Catatan Kritis pada Proses Pemilihan Pimpinan KPK

Pada Kamis lalu Panitia Seleksi Pimpinan KPK telah resmi mengumumkan nama-nama dari para pendaftar yang dinyatakan lolos seleksi administrasi. Setidaknya dari 376 orang pendaftar, sebanyak 192 orang dinyatakan berhak untuk mengikuti tahapan seleksi selanjutnya. Dalam surat edaran yang dikeluarkan oleh Pansel disebutkan bahwa para calon yang dinyatakan lolos seleksi adminstrasi untuk selanjutnya akan mengikuti tes uji kompetensi yang meliputi objective test dan penulisan makalah pada tanggal 18 Juli 2019 mendatang.

Namun amat disayangkan, ada beberapa catatan kritis yang harus dilayangkan kepada Pansel pada saat mengumumkan hasil dari seleksi administrasi. Pertama, Pansel tidak menyertakan latar belakang pekerjaan dari para calon yang dinyatakan lulus tahapan tersebut. Padahal poin 6 surat edaran Pansel menyebutkan bahwa Panitia Seleksi mengharapkan masukan secara tertulis dari masyarakat terhadap nama-nama pendaftar Calon Pimpinan KPK yang dinyatakan lulus seleksi administrasi. Tentu jika Pansel memandang isu ini sebagai sesuatu yang penting sudah seharusnya latar belakang pekerjaan dari para pendaftar dapat diumumkan secara terbuka untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan.

Kedua, hingga saat ini Pansel belum mengumumkan jadwal detail dari proses pemilihan Pimpinan KPK untuk masa bakti 2019-2023. Hal ini terkonfirmasi dalam beberapa pemberitaan yang menyebutkan bahwa masih ada tahapan-tahapan seleksi yang tidak jelas waktu pelaksanaannya. Tentu ini menandakan bahwa Pansel gagal dalam melakukan perencanaan yang baik sebelum melakukan kerja-kerja penjaringan Pimpinan KPK.

Di luar dari hal itu, sebenarnya ada hal yang menarik untuk dibahas lebih lanjut, yakni terkait siapa nantinya yang akan melakukan fit and proper test kepada calon Pimpinan KPK. Persoalan ini menjadi penting, mengingat pada fase tersebut akan menghasilkan lima orang Komisioner KPK terpilih yang nantinya akan dilantik Presiden pada Desember mendatang.

Untuk menanggapi isu ini rasanya lebih baik jika wewenang untuk melakukan tahapan  fit and proper test diberikan pada anggota DPR di masa yang akan datang. Setidaknya ada beberapa alasan yang akhirnya mengantarkan pada kesimpulan tersebut. Pertama, anggota DPR pada era ini kerap melakukan tindakan-tindakan kontraproduktif dengan kerja-kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh KPK. Misalnya, pembentukan Hak Angket pada beberapa waktu lalu yang justru terkesan ingin melemahkan kewenangan KPK. Selain itu persoalan legislasi pun tak banyak berubah, keinginan untuk merevisi UU KPK dan pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menjadi bukti nyata bahwa legislatif saat ini tidak berpihak pada pemberantasan korupsi.

Kedua, potret DPR saat ini yang banyak terjaring praktik korupsi. Data ICW per April 2019 menyebutkan setidaknya 22 anggota DPR masa bakti 2014-2019 telah ditetapkan tersangka oleh KPK. Tentu ini menjadi salah satu alasan kuat untuk mendorong agar proses penentuan Pimpinan KPK dilakukan oleh DPR di masa mendatang.

Ketiga, KPK pada kepemimpinan mendatang secara kelembagaan akan melakukan koordinasi dengan DPR periode 2019-2024. Untuk itu maka tidak ada urgensi bagi DPR kali ini memaksakan proses fit and proper test mesti dilakukan sebelum pelantikan legislatif baru. Lagipun dinilai tidak etis jika dalam satu masa periode DPR melakukan dua kali proses seleksi Pimpinan KPK. Mengingat Pimpinan KPK saat ini juga merupakan hasil dari tahapan seleksi yang dilakukan oleh DPR periode 2014-2019.

Fase awal proses pemilihan Pimpinan KPK kali ini menjadi salah satu titik krusial yang semestinya dicermati oleh Pansel Pimpinan KPK. Untuk menunjang hal itu maka keterlibatan publik menjadi sebuah kewajiban yang benar-benar harus diakomodir oleh Pansel dalam proses pencarian rekam jejak para pendaftar. Karena bagaimanapun masa depan pemberantasan korupsi akan dipertaruhkan pada proses pemilihan Pimpinan KPK.