan keluarga korban bahwa 3 korban dibawah umur yang tewas kebetulan berada di sekitar lokasi aksi karena merasa penasaran. Selain itu, salah satu korban yang tewas ditembak saat itu sedang dalam perjalanan pulang setelah menolong orang lain yang terjatuh di jalan. Salah satu korban tewas lainnya juga berada di sekitar lokasi aksi karena harus berdagang di hari itu.

 

  1. Dalam konferensi pers ini Polri tidak transparan-tidak menampilkan identitas serta satuan para pelaku penyiksaan terhadap 5 orang di Kampung Bali. Hal ini menunjukan perbedaan yang sangat drastis antara cara-cara kepolisian dalam menangani kasus yang melibatkan anggotanya dengan kasus yang tidak melibatkan anggotanya, dimana polisi biasanya menampilkan para tersangka kejahatan dalam konferensi pers. Selain itu, perlakuan Polri terhadap 10 anggotanya yang terbukti telah melakukan excessive use of force dalam bentuk penyiksaan terhadap korban M.A. di daerah Kampung Bali-dengan hukuman disiplin berupa 21 hari penahanan sangat tidak mencerminkan penegakan hukum yang adil. Hukuman disiplin semacam ini dalam kasus penyiksaan merupakan bentuk impunitas yang merupakan salah satu faktor praktik penyiksaan oleh aparat kepolisian selalu terjadi. Seharusnya para pelaku penyiksaan dalam kasus ini diproses secara pidana karena telah melanggar Pasal 170 ayat (2) angka 2 yang berisi ancaman pidana terhadap siapapun yang secara bersama-sama di muka umum melakukan kekerasan terhadap orang atau barang sampai mengakibatkan luka berat. Proses pidana terhadap para pelaku juga selaras dengan pengaturan Pasal 12 ayat (1) PP 2/2003 tentang Peraturan Disiplin Polri jo. Pasal 28 ayat (2) Perkapolri 14/2011 tentang Kode Etik Polri bahwa penjatuhan hukuman disiplin tidak menghapuskan tuntutan pidana. Proses pidana terhadap para pelaku juga dapat menjadi bentuk komitmen negara dalam melaksanakan Konvensi Menentang Penyiksaan (Convention Against Torture/CAT) sebagaimana telah diratifikasi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 yang dalam pasal 2 menyatakan bahwa negara harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, dan yudisial untuk mencegah tindak penyiksaan terjadi dalam yurisdiksinya.

 

  1. Polisi terlihat enggan menuntaskan kasus ini secara holistik dengan hanya fokus pada peristiwa-peristiwa yang terlanjur diketahui oleh publik karena sempat viral di media sosial ataupun pemberitaan media seperti kasus penyiksaan di Kampung Bali. Padahal, pemantauan yang kami lakukan menemukan adanya dugaan-dugaan pelanggaran lain oleh oknum kepolisian seperti penggunaan kekerasan dalam proses penangkapan ataupun ditutupinya akses keluarga dan pendamping terhadap orang-orang yang ditangkap. Kami menilai berbagai peristiwa ini juga penting untuk diselidiki oleh Polri.

 

Atas dasar tersebut, KontraS mendesak:

  1. Presiden Republik Indonesia agar menyikapi terhambatnya penyelesaian kasus ini dengan segera membentuk TGPF dengan mandat untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan secara menyeluruh terhadap peristiwa 21-22 Mei
  2. Lembaga negara seperti Komnas HAM, Ombudsman RI, LPSK, Komnas Perempuan, dan KPAI agar secara lebih proaktif menggunakan wewenangnya dalam rangka pengungkapan kebenaran dalam kasus ini. Selain itu, lembaga-lembaga ini juga harus mulai melakukan pencarian fakta terkait kondisi orang-orang yang sampai saat ini masih ditahan, mengingat cukup besarnya potensi terjadi praktik penyiksaan di tahanan.
  3. Polri agar menindaklanjuti 10 anggotanya yang berdasarkan sidang etik telah terbukti melakukan pelanggaran agar mereka mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana terkait kasus penyiksaan yang terjadi di Kampung Bali.

 

 

Jakarta, 7 Juli 2019

 

 

 

Yati Andriyani

Koordinator