Rancangan KUHP: Berbau Kolonial, Minim Perlindungan Rakyat! Pengesahannya tidak boleh dipaksakan!

Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengapresiasi waktu panjang dan banyak energi yang sudah diberikan Pemerintah dan DPR dalam menyusun dan membahas RKUHP. Namun, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dan DPR harus paham bahwa dengan rumusan RKUHP sekarang, Pemerintah dan DPR justru membangkang pada Konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi dan memberangus demokrasi. RKUHP harus dibahas dengan semangat reformasi, berbasis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, serta pelibatan bersama seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil. Pengesahannya tidak boleh dipaksakan!

 

Informasi terkait pengesahan RKUHP terdengar kencang akan dilakukan pada pertengahan September 2019. Pada akhir Agustus ini, Pemerintah dan DPR berencana memaksakan selesai membahas seluruh rumusan RKUHP yang dianggap masih sangat bermasalah. Bagaimanapun juga Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengapreasi kerja Pemerintah dan DPR yang telah mengupayakan untuk melakukan pembahasan secara terbuka sehingga masyarakat sipil dapat berperan dalam pembahasannya. Namun, patut disayangkan, selama kurun waktu setahun terakhir (sejak rapat terbuka dengan DPR terakhir pada 30 Mei 2018 lalu), pembahasan RKUHP selanjutnya cenderung tertutup, Pemerintah dan DPR lantas begitu saja mengklaim bahwa RKUHP siap segera disahkan. Padahal rumusan yang ada sampai dengan draft terkakhir yang dapat kami akses per 25 Juni 2019 masih menyisakan banyak masalah.

 

Aliansi Nasional Reformasi KUHP menyampaikan beberapa catatan sebagai alasan kuat untuk menolak pengesahan RKUHP dengan rumusan yang saat ini ada.

 

Ketujuh alasan ini adalah ujian apakah Pemerintah dan DPR serius dalam melakukan dekolonialisasi di Indonesia. Presiden Joko Widodo harus berhati-hati karena apabila RKUHP saat ini disahkan oleh DPR, Pemerintahan Presiden Joko Widodo dapat dianggap sebagai rezim yang membangkang pada Konstitusi, membungkam kebebasan berekspresi dan memberangus demokrasi. Presiden Joko Widodo justru juga akan mengingkari Nawacita karena gagal memberikan rasa aman pada seluruh warga negara, tidak terwujudnya reformasi penegakan hukum, tidak tercapainya kesejahteraan masyarakat, dan tentu saja, tidak akan terjadi revolusi mental sebagaimana salah satu tujuan utama Presiden Joko Widodo.

 

Ketujuh catatan itu sebagai berikut:

 

Pertama, RKUHP berperspektif pemenjaraan dan sangat represif, membuka ruang kriminalisasi melebihi KUHP produk kolonial (over-criminalization). RKUHP menghambat proses reformasi peradilan karena memuat sejumlah kriminalisasi baru dan ancaman pidana yang sangat tinggi yang dapat menjaring lebih banyak orang ke dalam proses peradilan dan menuntut penambahan anggaran infrastruktur peradilan. Kebijakan ini akan semakin membebani permasalahan lembaga pemasyarakatan yang tingkat kelebihan bebannya (overcrowding) sudah mencapai titik ekstrem dengan beban 205% per Juli 2019.

Kedua, RKUHP belum berpihak pada kelompok rentan, utamanya anak dan perempuan. Dengan sulitnya akses pada pencatatan perkawinan, pengaturan pasal perzinahan dan samen leven (hidup bersama di luar perkawinan yang sah) tanpa pertimbangan yang matang, berpotensi membahayakan 40 hingga 50 juta masyarakat adat dan 55% pasangan menikah di rumah tangga miskin yang selama ini kesulitan memiliki dokumen perkawinan resmi. Kriminalisasi hubungan privat di luar ikatan perkawinan berpotensi meningkatkan angka perkawinan anak yang sudah dialami 25% anak perempuan di Indonesia. Cita-cita melawan perkawinan anak yang selalu didengungkan Presiden Jokowi dapat dianggap omong kosong. RKUHP juga memidana mereka yang menggelandang, berpotensi memidana anak, masyarakat miskin tanpa dokumen resmi dan korban kekerasan seksual.

 

Ketiga, RKUHP mengancam program pembangunan pemerintah, utamanya program kesehatan, pendidikan, ketahanan keluarga, dan kesejahteraan masyarakat. Larangan penyebaran informasi tentang kontrasepsi dalam RKUHP berpotensi menghambat program kesehatan dan akses terhadap layanan HIV dan layanan kesehatan reproduksi akan semakin sulit menjangkau anak, remaja, dan populasi yang rentan, karena ancaman pidana. RKUHP juga berpotensi menghambat program pendidikan 12 tahun karena pernikahan akan semakin dirasa sebagai pilihan rasional untuk menghindari pemenjaraan akibat perilaku seks di luar nikah. RKUHP menghambat program-program kesejahteraan sebagai dampak lanjutan dari terlantarnya puluhan juta anak yang lahir dari pasangan yang dianggap “tidak sah”. RKUHP juga masih menuntut pemidanaan bagi pecandu dan pengguna narkotika. Hal ini justru kontraproduktif dengan program Presiden Joko Widodo untuk menyelamatkan para pecandu dan pengguna narkotika.

 

Keempat, RKUHP membangkang pada Konstitusi, mengancam kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi. Kembalinya pasal penghinaan presiden, yang hadir dalam suasana penjajahan kolonial, adalah bukti RKUHP bertentangan dengan Konstitusi. MK telah mencabut Pasal penghinaan presiden jelas dengan alasan bahwa kriminalisasi penghinaan presiden bukan lah ciri-ciri negara demokrasi. Ketentuan lain juga menyumbang iklim ketakutan untuk berdemokrasi seperti pasal-pasal pidana yang dapat menjerat kritik terhadap pejabat, lembaga negara dan pemerintahan yang sah, larangan mengkritik pengadilan, dan lain sebagainya. Belum lagi diperburuk dengan ancaman pidana yang sewaktu-waktu bisa digunakan untuk mematikan kebebasan berekspresi dan memberangus proses berdemokrasi.

 

Kelima, RKUHP memuat banyak pasal karet dan tak jelas yang mendorong praktik kriminalisasi, termasuk intervensi terhadap ruang privat warga. Selain memiliki banyak pasal-pasal yang dibiarkan karet dan multitafsir seperti pidana penghinaan, penghinaan presiden dan lembaga negara, kriminalisasi hubungan privat. RKUHP juga akan memberikan kewenangan pada aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk melakukan kriminalisasi terhadap pelanggaran hukum yang hidup dalam masyarakat tanpa indikator dan batasan yang jelas dan ketat. Sebagai contoh, kriminaliasi berdasarkan hukum yang hidup di masyarakat memberikan ruang pada Polisi dan Jaksa menegakkan pidana hukum yang hidup dalam masyarakat atau pidana adat. Artinya Polisi dan Jaksa dapat memproses pidana semua perbuatan yang mereka anggap masuk dalam kategori hukum yang hidup dalam masyarakat, tanpa perlu dituliskan dalam aturan, tanpa perlu ada ketentuan rumusan tegas dan jelas. Ini justru akan membunuh pranata hukum adat yang selama ini hidup dan berkembang dalam masyarakat. Hukum adat akan dijadikan alat negara dan dapat digunakan secara sewenang-wenang tanpa batasan jelas. Isu lain, Penodaan Agama alih-alih dihapuskan malah justru tidak diatur secara ketat, melainkan sekedar bentuk penghinaan terhadap agama, hal ini akan memperburuk kondisi minoritas agama di Indonesia yang secara statistik merupakan mayoritas pihak yang diproses dalam kasus-kasus penodaan agama.

 

Keenam, RKUHP mengancam eksistensi lembaga independen. DPR dan Pemerintah sama sekali tidak mengindahkan masukan dari beberapa lembaga independen Negara seperti KPK, BNN, dan Komnas HAM yang telah menyatakan sikap untuk menolak masuknya beberapa tindak pidana ke dalam RKUHP seperti korupsi, narkotika dan pelanggaran berat HAM. Hadirnya tindak pidana – tindak pidana yang memiliki kekhususan dalam RKUHP jelas mengancam eksistensi dan efektifitas kerja lembaga terkait. Selain itu, RKUHP malah menghilangkan ketentuan-ketentuan khusus yang menjadi ciri penegakan hukum dalam kasus-kasus korupsi, narkotika dan pelanggaran HAM Berat. Pemerintah dan DPR terlihat tidak memiliki keberpihakan pada isu korupsi, narkotika dan pelanggaran berat HAM.

Ketujuh, berdasarkan 6 (enam) poin permasalahan yang telah disebutkan di atas, telah nyata terlihat bahwa RKUHP dibahas tanpa melibatkan sektor kesehatan masyarakat, sosial, perencanaan pembangunan, pemasyarakatan, dan sektor-sektor terkait lainnya. Misalnya RKUHP sama sekali tidak melibatkan perspektif pemasyarakatan untuk melihat kesiapan negara dalam menanggulangi beban pemidanaan yang begitu besar dalam konteks Pembinaan di Lapas, termasuk Pembimbingan melibatkan Bapas yang selama ini minim evaluasi. Sektor kesehatan juga tidak pernah diajak duduk bersama terkait masalah dampak kesehatan publik akibat sejumlah kriminalisasi dalam RKUHP, masyarakat sipil dan pernah tahu bagaimana pandangan sektor kesehatan terkait dengan rumusan RKUHP yang akan menghambat kerja-kerja untuk mengupaya kesehatan masyarakat. Pembahasan yang kurang partisipatoris dan rencana pengesahannya yang tergesa-gesa justru menimbulkan tanda tanya besar, mengapa Pemerintah dan DPR begitu memaksakan diri untuk mengejar pengesahan RKUHP.

 

Kami sangat mengapresiasi waktu panjang dan banyak energi yang sudah diberikan Pemerintah dan DPR dalam menyusun dan membahas RKUHP. Namun, ketujuh catatan di atas tidak bisa diabaikan begitu saja.

 

Alih-alih fokus untuk memenuhi ‘tenggat waktu’, mari kita bekerja memastikan RKUHP melindungi semua orang di Indonesia tanpa terkecuali. Kami siap bekerja mendukung Pemerintah dan DPR untuk memastikan hal ini.

 

Untuk itu, Aliansi Nasional Reformasi KUHP merekomendasikan kepada Presiden Joko Widodo dan DPR agar:

 

  1. Menghentikan seluruh usaha mengesahkan RKUHP yang masih memuat banyak permasalahan dan masih mengandung rasa penjajah kolonial;
  2. Meminta Pemerintah untuk menarik RKUHP dan membahas ulang dengan berbasis data dan pendekatan lintas disiplin ilmu, dengan pelibatan bersama seluruh pihak, lembaga terkait, dan masyarakat sipil;
  3. Menolak RKUHP dijadikan sebagai alat dagangan politik termasuk menjadikan RKUHP sebagai seolah “maha karya” Pemerintah dan DPR saat ini untuk dipaksakan pengesahannya.

 

 

Jakarta, 26 Agustus 2019

Hormat Kami,

Aliansi Nasional Reformasi KUHP

 

Asfinawati (YLBHI) – 08128218930

Erasmus Napitupulu (ICJR) – 08111441800

Ricky Gunawan (LBH Masyarakat) –  081210677657

Dio Ashar Wicaksana (Mappi FH UI) – 0877-8613-0347

Sekar Surowijoyo (Elsam) – 0812-8776-9880

Marsha Habib (PUSKAPA) – 0813-2436-6221

Ardhany Suryadarma (Rumah Cemara) – 0822-2770-3428

Riska Carolina (PKBI) – 0812-8988-6442

Putri Kanesia (KontraS) – 08151623293

Tama S. Langkun (ICW) – 0811-9937-669

Julius Ibrani (PBHI) – 081314969726