Merespon Indonesia Terpilih sebagai Human Rights Council di Tengah Mundurnya Pemajuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan sejumlah catatan atas terpilihnya kembali Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB untuk periode 2020-2022 mewakili Asia Pasifik. Meski Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi, mengatakan bahwa terpilihnya Indonesia merupakan sebuah amanah untuk meningkatkan dan memperjuangkan HAM di tingkat nasional dan global, namun faktanya, setelah empat kali Indonesia terpilih menjadi Dewan HAM PBB, situasi dan kondisi HAM di Indonesia tidak mengalami kemajuan, bahkan cenderung mengalami kemunduran.

Oleh karena itu, KontraS menyayangkan terpilihnya kembali Indonesia menjadi Dewan HAM PBB karena pekerjaan rumah, khususnya dalam sektor penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia, tidak juga dikerjakan.

Adapun catatan tersebut mengacu pada penegakan hukum dan HAM di Indonesia saat ini, di antaranya:

Pertama, Pemerintah tidak juga mengambil langkah konkret untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat masa lalu secara berkeadilan. Justru sebaliknya, Pemerintah berupaya untuk mencuci tangan melalui kebijakan yang cenderung lebih berpihak kepada terduga pelaku. Seperti belum lama ini, pada Februari 2019. Pemerintah secara sepihak dan tanpa melibatkan partisipasi korban mencetuskan Deklarasi Damai terhadap kasus Talangsari, Lampung, yang berisikan bahwa kasus Talangsari tidak akan dibuka kembali. Keengganan Pemerintah ini tercetus pada tidak diterimanya rekomendasi dari beberapa negara untuk segera melakukan investigasi dan penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk di antaranya kasus Talangsari.

Kedua, hak-hak fundamental yang tidak juga dipenuhi oleh Pemerintah justru semakin terkikis. Di antaranya adalah hak kebebasan berekspresi, berkumpul dan berpendapat yang saat ini semakin dipersempit. Kondisi tersebut tercermin dari penanganan aksi massa pada 21-23 Mei dan 23-30 September 2019 yang cenderung koersif ketimbang persuasif. Tindakan represif dari aparat keamanan terlihat jelas ketika aparat melakukan pendekatan kekerasan tetapi juga penangkapan sampai pada pascaaksi. Hasil investigasi KontraS menunjukkan fakta bahwa aparat terbukti melakukan penganiayaan, pengeroyokan, bahkan penggunaan senjata api yang menimbulkan korban luka hingga korban jiwa. Pembatasan terhadap hak atas informasi oleh Pemerintah Indonesia juga tercermin ketika Menkominfo secara sepihak melakukan pembatasan akses internet di wilayah Jakarta pasca-pengumuman pemenang Pilpres 2019 – 2024 pada 21-23 Mei lalu. Pembatasan serupa juga terjadi pada saat peristiwa kerusuhan di Papua yang dipicu akibat adanya peristiwa rasisme terhadap sejumlah mahasiswa Papua di asrama Papua di Surabaya pada Agustus 2019 lalu. Pembatasan akses internet ini tidak pernah dievaluasi sehingga sangat rentan dilakukan secara sewenang-wenang.

Ketiga, alih-alih mengalami kemajuan, masa depan penegakan hukum di berbagai sektor di Indonesia justru mengalami kemunduran. Hal ini tercermin dari inisiasi DPR RI untuk mengesahkan sejumlah peraturan yang masih bermasalah, seperti Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), Revisi Undang – Undang KPK (RUU KPK), hingga RUU Pertanahan. Berbagai peraturan bermasalah ini dinilai tidak memberikan perlindungan terhadap masyarakat, justru menguntungkan bagi para penguasa dan melanggengkan impunitas.

Keempat, dari sekian banyak rekomendasi UPR (Universal Periodic Review) yang disetujui oleh Indonesia, masih banyak yang belum dijalankan oleh Pemerintah Indonesia. Sebagai contoh, komitmen Indonesia di depan negara-negara lain untuk melakukan ratifikasi Protokol Tambahan Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol of Convention Against Torture) serta Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa (International Convention on Protection of All People Against Enforced Disappearances) masih belum direalisasikan oleh Pemerintah Indonesia.  Selain itu, pendekatan militeristik masih diterapkan di Papua dan Papua Barat, kondisi ini bertentangan dengan komitmen Indonesia untuk menjalankan rekomendasi 139.67 dari Selandia Baru tentang pemenuhan, pemajuan dan penegakan HAM di Papua. Bahkan, pada pertengahan tahun 2018, Ketua Komisioner Tinggi HAM PBB (OHCHR), Zeid Ra’ad Al Hussein membuat pernyataan bahwa Pemerintah Indonesia tidak kunjung memberikan akses kunjungan ke Papua bagi OHCHR.

Selain itu, dalam isu kebijakan HAM Luar Negeri Indonesia, negara masih belum menunjukkan tindakan konkret terhadap beberapa isu HAM di level global, di antaranya: 1) isu Rohingya dan penanganan pengungsi. Indonesia cenderung masih bermain aman dan tidak menjadikan isu pengungsi yang telah menjadi krisis internasional sebagai salah satu isu yang dijadikan komitmen bagi Pemerintah. Indonesia masih enggan meratifikasi Konvensi 1951 dan mendukung repatriasi masyarakat Rohingya tanpa didukung dengan jaminan kewarganegaraan dan pemulihan bagi para masyarakat Rohingya apabila mereka kembali ke tanah air mereka. 2) Indonesia tidak menjadi negara pendukung dalam isu Suriah berbeda dengan semangat Indonesia dalam mendukung dan menjadi garda depan pada isu Palestina. Hal ini tercermin pada catatan voting Indonesia di PBB yang selalu abstain terkait dengan permasalahan dan penyelesaian isu di Suriah. Walaupun Indonesia mengklaim telah meluncurkan begitu banyak Peacekeeper untuk negara-negara konflik, hal ini tidak berjalan selaras dengan sikap di forum internasional maupun resolusi konflik di level domestik seperti Papua.

Berbagai permasalahan di atas menunjukkan bahwa Pemerintah masih enggan untuk memperbaiki situasi dan kondisi pemenuhan maupun pemajuan hak asasi manusia sehingga patut dipertanyakan apabila Indonesia terpilih sebagai Dewan HAM PBB untuk kelima kalinya tanpa dibarengi dengan langkah konkret Pemerintah untuk memajukan penegakan dan perlindungan HAM bagi rakyatnya.

 

Jakarta, 19 Oktober 2019

Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani

Koordinator

 

Narahubung: +62 819 1309 1992