Bebaskan semua tahanan politik Papua dan Wujudkan Perdamaian di Papua berdasarkan mandat Undang undang Otonomi Khusus Papua

Merespon perkembangan terbaru di Papua, KontraS dan Federasi KontraS melalui release ini menyampaikan sejumlah temuan-temuan dan informasi dari lapangan agar segera mendapatkan tindak lanjut dari Pemerintah Indonesia.

Kami sangat menyayangkan pendekatan keamanan, penangkapan dan penahanan yang terus menerus dilakukan oleh Kepolisian sebagai upaya untuk memulihkan keadaaan di Papua pasca aksi-aksi protes rasisme yang berujung kerusuhan di berbagai kota dan kabupaten di Papua, Papua barat.

Kami mendesak agar kepolisian membebaskan enam orang aktivis Papua yang ditahan dengan tuduhan makar pasca aksi demonstrasi di depan Istana Negara pada Rabu 28 Agustus 2019 lalu.

Kami juga mendesak agar seluruh orang Papua yang ditahan dengan sangkaan yang sama dan yang ditahan atau telah ditetapkan sebagai tersangka sebagai pelaku kerusuhan di sejumlah daerah di papua dan papua barat juga dibebaskan.

Pada 9 september 2019 Kepolisian telah menyatakan telah menetapkan tersangka pelaku kerusuhan di Papua dan Papua barat berjumlah 87 orang dan sangat besar kemungkinan jumlah ini akan terus bertambah. Sebagian besar orang-orang yang ditangkap tersebut tidak memiliki pendamping hokum, kami sangat mengkhawatirkan tindakan kepolisian ini dapat mengarah kepada penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan (abuse of power). Hukum harus ditegakkan, akses keadilan bagi seluruh masyarakat papua juga harus tetap dijamin keberlangsungannya.

Karena itu kami mendesak Polisi harus menghentikan semua penangkapan dan penahanan ini, karena upaya penindakan hukum semacam ini justru akan justru memperkeruh situasi di Papua dan masa depan perdamaian di Papua, serta semakin mencederai rasa keadilan bagi rakyat Papua.

Kami mendorong agar Kepolisian lebih berfokus pada pemulihan keamanan dengan memastikan ketertiban umum di seluruh papua dapat terwujud melalui pendekatan persuasif dan Pemerntah segera memulihkan layanan publik yang terganggu akibat kerusakan fasilitasi publik yang hancur akibat kerusuhan.

Sampai dengan saat ini, layanan internet di Jayapura dan beberapa daerah lain belum dipulihkan. Kami mendesak agar layanan internet sebagai salah satu hak dasar warga Negara harus segera dipulihkan di seluruh Papua. Pemerintah tidak memiliki alasan yang dapat dibernarkan secara hokum untuk mempetahankan kebijakan ini.

Berdasarkan laporan dari Koalisi Masyarakat Sipil Papua yang membuka Posko Pengaduan Korban Kerusuhan di Jayapura, sampai saat ini informasi tentang korban-korban kerusuhan masih kesulitan diakses oleh keluarga korban dan pendamping keluarga korban.

Hingga saat ini Polisi juga belum mengumumkan hasil-hasil investigasi forensik terkait korban-korban kekerasan selama kerusuhan. Sejumlah keluarga korban telah memberikan laporan kepada Koalisi Masyarakat Sipil Papua, bahwa mereka tidak mendapatkan laporan visum et repertum terkait penyebab kematian dan luka-luka keluarga mereka.

Karena itu, kami menuntut Polisi untuk segera melakukan investigasi forensik untuk menjelaskan apa sebab-sebab kematian, karena apa, dan oleh siapa. Hasil invetigasi forensik ini harus disampaikan ke publik sehingga dapat memberikan gambaran yang utuh tentang situasi yang sedang dan telah terjadi selama kerusuhan berlangsung.

Perdamaian dan Tanggung Jawab HAM Pemerintah Indonesia di Papua Berdasarkan UU No. 21 tahun 2000 tentang Otonomi Khusus papua

Sementara itu, pemerintah melalui Presiden dan beberapa pejabatnya telah mengambil inisiatif yang diklaim sebagai upaya dialog memujudkan perdamaian di papua. Pada Selasa (10/9/2019) Presiden telah menerima dan berdialog dengan enam puluh satu tokoh Papua diterima oleh di Istana, dan para tokoh yang diklaim sebagai tokoh papua ini mengusulkan sembilan permintaaan kepada presiden Jokowi.

Akan tetapi, sayang sekali, sembilan permintaaan yang disampaikan kepada presiden Jokowi ini sama sekali tidak berkaitan dengan kewajiban-kewajiban Negara di Papua khususnya soal HAM dan Rekonsiliasi sebagaimana dimandatkan dalam undang-undang.

Kami mendesak agar pemerintah tidak berputar-berputar tak tentu arah dalam menyelesaiakan konflik dan krisis di Papua. Kami mengingatkan bahwa Pemerintah memiliki kewajiban-kewajiban utama yang belum dilaksanakan sejak UU No 21 tahun 2000 tentang Otonomi Khusus Papua diberlakukan.

UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus menyatakan dengan jelas :
Pasal 45
Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan penduduk Provinsi Papua wajib menegakkan, memajukan, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua.
Untuk melaksanakan hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah membentuk perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Pengadilan Hak Asasi Manusia, dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Provinsi Papua sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 46
Dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa di Provinsi Papua dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.
Tugas Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah :
melakukan klarifikasi sejarah Papua untuk pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa 
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan
merumuskan dan menetapkan langkah-langkah rekonsiliasi.
Susunan keanggotaan, kedudukan, pengaturan pelaksanaan tugas dan pembiayaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Keputusan Presiden setelah mendapatkan usulan dari Gubernur.

Penjelasan tentang langkah-langkah rekonsiliasi mencakup :
Pengungkapan kebenaran, pengakuan kesalahan, permintaan maaf, pemberian maaf, perdamaian, penegakan hukum, amnesti, rehabilitasi, atau alternatif lain yang bermanfaat dan dengan memperhatikan rasa keadilan dalam masyarakat untuk menegakkan persatuan dan kesatuan bangsa.

Karena itu, kami mendesak Presiden Jokowi dan seluruh pejabat pemerintah, termasuk Gubernur Papua dan Gubernur Papua Barat untuk mengambil inisiatif-inisiatif dialog dan perdamaian di Papua dengan berdasar pada mandat UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus.

Kemi mendesak Gubernur Papua dan Papua Barat untuk segera membuat surat usulan kepada Presiden tentang pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Karena berdasarkan UU 21 tahun 2001, hanya KKR Papua lah lembaga Negara yang memiliki kewenangan untuk Pengungkapan kebenaran, perdamaian, penegakan hukum, dan beragam alternative lain dalam rangka mewujudkan perdamaian di tanah Papua.