Pelambatan Akses Internet di Papua Tidak Tepat

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyayangkan respon pemerintah dalam menanggapi perkembangan situasi di Papua dengan melakukan throttling alias pelambatan akses internet di beberapa wilayah Papua. Kami menilai bahwa pelambatan akses internet ini seharusnya tidak dilakukan oleh pemerintah. Selain melanggar hak masyarakat untuk mendapat hak atas informasi, mengumpulkan dan menyebarkan informasi sebagaimana di jamin dalam Pasal 28F UUD 1945, kami juga memiliki beberapa catatan sebagai berikut;

Pertama, Tindakan tersebut menunjukan bahwa negara tidak berimbang dan tidak proporsional dalam merespon persoalan yang berkembang di Papua. Cara tersebut, alih-alih membangun rasa percaya rakyat Papua atas langkah dan keberpihakan pemerintah pada rakyat papua, sebaliknya justru semakin menunjukkan adanya perlakuan diskriminatif yang berlapis kepada rakyat Papua. Sementara tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua belum jelas penegakan hukumnya, penyelesaian pelanggaran HAM belum tuntas, pemulihan hak hak dan rencana penyelesaian persoalan Papua yang menyeluruh belum juga ditunjukkan oleh negara, yang keluar justru kebijakan pembatasan akses informasi. Tindakan ini kami nilai jauh dari penyelesaian yang tepat;

Kedua, ketika Pemerintah menambahkan pengamanan di Papua, seharusnya akses informasi justru semakin dibuka seluas luasnya untuk memastikan ada pengawasan publik secara terbuka baik dari Papua mauapun luar Papua. Pelambatan akses internet justru semakin membuat pemerintah terkesan menghindari pengawasan dan transparansi dalam menangani situasi di Papua;

Ketiga, parameter dan bentuk akuntabilitas atas kebijakan pelambatan akses internet ini juga tidak dijelaskan. Pelambatan akses internet sudah kedua kalinya dilakukan oleh negara dalam setahun terakhir. Negara kerap berdalih dengan alasan keamanan dalam melakukan throttling, sementara kita tidak pernah mendapatkan akuntabilitas dr proses tersebut, mulai dari parameter keadaan yang menjustifikasi dilakukannya throttling sampai laporan atas hasil kebijakan tersebut sebagai bentuk transparansi;

Keempat, Dari serangkaian peristiwa yang terjadi terkait isu Papua baru-baru ini yang terdiri atas setidak-tidaknya kasus rasisme yang belum jelas penegakan hukumnya, permintaan saling memaafkan dari presiden, penambahan personil TNI/Polri untuk mengamankan obyek-obyek vital, kami menilai bahwa kebijakan throttling ini sangat janggal. Seharusnya penambahan aparat bersenjata dalam rangka mengamankan situasi diimbangi dengan pembukaan akses informasi seluas-luasnya demi memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas kinerja aparat keamanan demi mencegah terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM.

Atas dasar tersebut, pelambatan akses internet ini kami khawatirkan akan membuat masalah Papua terus berkepanjangan. Alih alih membuka informasi seluas-luasnya, kebijakan yang dipilih justru membatasi akses informasi. pelambatan akses internet dapat menjadi “penjara” yang lain bagi Papua dan bagi publik. Berdasarkan cara-cara yang dipilih negara dalam menangani situasi yang memanas di Papua, Negara justru semakin memperlihatkan kegagalannya dalam mengidentifikasi masalah utama Papua serta cara-cara demokratis dalam menanganinya.

 

Jakarta, 22 Agustus 2019

 

 

 

Yati Andriyani

Koordinator