20 Tahun Peristiwa Tengku Bantaqiah “Mencari Keadilan Yang Hilang di Bumi Aceh”

Desa Blang Meurandeh, Kecamatan Beutong Ateuh di Kabupaten Nagan Raya, Aceh sinonim dengan kata indah. Letak daerah yang berada di tengah lembah dan juga diapit oleh banyak hutan membuat pemandangan Beutong sebagai salah satu lanskap yang indah di Indonesia. Namun, hal itu justru berkebalikan dengan sejarah yang pernah terjadi disana pada dua puluh tahun silam. Tanggal 23 Juli 1999, di Beutong Ateuh, terjadi salah satu peristiwa paling mengerikan dan juga merupakan satu dari sekian banyak pembantaian selama operasi militer yang dilaksanakan di Aceh, yakni Peristiwa Beutong Ateuh atau juga dikenal sebagai Peristiwa Tengku Bantaqiah.

 

Tengku Bantaqiah sendiri adalah seorang alim ulama yang memimpin sebuah pesantren yang terletak di Beutong Ateuh bernama Pesantren Babul Al Nurillah yang dituduh oleh TNI sebagai tempat penyembunyian alat logistik GAM. Tuduhan ini tidak pernah terbukti, namun ekses dari tuduhan tersebut adalah pembantaian terhadap warga sipil yang merupakan jamaah pesantren dan juga Tengku Bantaqiah sendiri yang dilakukan oleh personel TNI yang berada di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Liliwangsa yang terdiri dari pasukan Yonif 131 dan 133 dengan didukung satu pleton pasukan dari Batalyon 328 Kostrad. Dalam peristiwa tersebut tercatat 56 orang tewas dan hilang selama proses kekejian tersebut. Selain itu, ratusan orang trauma atas perisitwa tersebut.

 

Pelaku-pelaku dalam peristiwa ini telah diadili melalui mekanisme Pengadilan koneksitas pada tahun 2000 silam. Namun mekanisme pengadilan ini tidak sama sekali memenuhi standar-standar penyelesaian kasus yang berkeadilan untuk korban dan juga penghukuman terhadap pelaku. Hal ini tercermin dari masih belum terpenuhinya rehabilitasi, restitusi dan kompensasi kepada korban dan juga pengungkapan kebenaran terhadap peristiwa tersebut. Disamping itu, dalam proses pengadilan koneksitas hanya prajurit-prajurit TNI berpangkat rendah yang diadili tanpa menyentuh rantai komando yang memberikan instruksi komando.

 

Saat ini, mereka yang menjadi korban dalam peristiwa pelanggaran HAM masa lalu masih menuntut. Mereka korban pelanggaran HAM masa lalu juga merupakan masyarakat yang terdampak dari PT Emas Mineral Murni. Pelanggaran hukum yang diduga dilakukan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) dengan memberikan izin usaha pertambangan operasi produksi kepada PT. Emas Mineral Murni melalui SK Kepala BKPM Nomor 66/1/UP/PMA/2017 tanggal 19 Desember 2017, untuk komoditas emas dengan luas areal 10.000 hektar (Ha). Padahal, berdasarkan pengumuman AMDAL tertanggal 3 Desember 2012 luas lahan areal yang diteliti itu seluas 3.620 ha bukan seluas 10.000 herktar, sehingga penerbitan IUP Operasi Produksi oleh Kepala BKPM RI dapat dikatakan tidak berdasar.

 

Selain itu kami berpendapat penerbitan IUP Operasi Produksi di wilayah Aceh sesunggunya merupakan kewenangan Pemerintah Aceh. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 165 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yang menyatakan:

 

Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya dapat menarik wisatawan asing dan memberikan izin yang terkait dengan investasi dalam bentuk penanaman modal dalam negeri, penanaman modal asing, ekspor dan impor dengan memerhatikan norma, standar dan prosedur yang berlaku secara nasional”

 

Lebih lanjut, bilamana kegiatan pertambangan emas PT.EMM beroperasi, maka bukan tidak mungkin, konflik berkepanjangan akan terjadi di Aceh. Mengingat di areal pertambangan terdapat 11 (sebelas) warisan budaya/sejarah yang dianggap sakral oleh warga setempat. Tempat warisan itu berada di Gunong Lhee Sagoe, adapun warisan sejarahnya ialah Kuburan Tgk. Beutong (Poe Nanggroe), Kuburan Tgk. Kaki Alue, Kuburan Tgk. Alue Panah, Kubruan Tgk. Alue Ilee, Kuburan Tgk. Alue Baro, Kuburan Tgk. Trieng Beutong, Kuburan Tgk. Di Tungkop, Kubruan Tgk. Pakeh, Kuburan Tgk. Bantaqiah, Kuburan Murid Tgk. Bantaqiah (KM 7), dan Tapak Tilas Cut Nyak Dhien.

 

“Banyak kuburan para syuhada di sini. Jadi tak boleh PT EMM itu buka tambang emas di sini,” kata Tgk Diwa.[1] Ia merupakan salah satu tokoh di Beutong Ateuh yang menolak PT.EMM, lantaran bila perusahaan tersebut beroperasi  dapat mengancam kuburan-kuburan para syuhada.

 

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, sesungguhnya situs-situs tersebut dapat diklasifikasikan sebagai cagar budaya sebab memilki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan. Sehingga Pemerintah wajib mempertahankan dan melindungi cagar budaya tersebut.

 

Bahwa berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pemerintah dalam menjalankan kewenangannya harus memerhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tetapi terdapat dua asas yang tidak diperhatikan oleh pemerintah, yaitu asas kecermatan, dan asas kepentingan umum. Pertama, pemerintah tidak cermat karena keputusan tidak didasarkan pada fakta, bahwa di lokasi pertambangan terdapat 11 cagar budaya yang harus dilindungi. Kedua, pemerintah tidak mengedepankan asas kepentingan umum sebab orang-orang yang terdampak tidak sepakat adanya PT.EMM.

 

Dengan terancamanya makam yang dianggap sakral dan kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu yang tak terselesaikan, hal itu akan berdampak pada naiknya ketegangan antara masyarakat Aceh dengan Pemerintah Pusat. Bila diteruskan dan dibiarkan maka tinggal menunggu waktu akan dapat terjadi konflik yang tidak berkesudahan.

 

Berdasarkan uraian dan penjelasan di atas, kami mendesak, kepada:

 

  1. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah memberikan perhatian kepada kasus Tengku Bantaqiah dengan membuat memorialisasi peristiwa sebagai salah satu standar dalam melakukan pengungkapan kebenaran peristiwa. Memorialisasi tersebut juga dapat menjadi medium pengingat agar tidak terjadi keberulangan kasus serupa di masa depan;

 

  1. Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah memberikan penguatan kelembagaan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh (KKR Aceh) untuk melakukan kerja-kerja pengungkapan kebenaran terhadap pelbagai peristiwa pelanggaran HAM berat dan kekerasan selama masa operasi militer di Aceh. Hal ini juga kedepannya akan bisa digunakan juga untuk mengakses pemulihan kepada korban dan keluarga korban;

 

  1. Gubernur Aceh untuk segera membuat dan menerbitkan surat rekomendasi pencabutan izin PT. Emas Mineral Murni kepada Presiden Republik Indonesia, dan juga segera melakukan gugatan hukum untuk menggugat pemerintah pusat atas penerbitan izin PT. Emas Mineral Murni.

 

  1. Emas Mineral Murni menghentikan segala bentuk kegiatan baik eksplorasi maupun operasi produksi pertambangan emas di daerah Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah;

 

  1. Presiden Republik Indonesia Cq. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) untuk segera mencabut Keputusan BKPM Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tentang Persetujuan Penyesuaian dan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Untuk Komoditas Emas Kepaada PT.EMM;

 

 

Jakarta, 23 Juli 2019

 

 

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)

Wahana Lingkungan Hidup Aceh (WALHI Aceh)

Koalisi NGO Aceh

[1] https://www.merdeka.com/peristiwa/geger-emas-di-perut-bumi-aceh.html