Hasil Eksaminasi Putusan Dani Susanda Korban Dugaan Rekayasa Kasus dan Desakan Pengusutan Kasus Penyiksaan

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBHJ) mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia terpilih, Jenderal Polisi Drs. Idham Azis, M.Si. untuk segera melakukan serangkaian penyelidikan dan penyidikan terhadap anggota kepolisian yang diduga melakukan tindakan penyiksaan, seperti yang terjadi pada Dani Susanda, warga Tasikmalaya dan para pengamen Cipulir, Tangerang.

Pertama, Kasus penyiksaan yang dialami Dani Susanda terjadi ketika polisi dari kesatuan Polres Tasikmalaya dibantu Polda Jawa Barat melakukan penyidikan terkait tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana terhadap dua anggota keluarga yang meninggal dunia pada 9 November 2014 di Tasikmalaya, dengan Dani Susanda sebagai tersangka. Pada tanggal 13-14 November 2014 di Polsek Kawalu, Polsek Indihiang dan Polres Tasikmalaya, Dani Susanda mengalami penyiksaan secara keji yaitu berupa dipukul, dipecut dengan kabel, ditekan jakunnya hingga nyaris pingsan, dimasukkan ke kantong mayat bekas korban hingga diancam jari tangannya akan dipotong dengan samurai.

Tindakan-tindakan penyiksaan tersebut, diamini oleh majelis hakim yang memeriksa di tingkat pertama. Melalui Putusan Pengadilan Negeri Tasikmalaya Nomor 28/Pid.B/2015/PN.Tsm, majelis hakim menyatakan bahwa meyakini adanya penyiksaan dan penghilangan barang bukti. Atas pertimbangan tersebut, majelis hakim kemudian memberikan putusan bebas dari seluruh dakwaan jaksa (Vrijspraak). Namun demikian, putusan bebas itu dianulir oleh Mahkamah Agung melalui Putusan MA Nomor 1148 K/Pid/2015 dengan memvonis Dani Susanda dengan pidana penjara selama 12 tahun. Berdasarkan analisis para ahli pidana, setelah dilakukan eksaminasi putusan, ditemukan bahwa putusan itu mengandung masalah satu dintaranya Mahkamah Agung dalam putusan kasasi itu telah melampaui kewenangannya sebagai judex jurist karena telah melakukan penilaian atas hasil pembuktian, bukan lagi penerapan hukum.

Kedua, Kasus penyiksaan yang dialami 6 orang pengamen Cipulir oleh aparat Polda Metro Jaya pada tahun 2013. Adapun empat (4) orang diantaranya, yakni Uchok, Fatah, Fikri dan Bagus masih berusia anak-anak saat itu. Mereka dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan terhadap seseorang bernama Dicky Maulana di kolong jembatan Cipulir, padahal mereka hanya menolong pria yang sedang sekarat saat mereka temui. Keenam orang pengamen ini disiksa dengan cara diinjak, dipukul, hingga disetrum. Marni, salah satu keluarga korban bersama LBH Jakarta saat itu telah melaporkan dugaan penyiksaan ini kepada kepolisian. Namun, hingga saat 6 orang pengamen ini kemudian tidak terbukti bersalah di Pengadilan Tinggi DKI dan Mahkamah Agung. Namun demikian, hingga saat ini, aparat kepolisian yang diduga sebagai pelaku penyiksaan tidak ditindak secara hukum.

Penyiksaan seperti yang dialami Dani dan pengamen Cipulir, menambah daftar panjang kasus impunitas atas penyiksaan oleh aparat kepolisian yang terjadi sebelumnya. Berdasarkan pemantauan KontraS, sepanjang bulan Juni 2018 hingga Mei 2019, tercatat telah terjadi sebanyak 72 kasus penyiksaan di Indonesia, dimana sebanyak 52 kasus diantaranya dilakukan oleh aparat kepolisian. Sementara itu, berdasarkan pengaduan yang diterima oleh LBH-YLBHI, sebanyak 49 kasus penyiksaan terjadi sejak tahun 2016 – 2019. Sebanyak dua puluh tujuh (27) kasus diantaranya ditangani LBH Jakarta.

Mengenai masih banyaknya kasus penyiksaan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, KontraS dan LBH Jakarta menilai bahwa aparat penegak hukum masih menganggap bahwa tindakan penyiksaan adalah tindakan yang tidak melanggar hukum dan merupakan bagian dari proses penggalian informasi atas sebuah dugaan peristiwa pidana. Padahal larangan bagi aparat untuk mendapatkan keterangan dengan paksaan telah diatur secara tegas dalam Pasal 422 KUHP yang menyatakan seorang pejabat yang dalam suatu perkara pidana menggunakan saran paksaan, baik untuk memeras pengakuan, maupun unutk mendapatkan keterangan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Oleh karena, tindak pidana tersebut merupakan bukan delik aduan (klacht delict) maka pihak kepolisian tidak perlu menunggu adanya laporan dari korban atas atas kerugian yang diderita. Sebaliknya, pihak kepolisian dapat secara proaktif melakukan penyidikan atas tindak pidana yang diduga dilakukan oleh aparat kepolisian sesuai fungsi dan tugas kepolisian dalam rangka menegakkan hukum sesuai UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian.

Lebih lanjut, tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan pihak penyidik sekiranya tidak hanya memeriksa yang melakukan tindak pidana, melainkan juga harus dapat mengurai sejauh mana keterlibatan dari atasan petugas kepolisian terhadap peristiwa tersebut. Hal itu dilakukan, guna mengetahui hubungan hukum antara atasan dengan petugas kepolisian di lapangan, sehingga pertanggungjawaban pidana tidak hanya terletak pada pelaku yang melakukan tindak pidana, melainkan juga kepada seseorang yang menyuruh melakukan tindak pidana bilamana memenuhi bukti permulaan yang cukup.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan kami di atas, kami menyatakan:

  1. Mendesak Kapolri, Jenderal Polisi Drs. Idham Azis, M.Si. memerintahkan jajarannya untuk segera melakukan penyidikan terkait kasus dugaan penyiksaan dan penghilangan barang bukti yang dialami Dani Susanda serta kasus penyiksaan yang dialami para pengamen Cipulir secara akuntabel dan transparan;
  1. Mendesak Kapolri memberikan perintah kepada masing-masing Kapolda di seluruh Indonesia untuk memegang dan menjalankan prinsip nilai-nilai hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam melakukan tugas-tugasnya guna mencegah peristiwa penyiksaan tidak terulang kembali;
  1. Mendesak Ketua Kompolnas RI lebih proaktif dalam merespon kasus-kasus penyiksaan yang dilakukan aparat kepolisian;
  1. Mendesak Presiden Republik Indonesia C.q. Menteri Luar Negeri meratifikasi Optional Protocol Convention Against Tortutre—OPCAT. Agar lembaga-lembaga pengawas negara, dapat melakukan pemantauan di rumah tahanan negara guna mencegah terjadinya penyiksaan.

Jakarta, 29 November 2019

Narahubung:

Andi-KontraS (087785553228)

Ghifar-LBHJ (085376769969)

Unduh Dokumen Anotasi putusan kasasi Dani Susanda klik disini

KontraS dan LBH Jakarta