Diskusi “Kasus Munir: “Menggugat” Sikap Pemerintahan Jokowi”

Kasus terbunuhnya aktivis hak asasi manusia, Munir Said Thalib sudah 15 tahun berlalu. Namun, sampai saat ini belum ada kemajuan yang berarti dari kasusnya. Komite Aksi Solidaritas Untuk Munir (KASUM), menggelar diskusi bertajuk “Kasus Munir: “Menggugat” Sikap Pemerintahan Jokowi” yang bertempat di LBH Jakarta, pada Senin 23 September 2019. Diskusi ini menghadirkan beberapa pemantik diskusi yaitu Ninik Rahayu (Ombudsman RI), Usman Hamid (Mantan Sekretaris TPF Kasus Meninggalnya Munir), Yati Andriyani (KontraS) dan Bivitri Susanti (KASUM), dengan dimoderatori oleh Arif Maulana (LBH Jakarta).

 

Dalam diskusi ini, Usman Hamid memandang sikap pemerintahan di era Presiden Jokowi dengan dua cara, yakni dengan membandingkan sikap pemerintahan Jokowi dengan presiden sebelumnya dan melihat bagaimana sikap pemerintahan di era Presiden Jokowi dengan pemerintahan presiden sebelumnya dalam mengatasi permasalahan serupa. Dari kedua cara pandang ini, dapat kita lihat bahwa sikap pemerintahan era Presiden SBY dan era Presiden Megawati lebih baik dalam mengatasi masalah. Dalam masa pemerintahan kedua presiden sebelum Jokowi, diterbitkan Keputusan Presiden terkait pembentukan Tim Penyelidik. Di era SBY, diterbitkan Surat Keputusan Presiden untuk membentuk tim pencari fakta kasus pembunuhan Munir. Kemudian di era Megawati, diterbitkan surat keputusan terkait pembentukan Komisi Penyelidik Nasional untuk kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay, yang kasusnya dianggap serupa dengan kasus pembunuhan Munir. Sedangkan di era pemerintahan Presiden Jokowi, tidak ada sikap yang ditunjukkan untuk menyelesaikan kasus.

 

Kemudian, terkait hilangnya dokumen tim pencari fakta kasus pembunuhan Munir di era Presiden Jokowi, Yati Andriyani mengungkapkan bahwa seharusnya Presiden Jokowi berani mencari siapa saja yang menghilangkan dokumen ini. Bisa memanggil Kapolri, Jaksa, atau pihak-pihak terkait, tapi sampai periode kedua Presiden Jokowi tidak melakukan apa-apa. “Alih-alih memberikan informasi dan dokumen, pemerintah Jokowi malah banding melalui PTUN,” ungkap Yati.

 

Menurut Ninik Rahayu, jika dilihat dari skema maladministrasi, maka kasus ini memiliki beberapa potensi. Beberapa potensi tersebut yaitu potensi diskriminatif, potensi penyimpangan prosedur terhadap dokumen penting, dan terakhir adalah potensi penundaan berlarut pada dua hal. Pertama potensi penundaan berlarut terkait penuntasan dan kedua dalam hal mengumumkan apa yang terjadi terkait kehilangan dokumen.

 

Bivitri mengungkapkan, bahwa diskusi ini berawal dari pernyataan Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Staf Kepresidenan Eko Sulistyo yang memberikan pernyataan bahwa pemerintahan Jokowi tidak mempunyai kewajiban untuk mengumumkan dokumen tersebut. “Yang perlu dipahami adalah bukan Jokowi secara individu, tapi sebagai Lembaga Kepresidenan,” ujar Bivitri. “Kita sering lupa kalau presiden ini orang, padahal lembaga. Jadi (masa pemerintahan) Pak SBY selesai, bukan berarti Pak Jokowi tidak dibebankan tugas-tugas kepresidenan,” sambungnya. Jadi, yang bertanggung jawab untuk mengumumkan dokumen ini tetap presiden, tanggungjawab harus tetap ada sepanjang keputusan presiden belum terpenuhi. Bivitri juga menyatakan bahwa bencana legislasi yang ramai akhir-akhir ini adalah upaya oligarki untuk membajak reformasi.

 

Diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini dihadiri oleh berbagai kalangan, mulai dari jurnalis, mahasiswa sampai siswa-siswi sekolah menengah yang antusias mendengarkan pemaparan para narasumber, dan diakhiri dengan sesi tanya jawab. Diskusi ini diakhiri dengan penyampaian komitmen dari KASUM untuk melanjutkan kembali penyelesaian kasus Munir.