Penetapan Tersangka terhadap VK merupakan Ancaman bagi Kebebasan Berpendapat

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menyayangkan sikap Polda Jatim yang menetapkan VK sebagai tersangka. VK disangkakan empat pasal berlapis di antaranya: Pasal 160 KUHP, Pasal 28 ayat (2) UU ITE, Pasal 45 ayat 2 UU Nomor 11 Tahun 2008, Pasal 14 ayat (1) UU 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, UU nomor 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi, atas cuitannya melalui media sosial karena informasi yang ia sampaikan mengenai kondisi Papua saat peristiwa pengepungan asrama Papua di Surabaya.

Dalam pandangan kami, penyebaran informasi yang dilakukan VK bukanlah kejahatan pidana, melainkan bentuk perwujudan dari hak kebebasan menyampaikan pendapat dan berekspresi yang telah dilindungi oleh Undang – Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum maupun UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dengan ditetapkannya VK sebagai tersangka, menunjukkan gagalnya Negara dalam memahami kebebasan berekspresi dan berpendapat karena baik aparat penegak hukum maupun pemerintah memiliki tafsir tersendiri mengenai informasi apakah yang disampaikan oleh masyarakat. Jika penyampaian informasi tersebut mengandung kritik atau keberatan terhadap pemerintah, maka secara mudah langsung diberi label sebagai berita bohong atau hoax.

Kami berpendapat, alih – alih menetapkan VK sebagai tersangka, seharusnya langkah yang diambil oleh aparat penegak hukum maupun pemerintah adalah dengan menjawab dan merespon pernyataan ataupun informasi tersebut dengan cara-cara yang demokratis dan bermarbat. Diantaranya, dengan mengangkat fakta dan informasi yang jelas, akurat dan dapat dibuktikan menurut versi pemerintah/penegak hukum, juga membuka akses informasi seluas-luasnya pasca diblokir beberapa waktu. Penetapan VK potensial membuat rasa ketidakpercayaan, kekecewaan dan kemarahan terhadap pemerintah dari masyarakat Papua di akar rumput akan semakin terus terjadi. Tindakan gegabah aparat penegak hukum ini juga dapat menjadi preseden buruk bagi setiap masyarakat yang hendak menyampaikan informasi melalui media apapun.

Dalam Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, kebebasan berpendapat termasuk kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya. Pembatasan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi tidak bisa dilakukan sewenang-wenang oleh negara, ukurannya pun harus jelas dan kontekstual. Terlebih lagi, VK dituduh memprovokasi peristiwa rasisme di Surabaya sementara yang bersangkutan tidak berada di tempat. Di sisi lain, Kemenkominfo juga melakukan klarifikasi dan meminta maaf atas tuduhannya terhadap VK[1].

Ajakan saling memaafkan dari Presiden, pemblokiran internet selama beberapa waktu, pembatasan wisatawan, penambahan pasukan TNI/Polri, hingga kriminalisasi terhadap VK adalah langkah yang anomali dari negara dalam menangani permasalahan di Papua. Seolah tidak ada warga negara yang boleh menyeimbangkan diskursus negara melalui penyampaian ekspresi dan pendapatnya. Sementara, tuntutan atas keadilan, kesetaraan, perlindungan HAM khususnya dalam hak hak sipil politik nampaknya belum juga menjadi prioritas pemerintah. Termasuk penegakan hukum kasus rasisme dan diskriminasi terhadap mahasiswa yang prosesnya memakan waktu lama.

Berdasarkan hal tersebut di atas, KontraS mendesak beberapa hal, di antaranya:

Pertama, penetapan Tersangka terhadap VK merupakan bentuk kriminalisasi dan upaya pembungkaman suara kritis, kebebasan berpendapat dan menyampaikan informasi yang berdampak pada semakin mundurnya perlindungan hak hak kebebasan berpendapat, berekpresi di negeri ini. Oleh karena itu, Kapolda Jawa Timur harus mencabut penetapan tersangka terhadap CK dan tidak meneruskan pelaporan tersebut.

Kedua, Negara melalui Kemenkopolhukam, Polri, serta TNI untuk tetap mengedepankan prinsip hukum dan HAM, menggunakan cara cara yang bermartabat dan demokratis dalam merespon persoalan Papua. pendekatan keamanan, termasuk penggunaan hukum untuk membungkam mahasiswa atau individu yang menyuarakan Papua tidaklah tepat dan justru akan semakin mencederai rasa keadilan, kesetaraan yang selama ini menjadi tuntutan masyarakat Papua.

Ketiga, mengedepankan pendekatan dialog dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi di Papua. Dialog tersebut berangkat dari kalangan akar rumput yang membahas mengenai permasalahan dan solusi atas persoalan yang terjadi selama ini.

 

[1] https://t.co/daispHoWD5?amp=1 diakses pada tanggal 5 September 2019