Sebelas Tahun Pasca Rekomendasi Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) “Temukan dan Pertemukan Anak-Anak Itu”

Sebelas tahun lalu, pada 15 Juli 2008, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) secara resmi telah menyerahkan laporan Per Memoriam ad Spem (Melalui Kenangan Menuju Harapan) kepada Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste. Komisi Bilateral ini menghasilkan beberapa rekomendasi, termasuk pemulihan korban. Komisi ini juga memperkuat fakta Komisi Kebenaran sebelumnya, CAVR, bahwa ratusan anak Timor-Leste – saat ini telah dewasa – dipindahkan secara paksa ke Indonesia pada periode 1975-1999. Komisi merekomendasikan kedua negara mengambil tindakan untuk menemukan dan mempertemukan kembali mereka dengan keluarganya. Pemisahan anak dengan keluarga secara paksa merupakan pelanggaran Konvensi Jenewa IV (1949) serta instrumen hukum hak asasi manusia, baik nasional maupun internasional, dalam melindungi anak-anak.

Terdapat berbagai macam pola dan alasan yang ditemukan dalam pemindahan anak-anak tersebut ke Indonesia. Hingga hari ini, mereka telah menetap di Indonesia, kehilangan kontak dengan keluarga, mengalami perubahan identitas berupa nama dan keyakinan. Keluarga di Timor-Leste juga masih mencari dan menantikan kehadiran mereka. Baik anak yang dibawa dan keluarga yang menanti, masih berpegang pada ingatan dan kenangan mereka sebelum berpisah.

Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Perpres No. 72/2011 untuk mengimplementasikan rekomendasi KKP dalam jangka waktu 5 tahun dan sepakat melaksanakan Senior Official Meeting (SOM) setiap tahun. Namun, SOM tidak terlaksana selama 2 tahun dan masih banyak rencana aksi yang belum tuntas. Meskipun Perpres ini dikeluarkan oleh Presiden terdahulu, terdapat urgensi agar Presiden Jokowi yang kembali terpilih untuk segera memperbaharuinya.

 

Inisiatif awal telah dilakukan kelompok masyarakat sipil di dua negara untuk menemukan “anak-anak yang di curi” dengan keluarganya. Kami telah mendokumentasikan 137 cerita, 67 diantaranya telah mengikuti reuni yang didukung oleh Komnas HAM dan beberapa kementerian terkait dari kedua negara. Akan tetapi, ratusan masih terpisah dari keluarga dan kehilangan kontak selama berpuluh tahun lamanya.

Untuk itu, pemerintah dari kedua negara harus:

Pertama, Pemerintah Indonesia dan Timor-Leste secepatnya melangsungkan SOM ke-8 dengan melibatkan partisipasi lembaga seperti Komnas HAM dan mengedepankan agenda pembentukan Komisi Orang Hilang serta pemenuhan HAM dalam pembahasannya.

Kedua, Presiden Jokowi merevisi Perpres 72/2011 sebagai komitmen awal dalam pemenuhan HAM seluruh warganya, mengedepankan usaha pencarian dan pemulihan mereka yang masih hilang, memfasilitasi kunjungan reuni dalam jumlah besar, dan memastikan hak memilih warga negara, bersama dengan masyarakat sipil yang telah menginisiasi program ini.

Ketiga, Pemerintah Timor-Leste memberikan status visa khusus kepada korban agar memudahkan akses pertemuan kembali dengan keluarganya. Terkhusus pada CNC (Centro Nasional Chega) sebagai lembaga independen di Timor-Leste yang memiliki mandat untuk melaksanakan rekomendasi komisi kebenaran, agar mendesak kedua negara mengembangkan program pemulihan para korban.

Jakarta, 15 Juli 2019

Kelompok Kerja untuk “Stolen Children”

Asia Justice and Rights (AJAR),

Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI)

Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasaan (KontraS)

 

Narahubung:

Nita Noviyanti (085777629057)

Mulki Makmun (081361338235)