Lutfi Sang Pembawa Bendera Merah Putih Korban Dari Proses Peradilan yang Tidak Adil dan Jujur

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyesalkan putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang telah menjatuhkan vonis 4 (empat) bulan penjara kepada Lutfi Afandi. Lutfi adalah peserta aksi dan pembawa bendera merah putih pada saat aksi Reformasi Dikorupsi, pada 30 September 2019. Putusan ini patut diduga bahwa majelis hakim tidak cermat dan abai dalam memeriksa pokok perkara. Sebab, dalam keterangannya Lutfi telah tegas menyatakan bahwa dirinya adalah korban dari serangkaian tindakan penyiksaan oleh aparat kepolisian.

Dalam kesaksiannya, Lutfi menyatakan bahwa dirinya mengikuti aksi reformasi dikorupsi karena keinginanan sendiri, dan pandanganya yang tidak sepakat dengan sejumlah Rancangan Undang-Undang. Aksi tersebut menurutnya murni untuk mengekspresikan kekecewannya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Menjelang selesainya berunjuk rasa, Lutfi ditangkap dan diperiksa di Polres Jakarta Barat. Selama proses pemeriksaan berlangsung, lutfi menegaskan bahwa dirinya mengalami sejumlah penyiksaan dengan cara kupingnya dijepit hingga disetrum. Menurutnya, penyiksaan ini dilakukan agar polisi memperoleh keterangan yang sesuai dengan keinginannya.

Dugaan tindakan penyiksaan yang diduga dilakukan terjadap Lutfi merupakan pelanggaran atas Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia sebagaimana telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998.

Selain adanya pelanggaran atas konvensi menentang penyiksaan, diduga telah terjadi pelanggaran atas Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu Pasal 351 mengenai pengaianyaan. Bahwa Lutfi telah mengalami kekerasan sehingga polisi seharusnya melakukan penyidikan guna menemukan pelaku kekerasan yang tidak berhenti pada penyidiknya saja melainkan juga terhadap atasan penyidik bilamana ada instruksi atau perintah langsung dari atasannya. Jika penyidikan ini tidak dilakukan, dikhawatirkan penyiksaan selama pemeriksaan terus berulang.

Vonis 4 bulan yang dijatuhkan tehadap lutfi atas pelanggaran Pasal 218 KUHP mengenai melawan perintah pejabat saat berkerumun merupakan putusan yang keliru sebab unsur yang harus dipenuhi ialah bahwa perbuatan kerumunan itu memberikan ancaman bagi orang lain dan melanggar ketentuang undang-undang. Lutfi telah menjelaskan bahwa pada saat peristiwa ia dalam perjalanan untuk pulang.

Dalam KUHAP Pasal 184 disebutkan bahwa alat bukti terdiri dari (1) keterangan saksi, (2) keterangan ahli, (3) surat-surat atau tulisan, (4) petunjuk ; dan (5) keterangan terdakwa. Sementara itu dalam Pasal 189 ayat 1 KUHAP jelas-jelas disebutkan bahwa yang dimaksud dengan keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.

Hal itu berarti keterangan seorang terdakwa yang diberikan di luar sidang tidak dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti dalam sidang. Sementara itu keterangan terdakwa dapat digunakan, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya. Dalam hal ini, keterangan dan dakwaan yang diperoleh dari praktik penyiksaan harusnya gugur, tidak sah dan majelis hakim wajib membebaskan Lutfi dikarenakan keterangan yang didapatkan dari hasil intimidasi dan penyiksaan. Dasarnya ialah Pasal 15 Konvensi menentang anti penyiksaan sebagaimana diratifikasi menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 dan Yurispudensi Putusan Mahkamah Agung dalam memutus perkara Kasus Marsinah (Putusan MA No.Reg.117/Pid/1994). Jikapun, lutfi divonis bersalah maka dugaan kejahatan praktik penyiksaan tetap harus diproses hukum.

Dalam kasus ini, majelis hakim tidak mempertimbangkan kesaksian lutfi terkait penyiksaan yang dialaminya padahal dalam KUHAP keterangan seorang terdakwa termasuk sebagai alat bukti. Dengan tidak dipertimbangkannya kesaksian tersebut, hal itu menandakan bahwa Lutfi ialah korban dari proses peradilan yang tidak adil dan jujur.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, kami mendesak:

  • Kapolri harus dengan segera memerintahkan Kapolda Metro Jaya guna melakukan serangkaian tindakan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyidik yang diduga melakukan penyiksaan. Penyidikan tidak boleh berhenti pada kasus yang dialami Lutfi tetapi penyidikan juga harus dilakukan terhadap massa aksi yang mengalami tindakan serupa termasuk juga para Jurnalis. Termasukan Kapolri haurus mengambil langkah-langkah nyata untuk menjamin dihentikannya praktik penyiksaan oleh anggota Kepolisian;
  • Ketua Komisi Yudisial harus bertindak reaktif dengan memeriksa majelis hakim yang diduga melanggar KUHAP selama proses pemeriksaan berlangsung dengan tidak mempertimbangkan kesaksian penyiksaan yang dialami Lutfi saat proses penyidikan;
  • Komnas HAM melakukan pemantauan dan penyelidikan atas dugaan penyiksaan terhadap Lutfi untuk memastikan perlindungan bagi masyarakat dari praktik penyiksaan dalam proses peradilan, sekaligus mendorong penyelidikan yang profesional dan akuntabel di Kepolisian;
  • Lembaga Perlindungan Saksi pro aktif memberikan perlindungan dan jaminan kepada Lutfi untuk mendorong pemenuhan hak-haknya sebagai korban penyiksaan dalam proses peradilan.

Jakarta, 31 Januari 2020

Yati Andriyani

Koordinator
Narahubung:
Andi Muhammad Rezaldy (087785553228)