Peringatan Untuk Seluruh Rakyat: Demokrasi Indonesia Sedang Di Ujung Tanduk!

Tanggal 15 September ditetapkan sebagai Hari Demokrasi Internasional oleh PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa), yang merupakan momentum tahunan bagi warga dunia untuk saling meninjau ulang keadaan demokrasi di negara masing-masing. Salah satu tolak ukur dalam peninjauan ulang ini adalah kondisi kebebasan dan partisipasi masyarakat sipil di masing-masing negara.

Naasnya, kondisi demokrasi dan kebebasan sipil di Indonesia mengalami penurunan kualitas yang dikuatkan dalam laporan Freedom in The World 2019 yang diterbitkan oleh Freedom House, yang menunjukkan skor kondisi jaminan hak politik dan kebebasan sipil Indonesia terus mengalami penurunan dan kebebasan sipil hanya terjadi disebagian sektor.

Hal serupa juga muncul dalam laporan Indeks Demokrasi The Economist Intelligence Unit tahun 2018. Dalam laporannya menunjukkan kondisi demokrasi Indonesia adalah demokrasi cacat, ditandai dengan penurunan skor pada partisipasi politik, proses elektoral dan pluralisme politik, kebebasan sipil, rendahnya budaya politik, dan ketidakberfungsian pemerintah.

Ada empat aspek penting untuk menilai secara segmentif kondisi demokrasi di Indonesia, antara lain: kebebasan sipil, partisipasi sipil, supremasi hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Dalam aspek kebebasan sipil, Indonesia mengalami penurunan, yang bahkan akan semakin menurun jika RUU KUHP tetap disahkan dalam waktu dekat. Dikarenakan dalam RUU KUHP sendiri masih terdapat banyak delik-delik pidana yang bertentangan dengan prinsip demokrasi dan HAM (Hak Asasi Manusia) serta menutup rapat ruang serta daya kritis publik dalam mengawal demokrasi.

Untuk aspek perlindungan HAM, tidak adanya keseriusan dari pemerintah untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu secara terbuka. Berdasarkan hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM, hingga saat ini ada sembilan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang masih menggantung di Kejaksaan Agung. Dengan tidak selesainya berbagai kasus pelanggaran HAM masa lalu itu, menjadikan pemerintah Indonesia tidak akuntabel dan sangat permisif terhadap pelanggaran HAM yang terjadi saat ini seperti masih adanya penyiksaan, extra judicial killing atau eksekusi di luar putusan pengadilan, kriminalisasi terhadap pembela HAM, pembubaran paksa organisasi tanpa melalui proses peradilan, ancaman pidana bagi orang yang mengekspresikan pikiran serta pilihan politiknya yang dilakukan secara damai, pembungkaman kebebasan akademik di kampus, serta berbagai bentuk pelanggaran HAM lainnya.

Dalam hal supremasi hukum, pemerintah Indonesia belum memiliki tekad kuat untuk agenda reformasi sektor keamanan. Hal itu dibuktikan dengan adanya fakta hukum bahwa selama ini prajurit TNI yang melakukan tindak pidana, diadili di peradilan militer dan mengakibatkan lahirnya rantai-rantai impunitas. Padahal dalam TAP MPR Nomor VII/MPR/2000 dan UU Nomor 34 Tahun 2004 mengamanatkan pemerintah Indonesia untuk segara mereformasi peradilan militer, agar prajurit TNI yang melakukan tindak pidana dapat diadili di peradilan umum. Sinkronisasi peraturan perundang-undangan dengan instrumen HAM berjalan sangat lambat. Bahkan beberapa tindakan yang bertentangan dengan konstitusi justru diformalkan serta dilegitimasi oleh peraturan perundang-undangan. Hukum digunakan sebagai alat untuk melanggar hak konstitusi. Negara justru menjadi pihak yang melakukan obstruction of justice dan banyak peraturan Yudikatif tidak ditaati oleh Eksekutif. Negara menjadi pihak yang menginjak hukum dan penegakannya. Hukum tidak menjadi panglima, melainkan dipakai sebagai alat untuk melegitimasi kesewenang-wenangan pemerintah dan para legislator, membungkam publik serta menutup partisipasi publik dalam proses nation building.

Sedangkan dalam aspek partisipasi sipil, masih minim sekali melibatkan pihak-pihak berkepentingan untuk turut terlibat merumuskan kebijakan-kebijakan tertentu. Skema perumusan legislasi di parlemen sangat tidak partisipatif bahkan tertutup. Hal Ini bisa ditemukan dalam proses perumusan RUU KUHP yang minim dengar pendapat, perumusan RUU Pertanahan, RUU Pertambangan Minerba, RUU Sumber Daya Air yang tidak mengakomodir kepentingan rakyat, hingga RUU KPK yang hingga saat ini masih dibahas oleh legislatif tanpa melibatkan pihak dari KPK-RI sama sekali.

Aspek kebebasan sipil sendiri memiliki catatan negatif dengan meningkatnya jumlah kasus kriminalisasi dengan menggunakan UU ITE. Banyak korban bahkan pembela HAM yang dikriminalisasi saat sedang memperjuangkan nasib serta keadilan bagi korban. Di beberapa aksi protes yang dilakukan masyarakat, kekerasan serta brutalitas aparat menjadi ancaman yang nyata, bahkan kriminalisasi pun menjadi upaya pembungkaman terakhir. Kemerdekaan pendapat, berekspresi, berkumpul menjadi barang yang mahal di Indonesia hari ini.

Dari keempat aspek inilah dapat dinilai, bahwa Indonesia sedang menggali kuburan kematian demokrasinya sendiri. Kecacatan demokrasi Indonesia juga ada pada isu-isu lingkungan hidup, perburuhan, agraria, kelompok minoritas rentan, masyarakat adat, dan lainnya.

Ketidakmampuan pemerintah juga ditunjukan dalam penanganan kasus luar biasa kebakaran lahan dan hutan di Kalimantan dan Sumatera, yang tidak selesai dan tidak adanya tindakan tegas bagi pelaku pembakar hutan. Akibatnya, warga disana saat ini harus hidup dalam kepungan asap dan penyakit pernapasan kronis. Selain itu, rencana untuk merevisi Undang-undang Ketenagakerjaan yang isinya jelas-jelas menghilangkan hak pekerja seperti upah dan jam kerja; menunjukkan bahwa pemerintah Indonesia tidak peduli dengan kesejahteraan warganya dan lebih berpihak pada kelompok pemodal.

Konflik agraria terus menerus terjadi dan keterlibatan militer dalam konflik ini berujung pada penyiksaan terhadap para petani seperti yang terjadi di Jambi dan Urutsewu, Kebumen, menunjukkan negara masih menerapkan kekerasan terhadap warga negara atas nama pembangunan nasional. Hal lain, polarisasi politik, kebangkitan politik identitas, hingga fundamentalisme agama justru difasilitasi oleh negara beserta pelaku politik praktis, telah menyebabkan tersingkirnya kelompok minoritas rentan. Alih-alih mendapatkan pengakuan dan kesetaraan di hadapan hukum, kelompok LGBTI misalnya, semakin sulit untuk hidup aman di masyarakat, karena adanya pembiaran ujaran kebencian terhadap kelompok tersebut.

Di sisi lain, kekerasan seksual terutama kepada kelompok rentan seperti perempuan dan anak menjadi ancaman nyata. Namun sialnya, sebagian dari anggota legislatif di parlemen tidak memandang secara serius dan jernih kejahatan ini. Aspirasi-aspirasi kelompok perempuan sebagai kelompok yang berkepentingan tidak sepenuhnya didengarkan. Berujung pada mandegnya pengesahan kebijakan penghapusan kekerasan seksual (RUU P-KS). Hak masyarakat adat dalam pun hingga saat ini diabaikan oleh negara. Masyarakat adat sebagai pewaris dan penerus adat budaya Nusantara masih terus menjadi warga negara kelas dua. Aspirasi masyarakat adat tidak didengar sepenuhnya oleh negara, akibatnya RUU Masyarakat Adat mandeg dan tidak disahkan hingga hari ini.

Keseluruhan problem-problem faktual di atas telah menunjukkan, bahwa, bahkan rakyat yang terdzalimi sekali pun. Di sisi yang lain, Demokrasi adalah seolah kedaulatan rakyat, kekuasaan yang berdasarkan kepentingan dan kemaslahatan rakyat.

Hal-hal diatas sudah cukup menunjukkan bahwa Demokrasi di Indonesia sedang berada di ujung tanduk. Oleh karena itu, AMUKK (Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi), lewat siaran pers ini menuntut agar

  1. Kembalikan kedaulatan demokrasi yang berpusat di tangan rakyat dan buka selebar-lebarnya pintu-pintu partisipasi serta kebebasan sipil, tingkatkan transparansi dan akuntabilitas kerja-kerja pemerintah dan DPR juga Partai Politik
  2. Bangun demokrasi ekonomi rakyat yang berdaulat yang menjamin pemerataan, keadilan sosial dan peningkatan kesejahteraan rakyat
  3. Tolak investasi yang berpotensi merusak lingkungan, melanggengkan perbudakan, merampas tanah-tanah rakyat, merusak budaya serta adat dan mengorbankan kepentingan rakyat
  4. Perkuat agenda pemberantasan dan penindakan korupsi dengan menghentikan pembahasan revisi Undang-undang KPK dan membatalkan pengangkatan 5 (lima) komisioner KPK-RI 2019-2024 terpilih
  5. Meluruskan kembali Reformasi TNI & POLRI. Mengembalikan TNI ke barak serta menempatkan Kepolisian di bawah Kementerian
  6. Mengaudit dan menghentikan seluruh bisnis TNI dan Kepolisian
  7. Segera sahkan: RUU Penghapusan KS, RUU Masyarakat Adat, RUU Konservasi Ekosistem dan Sumber Daya Alam, dengan menghormati hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal, RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga
  8. Mempercepat pembentukan pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dan pembentukan pengadilan HAM untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa kini
  9. Tolak perumusan undang-undang yang menjadi predator kehidupan rakyat dan lingkungan serta membuka ruang partisipasi bagi keterlibatan masyarakat dengan mengedepankan prinsip penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM, yang berkeadilan gender, berpihak pada korban-potensial korban, serta non-diskriminasi
  10. Bangun sistem perlindungan terhadap kelompok minoritas dan rentan-agama/kepercayaan minoritas, kelompok adat, disabilitas, perempuan dan anak, LGBTI, lansia, ras dan etnis minoritas
  11. Jalankan TAP MPR No IX/ Tahun 2001 tentang Reforma Agraria dan Sumber Daya Alam
  12. Hapuskan dan batalkan pasal-pasal serta peraturan perundang-undangan yang menghambat kebebasan pers, kemerdekaan berpendapat dan berekspresi, serta kemerdekaan mimbar akademik

Jakarta, 15 September 2019
AMUKK (Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi)
ICEL, Paralegal Ciben, Paralegal Rumpin, JSKK, YLBHI, Gusdurian Jakarta, JALA PRT, ASV, LBH Jakarta, PWYP, ELSAM, KontraS, SINDIKASI, LBH Medan, ARI, BEM Univ. Bung Karno, BEM FH UI, KNTI, BEM STHI Jentera, HUMA, Komunitas Budaya Mandiri, Mahardika, Remotivi, KPBI, KASBI, PKBI, SEJUK, HWDI, Purplecode Collective, LBH Apik, Arus Pelangi, IKOHI, WP KPK, SGRC, Ciliwung Merdeka, JRMK, BEM UI

Contact Person:
Andi Rezaldy (087785553228), Maidina (085773825822), Dona Rahayu (082172420299), Igna (083866987760), Sekar (081287769880) Pratiwi Febry (081387400670)