Pemutakhiran Data Pengaduan Online dan Temuan KontraS atas Kekerasan oleh Anggota Kepolisian terhadap Massa Aksi 23-25 September 2019

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam keras tindakan polisi dalam melakukan pengamanan dan pembubaran yang dipenuhi dengan tindak kekerasan yang tidak proporsional terhadap massa aksi 23-25 September 2019. Dalam merespons hal tersebut, KontraS berinisiatif untuk membuka posko pengaduan bagi siapapun yang merasa hak-hak nya dilanggar selama peristiwa aksi massa pada tanggal 23-25 September 2019.

Secara kelembagaan, KontraS membuka pengaduan yang tidak terpatok pada satu kasus tertentu. Keberadaan posko atas peristiwa kemarin (23-25 Sept) ada untuk memudahkan penjaringan data atas peserta aksi yang menjadi korban represivitas anggota kepolisian. Melalui posko ini, KontraS mengajak siapapun (saksi) yang melihat atau menjadi korban untuk mengadukannya kepada kami. dari nama-nama yang masuk, KontraS akan menghubungi pelapor untuk menindaklanjuti jika ada pelaporan yang harus kami perdalam. Keberadaan posko pengaduan kekerasan aparat atas aksi 23-25 September 2019 telah resmi dibuka pada pukul 14.00 tanggal 25 September 2019. Sampai dengan hari ini (26/09/2019) pukul 15.00, pelaporan yang masuk ke KontraS sebanyak 125 pengaduan. Mayoritas pengaduan mengeluhkan kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang mengakibatkan luka-luka pada demonstran.

 

Atas pengaduan online yang masuk, KontraS menemukan bahwa mayoritas korban mengalami penganiayaan oleh anggota kepolisian, terkena dampak dari tembakan gas air mata, pengeroyokan, dan tembakan peluru karet. Dalam menindaklanjuti pengaduan tersebut, KontraS telah menghubungi kembali pelapor untuk keperluan pengiriman data-data pendukung yang menjadi bukti kekerasan oleh pihak kepolisian.

Selain posko pengaduan, KontraS juga mengunjungi sejumlah korban yang menjadi keganasan aparat kepolisian dalam menangani aksi massa pada tanggal 24 September 2019. KontraS mengunjungi beberapa rumah sakit di antaranya, RS Jakarta, RSPP, RS Pelni, dan RS Mintohardjo. Hasil temuan kami menemukan bahwa terdapat 16 korban yang ada di RS Jakarta, 14 di antaranya rawat jalan, 2 di antaranya rawat inap atas nama (A dan IB). A mengalami pengeroyokan saat sedang mengambil motor di Jakarta Convention Center yang mengakibatkan tubuhnya luka-luka. Sedangkan, IB badannya (perut bagian kanan) ditembakkan peluru karet sehingga mengakibatkan luka dalam yang cukup serius dan harus segera dilakukan operasi untuk pengambilan peluru.

Di RS Pelni, terdapat mahasiswa atas nama FM yang mengalami tengkorak retak, pendarahan otak, dan patah tulang bahu. Karena kondisi tersebut, ia sempat koma dan harus diambil tindakan operasi. Di RS PP, KontraS menemukan papan pengumuman bertuliskan nama korban dari aksi tanggal 24 September 2019 sejumlah 91 orang, namun kami tidak mendapatkan keterangan lanjutan mengenai kondisi korban. Sementara, di RS Mintohardjo, pihak rumah sakit sama sekali menolak memberikan keterangan mengenai jumlah korban dan kondisi korban.

KontraS juga menemukan bahwa para massa yang ditahan di Polda Metro Jaya berjumlah kurang lebih 30-an orang dengan kondisi yang tidak bisa djelaskan karena informasi kepada pendamping hukum dibatasi oleh pihak kepolisian.

Dari pengaduan serta investigasi yang KontraS lakukan, kami menyimpulkan beberapa poin, pertama, pola pembatasan atau penanganan aksi massa menggunakan restriksi aparat penegak hukum yang tidak terukur; kedua, penanganan aksi massa diarahkan secara khusus kepada kelompok-kelompok sipil (mahasiswa) yang sebenarnya tengah menggunakan hak konstitusinya untuk menyeimbangkan diskursus negara; ketiga, pengamanan aksi massa dalam jumlah besar dilakukan tanpa mengimplementasikan Perkap mengenai pengendalian massa dan hak asasi manusia. keempat, keberulangan peristiwa yang menunjukkan aparat kepolisian tidak belajar dari penanganan aksi massa dalam jumlah besar yang menimbulkan korban jiwa, seperti aksi 21-22 Mei 2019.

Berdasarkan hal tersebut di atas, kami mendesak beberapa hal, antara lain:

Pertama, Kapolri untuk segera melakukan audit dan evaluasi secara menyeluruh terkait dengan sejauh mana operasi dan penindakan terhadap terduga pelaku kasus kriminal tidak melanggar hak seseorang serta dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Kapolri juga harus memastikan bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh institusi Polri maupun tindakan anggotanya di lapangan tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku;

Kedua, Kapolri untuk memastikan akses informasi, akses untuk mendapat keadilan, terhadap korban atau pendamping korban yang transparan dan akuntabel atas semua yang terjadi.

Ketiga, Lembaga Pengawas Eksternal seperti Kompolnas, Komnas HAM dan Ombudsman RI agar menggunakan kewenangan sesuai mandat masing-masing lembaga untuk melakukan pemantauan terhadap penanganan aksi massa oleh kepolisian yang mengakibatkan korban luka-luka agar berjalan secara transparan dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.

 

 

Badan Pekerja KontraS

 

 

 

Yati Andriyani

Koordinator