Pernyataan Jaksa Agung; Pengingakaran, Penyangkalan dan Tindakan Melawan Hukum

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pernyataan ST Burhanuddin selaku Jaksa Agung yang menyatakan bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukan termasuk Pelanggaran HAM berat. Pernyataan yang dilontarkan Jaksa Agung pada Kamis, 16 Januari kemarin merujuk pada putusan politik, yaitu hasil rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004. Pernyataan ST Burhanuddin menggambarkan bahwa Jaksa Agung sebagai Penyidik perkara pelanggaran HAM berat terus berupaya mengingkari, menyangkal dan lari dari tanggungjawabnya untuk menyelidiki perkara pelanggaran HAM berat. Tindakan ini adalah tindakan yang melawan hukum.

Pertama, dalam mekanisme penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu. DPR RI sebagai lembaga legislatif tidak memiliki kewenangan untuk menyatakan sebuah perkara sebagai pelanggaran HAM berat atau tidak. Mandat DPR RI adalah mengusulkan kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad hoc, seperti yang tercantum dalam  Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Pasal 43 Ayat (2) yang berbunyi; “Pengadilan HAM ad hoc sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden”.

Lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk menyatakan suatu perkara sebagai pelanggaran HAM berat adalah Komnas HAM sebagai penyelidik dan Kejaksaan Agung sebagai Penyidik sesuai dengan mandat UU No. 26 Tahun 2000 Pasal 18 Ayat (1) yang berbunyi; “Penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia” dan Pasal 21 Ayat (1) yang berbunyi; “Penyidikan perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat dilakukan oleh Jaksa Agung”.

Pernyataan ST Burhanuddin yang melandasai argumentasi bahwa peristiwa Semanggi I dan Semanggi II berdasarkan Keputusan Paripurna DPR RI jelas hanya alasan politis dari Jaksa Agung untuk menghindari tanggungjawabnya melakukan penyidikan peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semagggi II, dan melindungi Presiden untuk tidak mengeluarkan Keppres Pengadilan HAM ad hoc. Keputusan Paripurna DPR adalah sebuah produk politik yang sengaja dikeluarkan untuk mencegah kasus ini diselesaikan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dalam hal ini DPR RI bukan lembaga yang berwenang menyimpulkan sebuah perkara pelanggaran HAM berat atau bukan. Sehingga terhadap keputusan paripurna DPR RI tidak dapat dijadikan acuan oleh Kejaksaan Agung untuk memutuskan suatu perkara adalah peristiwa Pelanggaran HAM berat atau bukan.

Kedua, Pernyataan Jaksa Agung bahwa kasus Semanggi I dan II bukan termasuk pelanggaran HAM berat  adalah bentuk penyangkalan dan pengingkaran atas atas hasil laporan penyelidikan Komnas HAM. Pada 20 Maret 2002, Komisi Penyelidikan Pelanggaran HAM (KPP HAM) Trisakti, Semanggi I dan II yang dibentuk oleh Komnas HAM mengeluarkan laporan akhir yang menyatakan bahwa telah terjadi kejahatan terhadap kemanusiaan pada peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II, berupa pembunuhan dan perbuatan-perbuatan tidak berperikemanusiaan yang berlangsung secara sistematis dan meluas yang ditujukan pada warga sipil. Sehingga, pernyataan yang dikeluarkan ST Burhanuddin adalah pernyataan yang tidak berdasar dan melawan hukum karena pernyataan tersebut tidak berkesesuaian dengan hasil penyelidikan pro justisia Komnas HAM dan tidak didasari dari proses penyidikan yang seharusnya dilakukan Jaksa Agung.

Ketiga, pernyataan Jaksa Agung telah mendelegitimasi kewenangan dan fungsi Jaksa Agung sebagai lembaga penegak hukum menjadi lembaga impunitas. Pernyataan tersebut tidak saja menjadi alasan bagi Jaksa Agung untuk lari dari tanggungjawab tetapi juga melindungi Presiden dari tanggung jawabnya untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi beban sosial politik bangsa ini sejak lama.

Berdasar berbagai penilaian diatas KontraS mendesak;

  1. ST Burhanuddin selaku Jaksa Agung mencabut pernyataan yang dilontarkannya pada Kamis, 16 Januari 2020 bahwa Semanggi I dan II tidak termasuk dalam pelanggaran HAM Berat. Hal ini karena Jaksa Agung tidak dapat menyatakan keabsahan kasus pelanggaran HAM berat berdasarkan suatu keputusan politik yang tidak mempunyai kekuatan mengikat.
  2. Kejaksaan Agung harus segera meneruskan hasil laporan penyelidikan Komnas HAM ke tahap penyidikan.
  3. Presiden sebagai kepala negara harus segera mengambil sikap tegas untuk memutus impunitas. Diantaranya dengan mengeluarkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM. Mengeluarkan kebijakan yang yang efektif untuk mengahiri bolak balik berkas laporan penyelidikan pelanggaran HAM berat antara Kejaksaan Agung dan Komnas HAM, mengelurkan kebijakan yang mempercepat pemenuhan hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihan bagi korban

 

Jakarta, 17 Januari 2020

Badan Pekerja KontraS

 

 

Yati Andriyani

Koordinator KontraS