100 Hari Kerja, 100 Hari Mendelegitimasi Hak Asasi Manusia

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] memberikan catatan terhadap 100 hari kinerja pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin. Kendati Joko Widodo[1] tidak membuat prioritas 100 hari kerja, namun dalam 100 hari pertama akan menjadi masa krusial sebagai salah satu tolok ukur arah pemerintahan selama beberapa tahun ke depan.

Dalam menilai 100 hari kerja pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin, KontraS menggunakan pendekatan hak asasi manusia yang mengukur tiap pernyataan, kebijakan, keputusan, maupun peristiwa yang terjadi selama 100 hari untuk mendorong fungsi korektif dan preventif dalam kacamata responsibility, answerability, dan enforceability.

Adapun catatan KontraS dalam merespons 100 hari Joko Widodo – Ma’ruf Amin adalah sebagai berikut:

Pertama, Situasi hak asasi manusia sepanjang 100 hari semakin dilemahkan. Dari hari ke hari, Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) semakin mendelegitimasi hak asasi manusia dengan sejumlah pernyataan, keputusan, serta kebijakan yang diusung pemerintahannya. Kondisi ini di antaranya terlihat jelas dari keputusan Presiden Joko Widodo dengan kembali menunjuk dan memberikan posisi atau jabatan strategis kepada figur-figur yang sepatutnya dapat dimintai pertanggungjawaban atas dugaan keterlibatan dalam sejumlah peristiwa pelanggaran HAM (berat), seperti menteri (Prabowo Subianto, Menteri Pertahanan) dan Dewan Pertimbangan Presiden (Wiranto). Ditunjuknya sejumlah nama yang diduga terkait dengan pertanggungjawaban peristiwa pelanggaran HAM (berat) tersebut menunjukkan ketidakpatuhan, sekaligus absennya perhatian, keberpihakan, dan komitmen pemerintahan Joko Widodo di periode kedua terhadap isu Hak Asasi Manusia.

Kebijakan yang tidak pro HAM ini semakin mengukuhkan dan memperkuat rantai impunitas, sekaligus mencerminkan pengingkaran terhadap semangat reformasi, khususnya terkait akuntabilitas negara dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat, dan reformasi di sektor peradilan militer. Keberadaan para figur-figur yang memiliki catatan pelanggaran HAM dalam kabinet serta dalam lingkaran kekuasaan menunjukan Presiden tidak menjadikan akuntabilitas dan pemenuhan HAM sebagai landasan dan parameter dalam mengelola pemerintahan. Sebaliknya, penegakan HAM terus dikorbankan untuk kepentingan politik yang hanya mengedepankan kepentingan elit politik dan mencederai rasa keadilan korban.

Kedua, Awal pemerintahan Jokowi periode kedua, ditandai dengan potret buram penegakan hukum dan pelemahan terhadap demokrasi, serta pengabaian terhadap hak asasi manusia. Termasuk, tidak menjadikan agenda reformasi sektor keamanan sebagai agenda prioritas. contohnya, minimnya akuntabilitas Kepolisian Daerah (Polda) Sulawesi Tenggara dalam penegakan hukum untuk kasus meninggalnya 2 (dua) orang mahasiswa Universitas Halu Oleo bernama Alm. Randi (21) dan Alm. Muh. Yusuf Kardawi (19). Dalam penanganan kasus tersebut, Keputusan Polda Sulawesi Tenggara yang hanya menjatuhkan sanksi karena pelanggaran kode etik kepada 6 (enam) orang anggota kepolisian. 1 dari 6 tersebut diproses pidana. Kendati demikian, publik tidak mengetahui 6 anggota tersebut diberi sanksi karena menembak demonstran atau karena tidak mengikuti prosedur, seperti tidak ikut apel rutin dan membawa senjata api.

Peristiwa tersebut tidak terlepas dari tindakan represif negara melalui aparat kepolisian dalam melakukan penangananan aksi massa masyarakat, mahasiswa, pelajar di berbagai wilayah dalam menyuarakan protes atas kebijakan yang tidak pro HAM dan demokrasi melalui kebijakan yang diusung pemerintah dan parlemen (RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahanan, RUU Permasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, RUU KPK, UU SDA). Gelombang aksi yang telah menyebabkan jatuhnya korban jiwa, luka-luka, penangkapan dan penahanan sewenang – wenang[2] tidak jelas penanganan dan penegakan hukumnya. Pemerintah Jokowi melalui aparat penegak hukum-nya gagal mencegah jatuhnya korban dari masyarakat sipil, sekaligus gagal dalam mengambil langkah hukum yang efektif dan akuntabel dalam masalah ini.

Kasus lainnya yang juga penting menjadi parameter isu HAM dan penegakan hukum adalah kasus kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.  Pada akhir 2019, kekhawatiran dan dugaan masyarakat sipil terbukti bahwa dalam kasus ini ada keterlibatan aparat negara (anggota Polri aktif). Anggota Kepolisian yang seharusnya menjaga keamanan, mencegah, dan menanggulangi kejahatan justru menggunakan sumberdaya yang dimilikinya untuk melakukan kejahatan. Peristiwa penyiraman terhadap Novel Baswedan oleh anggota kepolisian menjadi indikator bahwa ada potensi keberulangan dan mengarah pada state terrorism (teror oleh negara). Terlebih lagi, Presiden menolak[3] untuk membentuk pencari fakta independen untuk penanganan kasus Iini.  Selain itu, akibat tidak tegasnya Jokowi atas persoalan revisi UU KPK, kini lembaga antirasuah terus kehilangan kekuatannya. Berbagai upaya pelemahan yang masif dan sistematis baik melalu revisi UU KPK terus terjadi, juga keengganan Presiden mengeluarkan Perpu KPK. Salah satu bukti dampak dari pelemahan ini yaitu gagalnya penggeledahan[4] terhadap kantor PDI-P atas kasus suap Komisioner KPU. Dan gagalnya KPK menemukan dengan cepat keberadaan Tersangka, termasuk Menteri Hukum dan HAM dan imigrasi yang memberikan informasi tidak benar mengenai keberadaan Tersangka Harun Masiku. Kasus ini menunjukan instrument pemerintahan Jokowi patut diduga terlibat dalam tindakan obstruction of justice; menghalangi, menghambat penyidikan kasus korupsi. Termasuk keterlibatan Menteri Hukum dan HAM yang merupakan representasi pemerintah dalam Tim Hukum PDIP untuk kasus ini. Hal ini menunjukkan kegagalan negara dalam aspek enforceability.

Ketiga, Keinginan pemerintah untuk mencapai target kemudahan berbisnis dan iklim investasi melalui perumusan Omnibus Law[5] dan menekan kelompok yang dianggap menghambat (kegiatan) investasi menjadi daftar pelemahan terhadap hak asasi manusia. sebab hal ini akan mendorong state actor (aktor negara) maupun non-state actor (aktor nonnegara) untuk berlaku sewenang-wenang. Hal ini terlihat pada luas hutan yang berkurang 2,6 juta hektar pada periode pertama Joko Widodo.[6] Terlebih lagi, satuan tugas yang ada untuk menyusun Omnibus Law diisi dengan mayoritas pengusaha. Mengingat komposisi penyusun dan substansi Omnibus Law yang ada, KontraS melihat bahwa kehadiran Omnibus Law hanya ingin memudahkan kelompok pebisnis semata demi sarana pelebaran investasi. namun, luput atas keterlibatan publik dan potensi dampak yang ditimbulkan baik terhadap lingkungan maupun hak asasi manusia.

Sementara, bagi mereka yang melakukan perlawanan demi menjaga lingkungannya dikriminalisasi. Perihal ini telah terjadi di kegiatan pertambangan Pulau Wawonii yang mana terjadi 27 kasus kriminalisasi terhadap warga yang melakukan penolakan eksploitasi sumber daya alam. Selama 100 hari, sedikitnya tercatat 85 kasus yang mayoritas isunya ialah okupasi lahan. Sementara, aktor dari pelanggaran di sektor sumber daya alam ialah swasta (korporasi). Kapasitas Negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi kewajiban hak asasi manusia mereka dibentuk dan dibatasi oleh kepentingan ekonomi ketika mayoritas aktor nonnegara memiliki peranan besar dalam menentukan keputusan. Aktor-aktor ini termasuk lembaga keuangan internasional dan regional, bank pembangunan multilateral, perusahaan transnasional.

Keempat, Upaya stigmatisasi terhadap kebebasan berekspresi. Dalam isu kebebasan berekspresi, negara kerap melakukan stigmatisasi pada mereka yang sedang menggunakan hak konstitusionalnya sebagai warga negara. Stigma yang kerap disematkan ialah anarko, komunis, makar, bahkan radikal. Stigma tersebut terjadi pada aktivis Papua[7], mahasiswa[8], bahkan PNS[9]. Penyematan stigma terhadap individu atau kelompok kerap kali mengalihkan perhatian perihal poin utama yang menjadi tuntutan warga negara atau kerap kali diberikan kepada individu atau kelompok yang sedang menyeimbangkan diskursus negara. Stigmatisasi akan dilekatkan oleh “anti-Pancasila” atau “anti-NKRI.” Sehingga, atas alasan tersebut, negara seolah punya dasar untuk membungkam ekspresi warga negara. Selama 100 hari, tercatat 49 kasus. dari kasus-kasus tersebut, tercatat 83 orang ditangkap dengan mayoritas warga dan mahasiswa. Angka ini menjadi salah satu indikator bahwa pembungkaman menguat pada awal pemerintahan Joko Widodo.

Kelima, upaya mendelegitimasi hak asasi manusia melalui pernyataan dan sejumlah kebijakan. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan pejabat publik, seperti Menkopolhukam yang mengatakan tidak ada pelanggaran HAM di era Joko Widodo,[10] alasan repetitif oleh negara atas upaya penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu karena tidak cukup bukti,[11] serta pernyataan kontroversial yang menyangkal impunitas.[12]  Sikap negara dalam kurun waktu 100 hari menggambarkan adanya upaya “pembenaran” atas tindakan impunitas yang pernah atau sedang dilakukan. Mulai dari penyangkalan sampai dengan reklaim kebenaran seperti yang ditunjukkan oleh pernyataan Jaksa Agung dan Menkopolhukam. Hal tersebut menjadi catatan buruk atas kondisi hak asasi manusia ke depan. Dalam 100 hari, negara tidak malu menunjukkan ketidakberpihakkannya pada publik, namun memilih untuk melawan rakyatnya sendiri.

Akuntabilitas hak asasi manusia harus diintegrasikan ke dalam semua tahap siklus kebijakan sebuah negara, mulai dari perencanaan awal, hingga penganggaran, implementasi, pemantauan dan evaluasi. Namun, dalam 100 hari, pemerintahan Joko Widodo – Ma’ruf Amin tidak menunjukkan “circle of accountability.” Hal ini menjadi salah satu penanda bahwa terdapat upaya untuk mendelegitimasi hak asasi manusia.

KontraS memproyeksikan selama beberapa tahun ke depan publik akan disibukkan dengan proyek pembangunan, investasi yang kian mendominasi serta praktik populis dari pejabat yang berupaya menunjukkan ketegasannya, namun minim implementasi. Proyek pembangunan akan disimplifikasi pada persoalan infrastruktur belaka yang mendorong kemudahan investasi baik asing maupun dalam negeri.  Konsekuensi dari situasi tersebut di atas ialah agenda keadilan yang terus menjadi tuntutan publik akan terus diabaikan. Represi dalam berbagai bentuk terhadap perubahan kebijakan atau perbaikan sistem akan meningkat baik di ranah digital maupun di lapangan. Stigmatisasi terhadap kelompok tertentu semakin tumbuh sebab dianggap “melawan” negara. Secara umum, upaya mendelegitimasi hak asasi manusia akan semakin kuat dan berdampak kebebasan sipil yang akan semakin langka.

 

 

[1] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191023121512-32-442117/jokowi-tak-pasang-target-100-hari-kerja diakses pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 18.00

[2] Hingga 3 Oktober 2019 malam hari, Tim Advokasi setidak-tidaknya menerima 390 aduan. Dari 390 aduan yang masuk, mayoritas melaporkan kasus yang dialami oleh mahasiswa sebanyak 201, disusul oleh pelajar sejumlah 50 orang, warga, 28 orang, pekerja lepas, pedagang, ojek online, dan sisanya tidak menyertakan keterangan.

[3] https://www.suara.com/news/2019/12/30/125301/jokowi-tertawa-tanggapi-usulan-bikin-tim-independen-kasus-novel-baswedan diakses pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 20.00

[4] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200114194456-12-465350/dewas-kpk-tegaskan-surat-izin-penggeledahan-bersifat-rahasia diakses pada tanggal 21 Januari 2020 pukul 11.26

[5] empat paket omnibus law di antaranya, RUU Cipta Lapangan Kerja, RUU Ibukota Negara, RUU Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, dan RUU Kefarmasian. Dalam RUU Cipta Lapangan Kerja, terdapat beberapa pasal yang berpotensi merusak lingkungan dengan menghapus izin AMDAL dan menghapus sanksi pidana bagi korporasi.

[6] https://kbr.id/nasional/12-2019/periode_pertama_jokowi__luas_hutan_indonesia_berkurang_2_6_juta_hektare/101770.html diakses pada tanggal 21 Januari 2020 pukul 14.55

[7] https://megapolitan.kompas.com/read/2019/12/20/11060251/enam-aktivis-papua-didakwa-berbuat-makar diakses pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 15.34

[8] https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-4825004/anarko-di-balik-kericuhan-di-rumah-deret-tamansari-bandung diakses pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 15.37

[9] https://fokus.tempo.co/read/1279015/skb-11-instansi-darurat-radikalisme-asn diakses pada tanggal 13 Januari 2020 pukul 15.45

[10] https://nasional.tempo.co/read/1282988/mahfud-md-tak-ada-pelanggaran-ham-di-era-jokowi diakses pada tanggal 17 Januari 2020 pukul 09.30

[11] https://www.merdeka.com/peristiwa/mahfud-md-tantang-komnas-ham-serahkan-bukti-segala-pelanggaran-ham-masa-lalu.html diakses pada tanggal 17 Januari 2020 pukul 09.35

[12] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200116121020-32-465881/jaksa-agung-peristiwa-semanggi-bukan-pelanggaran-ham-berat?utm_source=twitter&utm_medium=oa&utm_content=cnnindonesia&utm_campaign=cmssocmed diakses pada tanggal 17 Januari 2020 pukul 10.12