Siaran Pers Bersama 35 Tahun Peristiwa Tanjung Priok, Keadilan Tak Kunjung Datang

Tepat pada hari ini, 12 September 2019, Peristiwa Tanjung Priok sudah memasuki 3,5 dekade. Peristiwa Tanjung Priok adalah salah satu dari tiga kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang berhasil dibawa ke proses pengadilan HAM Adhoc. Amnesty International Indonesia, IKOHI, dan KontraS memandang bahwa kasus Tanjung Priok masih harus terus diingat dan diperjuangkan karena korban masih belum mendapatkan hak atas kebenaran dan hak atas pemulihan (reparasi) yang adil.

 

Peristiwa Tanjung Priok 1984, merupakan peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu yang di dalamnya ada pembunuhan secara kilat, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang, penyiksaan dan penghilangan orang secara paksa. Keempat kejahatan ini merupakan kejahatan sebagaimana kejahatan yang tertuang dalam Undang-Undang tentang Pengadilan HAM. Berdasarkan laporan Komnas HAM, peristiwa ini menimbulkan korban sebanyak 79 orang; yang terdiri dari korban luka sebanyak 55 orang dan meninggal 23 orang.

 

2001 Pengadilan HAM ad hoc tingkat pertama yang dibentuk melalui sebuah Keputusan Presiden telah memutus bersalah 12 terdakwa (dari 14 personel militer yang masih aktif maupun yang telah pensiun) pelaku pelanggar HAM, sekaligus memerintahkan negara untuk memberikan ganti rugi kepada korban dalam bentuk kompensasi, restitusi dan rahabilitasi. Namun, para terdakwa melakukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi dan berhasil lolos dari jeratan hukum pidana karena diputus bebas oleh pengadilan. Putusan yang menyatakan bahwa para pelaku bebas, merupakan kepedihan yang dirasakan bagi korban dan bagi kita semua yang berkecimpung dalam dunia HAM.

 

Setelah pengadilan membebaskan Kapten Artileri Sutrisno Mascung pada tahun 2006, Mahkamah Agung menolak permintaan jaksa untuk membatalkan keputusan tersebut, dengan alasan bahwa kasus tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM (karena korban bersenjata) dan kasus tersebut harus diproses di pengadilan pidana, bukan pengadilan HAM ad hoc.Seperti kasus lainnya, jaksa gagal mengungkapkan peran pihak yang merencanakan, lemah dalam menyusun surat dakwaan, dan gagal memberikan perlindungan kepada saksi dan korban. Di luar proses pengadilan, terdakwa menawarkan islah kepada korban dan saksi, sehingga banyak dari mereka kemudian menarik kesaksian atau mencabut pernyataan.

 

Selama lima tahun terakhir, Presiden Joko Widodo tidak pernah memberikan pernyataan apabila kasus Tanjung Priok telah berakhir atau belum. Satu-satunya hal yang kita butuhkan adalah kebenaran dan keadilan dari negara terhadap pelanggaran HAM.

 

Korban sampai saat ini masih menantikan keadilan yang tak kunjung datang. Dalam hal ini di antaranya adalah hak reparasi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Selain itu, korban masih menginginkan inisiatif dari pemerintah provinsi untuk membangun sebuah memorialisasi terhadap kasus Tanjung Priok 1984 sebagai suatu simbol pengingat publik bahwa kekerasan dan represifitas oleh perangkat negara kepada masyarakat sipil harus dihentikan.

 

Terkait dengan hal di atas, kami memberikan beberapa rekomendasi, yaitu:

  1. kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, kami mendesak untuk segera melakukan memorialisasi sebagai bagian dari pengungkapan kebenaran terhadap kasus Tanjung Priok. Berkaca pada inisiatif pemerintah terhadap peristiwa kerusuhan Mei 1998 yang telah membangun prasasti memorialisasi terkait kasus tersebut, maka upaya ini harusnya juga dapat dilakukan dengan mudah oleh Pemprov.
  2. Kepada Presiden Joko Widodo untuk segera menginisiasi sebuah mekanisme pemulihan kepada korban dan keluarga korban. Meskipun mekanisme pengadilan untuk kasus Tanjung Priok sudah ada, namun pemerintah masih mengabaikan pemulihan hak-hak korban yang dirugikan atas terjadinya peristiwa Tanjung Priok. Pemulihan bagi korban adalah sebuah hal esensial untuk mencegah mereka menjadi korban lebih jauh.

 

 

Jakarta, 12 September 2019

 

 

Amnesty International Indonesia, IKOHI, KontraS