Diskusi Publik: “Meluasnya Peran Militer dan Menyusutnya Ruang Sipil”

Pada hari Rabu, 4 Desember 2019, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan diskusi publik dengan judul “Meluasnya Peran Militer dan Menyusutnya Ruang Sipil”. Bertempat di Kantor KontraS, Jakarta Pusat, diskusi ini menghadirkan tiga orang pembicara yaitu Aris Santoso Selaku Pengamat Militer, Diandra Megaputri selaku Peneliti LIPI, dan Danu Pratama dari KontraS. Diskusi ini diadakan untuk memberikan pemahaman kepada publik mengenai fenomena kembalinya TNI ke ranah sipil yang terjadi secara sistematis serta dampaknya kepada kehidupan sipil-demokratik di Indonesia.

Diskusi ini dimulai dengan pemaparan KontraS mengenai evaluasi kinerja TNI selama satu tahun terakhir. Dalam penelitian tersebut, KontraS menyimpulkan bahwa terdapat upaya sistematis agar TNI dapat kembali ke ranah sipil melalui berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh negara seperti wacana penempatan anggota aktif TNI di jabatan sipil, melibatkan TNI secara luas dalam agenda pemberantasan terorisme, dan dikeluarkannya UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional (UU PSDN) yang berisi ketentuan mengenai wajib militer, serta melalui pendekatan kultural seperti hadirnya anggota TNI dalam berbagai peristiwa aksi massa berskala besar. Diskusi kemudian dilanjutkan dengan pemaparan oleh para pembicara yang menjelaskan bahwa temuan KontraS dalam penelitiannya disebabkan adanya dinamika politik-keamanan internal yang menguat, sehingga pandangan/sikap otoritas sipil cenderung engan untuk mendorong agenda-agenda reformasi militer. Selain itu, masih ada pula kecenderungan di militer, meskipun tidak semua, bahwa persoalan negara adalah persoalan militer.

Berdasarkan diskusi ini, disimpulkan bahwa memang terdapat upaya-upaya agar TNI masuk kembali ke ranah sipil melalui berbagai dimensi kebijakan. Upaya-upaya ini harus disikapi dengan otoritas sipil yang secara tegas menjaga marwah demokrasi yang terkandung dalam supremasi sipil. Untuk mencapai hal tersebut, masyarakat harus mampu mendorong otoritas sipil untuk menempatkan agenda reformasi militer sebagai agenda prioritas, dan di saat yang sama menciptakan diskursus dengan militer guna mendorong upaya internal militer untuk menjadi professional dengan cara melakukan berbagai perbaikan SDM, Alutsista, organisasi, hingga diskursus mengenai militer itu sendiri.