Setelah Temuan Maladministrasi Tim Terpadu Penanganan Dugaan Pelanggaran HAM yang Berat: Buka Ruang Keadilan bagi Korban Talangsari

4 Maret 2019, KontraS bersama dengan Amnesty International Indonesia dan Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) telah melayangkan pengaduan kepada Ombudsman Republik Indonesia (ORI) perihal “Deklarasi Damai Dugaan Kasus Pelanggaran HAM yang Berat di Dusun Talangsari Way Jepara Lampung Timur tanggal 20 Februari 2019” yang diduga mengandung maladministrasi. KontraS dan Amnesty International Indonesia menilai bahwa kebijakan deklarasi damai ini tidak berpihak pada korban pelanggaran HAM berat dan masyarakat umum yang menghendaki penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang berkeadilan melalui mekanisme yudisial dan non-yudisial secara komplementer. Hal ini selaras dengan survei yang diadakan Komnas HAM dan Litbang Kompas tahun 2019 menyebutkan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia (99,5%) masih menginginkan adanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu harus dilakukan melalui pengadilan HAM. KontraS menilai bahwa deklarasi damai ini hanyalah manuver semata untuk menghindari proses hukum bagi para pelaku dan melanggengkan impunitas.

Tepat 10 bulan setelahnya, Kamis, 5 Desember 2019, ORI telah mengeluarkan hasil penyelidikan bahwa adanya maladministrasi dalam Deklarasi Damai kasus pelanggaran HAM berat Talangsari. ORI menyatakan bahwa deklarasi tersebut tidak sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan tidak sesuai Undang-Undang Nomor 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM.

Temuan maladministrasi dalam Deklarasi Damai Talangsari, tampak dalam tiga poin dalam surat No. 170/3/2/XII/SK/DPRD-LTM/2000. Poin pertama menyatakan bahwa masyarakat lewat wakilnya di DPRD tidak akan memperpanjang kasus pelanggaran HAM berat Talangsari Way Jepara Kabupaten Lampung Timur. Poin ini jelas tak sesuai dengan amanah UU No. 26 tahun 2000 tentang penyelesaian pelanggaran HAM non yudisial yang mestinya menggunakan mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang tidak menihilkan adanya pengungkapan kebenaran sebagai hak yang melekat pada korban. Selain itu, penyelesaian kasus pelanggaran HAM juga harus memberikan hak korban berupa pemulihan personal dan kolektif, membangun ulang hubungan tanpa kekerasan antar-individu dan komunitas serta memastikan ketidak berulangan kasus pelanggaran HAM berat.

Poin kedua dalam Deklarasi Damai menyebutkan klaim pemerintah yang menyatakan bahwa selama 30 tahun telah dilakukan pembangunan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi dan proses penanganan dalam bentuk pemenuhan hak-hak dasar korban. Nyatanya, proses tersebut belum maksimal, karena hingga saat ini masih banyak korban yang belum berdaya ekonomi seperti semula. Klaim tersebut menunjukkan bahwa pemerintah masih belum final memaknai hak korban dan hak warga negara, ada perbedaan yang mendasar dari pengakuan pemulihan hak-hak korban dengan hak-hak warga negara yang memang melekat secara konstitusi. Selain itu, pendataan terkait kondisi terkini korban dan keluarganya pun belum didata dengan solid oleh Komnas HAM maupun Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).

Poin ketiga yang menyebutkan bahwa para pelaku, korban, dan keluarga korban menyepakati agar peristiwa tidak diungkap kembali oleh pihak manapun juga bermasalah karena sama saja menutup lembaga pendamping korban yang ingin membantu korban dan keluarganya agar penyelesaian kasus pelanggaran HAM bisa berjalan sesuai amanat undang-undang. Permasalahan lain adalah tidak dilibatkannya korban secara aktif dalam agenda ini, sehingga poin ketiga ini sebenarnya tidak memiliki basis legitimasi apapun dari korban maupun keluarga korban.

Apabila ditelaah secara melalui pendekatan hukum HAM internasional, konsep keadilan transisi yang dianut secara umum oleh negara-negara transisi pasca konflik dan kekerasan rezim memang mensyaratkan berbagai pelanggaran HAM yang terjadi harus diselesaikan secara multidimensional dengan turut melibatkan penyelesaian secara yudisial dan non-yudisial dalam bentuk pemenuhan hak-hak korban, pelurusan sejarah, koreksi terhadap lembaga pelaku, dan sebagainya, sehingga tidak dapat hanya diselesaikan dengan satu dimensi saja, misalkan dengan upaya-upaya “meningkatkan kesejahteraan” atau rekonsiliasi.

Atas dasar tersebut, KontraS merumuskan beberapa rekomendasi sebagai berikut:

  1. Temuan maladministrasi ini harus dianggap sebagai pendorong adanya penegakan hukum dan penyelesaian kasus secara berkeadilan secara konstitusional berdasarkan UU Pengadilan HAM;
  2. Temuan Maladministrasi ORI sebagai acuan bahwa praktik rekonsiliasi yang telah diwacanakan tidak boleh keluar dari ruh penyelesaian pelanggaran HAM berat, yakni untuk mengutamakan keadilan bagi korban;
  3. Pemerintah kedepannya dalam mengeluarkan kebijakan terkait penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat wajib mengutamakan kepentingan korban dan dilakukan dalam kerangka mekanisme yudisial dan non-yudisial yang dilaksanakan secara komplementer.

 

6 Desember 2019

Paguyuban Keluarga Korban Talangsari Lampung (PK2TL) – Edi Arsadad (085366418500)

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) – Feri Kusuma (081298019266)

Amnesty International Indonesia – Puri Kencana Putri (0817545529)