Presiden Harus Menunda Pembentukan Komponen Cadangan oleh Kementerian Pertahanan

         Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan (Pothan) Kementerian Pertahanan menyatakan akan membuka pendaftaran Komponen Cadangan. Rencananya, pelatihan akan dilaksanakan pada Juli 2020 dimana masyarakat yang telah mendaftar akan dilatih secara militer selama tiga bulan di sejumlah Rindam.

         Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai rencana Kementerian Pertahanan membentuk Komponen Cadangan bukan hanya langkah yang terburu-buru, tapi juga belum urgen untuk dilakukan saat ini. Apalagi, landasan hukum yang mengatur tentang pembentukan Komponen Cadangan (UU 23/2019) memiliki sejumlah permasalahan serius bagi tata kelola negara demokrasi dan hak asasi manusia. Jika langkah Kementerian Pertahanan dipaksakan, alih-alih akan memperkuat sektor pertahanan negara, sebaliknya justru akan menciptakan masalah-masalah baru.

        Pembentukan Komponen Cadangan sejatinya belum termasuk agenda prioritas dan bahkan menunjukkan adanya ketidakteraturan dalam menentukan prioritas agenda reformasi sektor keamanan. Jika pemerintah memiliki tujuan untuk memperkuat sektor pertahanan agar semakin profesional, kuat dan modern, maka pembangunan komponen utama yakni Tentara Nasional Indonesia (TNI) semestinya menjadi agenda prioritas dan perlu dikedepankan oleh pemerintah. TNI sebagai sebagai komponen utama masih membutuhkan banyak pembenahan dan penataan, seperti peningkatan kesejahteraan prajurit, penguatan profesionalisme, modernisasi Alutsista, dan lain sebagainya. Dalam konteks ini, agenda pembentukan Komponen Cadangan baru bisa diwujudkan apabila tata ulang dan penguatan terkait sistem dan komponen utama pertahanan telah dilakukan.

         Koalisi juga menilai aturan hukum pembentukan Komponen Cadangan yang disahkan DPR pada akhir 2019 juga mengandung substansi yang problematik, antara lain:

         Pertama, definisi ancaman terlalu luas. Pasal 4 Ayat (2) menyebutkan bahwa ancaman yang dimaksud terdiri atas ancaman militer, ancaman non-militer dan hibrida. Luasnya ruang lingkup ancaman menimbulkan permasalahan tersendiri. Komponen Cadangan yang telah disiapkan dan dibentuk pemerintah dapat digunakan untuk menghadapi ancaman keamanan dalam negeri seperti dalih untuk menghadapi ancaman bahaya komunisme dan terorisme yang berpotensi menimbulkan terjadinya konflik horizontal di masyarakat. Padahal pembentukan dan penggunaan Komponen Cadangan seharusnya diorientasikan untuk mendukung komponen utama yakni TNI dalam upaya menghadapi ancaman militer dari luar.

            Kedua, konsep bela negara yang diatur dalam UU PSDN tidak hanya sempit tapi juga militeristik. UU PSDN secara eksplisit menyatakan wajib militer menjadi salah satu bentuk bela negara dan komponen cadangan yang dibentuk dipersiapkan untuk tujuan tersebut. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 6 Ayat (2) yang menyebutkan pelatihan dasar kemiliteran secara wajib menjadi satu dari empat bentuk keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara. Pendekatan ini cenderung militeristik sehingga tidak bisa dihindari akan mengarah pada upaya militerisasi sipil yang dikemas melalui program bela negara.

         Penting untuk dicatat konsep bela negara perlu ditafsirkan secara luas, tidak terbatas pada domain pertahanan negara yang berdimensi militeristik. Bela negara esensinya adalah upaya untuk mewujudkan tujuan pembentukan negara sebagaimana ditegaskan dalam UUD 1945, seperti menciptakan kesejahteraan, keadilan, perdamaian, dan kemanusiaan. Dalam konteks ini, setiap warga negara yang bekerja melalui profesinya masing-masing secara esensial bisa dimaknai sebagai bagian dari bela negara.

          Ketiga, UU PSDN tidak mengadopsi prinsip dan norma hak asasi manusia secara penuh. Hal ini dapat dilihat pada penerapan prinsip kesukarelaan yang setengah-setengah dalam pembentukan Komponen Cadangan. Penting untuk dipahami, prinsip kesukarelaan haruslah dipandang secara luas, tidak hanya pada saat pendaftaran tapi juga dalam mobilisasi. Prinsip kesukarelaan harus memberikan ruang bagi warga negara yang sudah mendaftar secara sukarela menjadi Komponen Cadangan untuk mengubah opsi mereka atas dasar kepercayaannya (conscientious objection) termasuk pada saat mobilisasi.

         Adanya ancaman sanksi pidana terhadap anggota komponen cadangan yang menolak panggilan mobilisasi meski hal itu dilakukan berdasarkan atas kepercayaan dan keyakinannya (Pasal 77 ayat (1)), menunjukkan bahwa Komponen Cadangan ini sifatnya wajib. Tidak adanya pasal yang mengatur pengecualian bagi mereka yang menolak penugasan militer karena hal tersebut bertentangan dengan kepercayaannya merupakan pelanggaran terhadap Pasal 18 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan, dan beragama. Hal ini telah ditekankan oleh Komisi Hak Asasi Manusia PBB dalam Komentar Umum No. 22 dan pendapat-pendapat lainnya yang dibuat untuk menanggapi prosedur petisi maupun laporan penerapan Kovenan yang diserahkan oleh negara pihak. Sebagai negara pihak Kovenan tersebut, Indonesia wajib untuk memastikan adanya pasal yang mengatur pengecualian tersebut.

       Penerapan prinsip kesukarelaan yang setengah-setengah juga dapat dilihat pada pembentukan Komponen Cadangan dari unsur Sumber Daya Alam (SDA) dan Sumber Daya Buatan (SDB). Jika pengaturan Komponen Cadangan dari unsur warga negara dibuka mekanisme pendaftaran secara sukarela, tapi hal yang sama tidak diberlakukan terhadap unsur SDA dan SDB yang dimiliki atau dikelola oleh warga negara atau sektor swasta.

Pembentukan dan penggunaan Komponen Cadangan dari unsur SDA dan SDB berpotensi menimbulkan masalah-masalah baru. SDA dan SDB yang telah ditetapkan sebagai Komponen Cadangan oleh Menteri Pertahanan, maka pemilik atau pengelolanya wajib ‘menyerahkan’ untuk dibina dan dimobilisasi. Hal ini membuka peluang penyalahgunaan dimana dengan dalih pembentukan Komponen Cadangan kewenangan tersebut dapat digunakan untuk menguasai berbagai sumber daya alam yang dimiliki secara perseorangan, baik sektor swasta maupun warga negara.

          Keempat, penerapan hukum militer kepada Komponen Cadangan. Pasal 46 menyebutkan bahwa bagi Komponen Cadangan selama masa aktif diberlakukan hukum militer. Di saat reformasi militer tersendat karena belum dituntaskannya kasus pelanggaran HAM masa lalu, serta ketidaktundukan militer terhadap peradilan umum, UU PSDN justru mengatur bahwa dalam wajib militer komponen cadangan tunduk terhadap hukum militer. Padahal beberapa aturan perundang-undangan telah mengatur. Pasal 3 ayat (4) dari TAP MPR VII/2000 menyatakan ”Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.” Sementara itu pasal 65 ayat (2) UU No. 34/2004 berbunyi “Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang”.

          Kelima, mekanisme pembiayaan dalam UU PSDN mengabaikan prinsip sentralisasi anggaran. Dalam UU PSDN Pasal 75 huruf b dan c menyebutkan bahwa pembiayaan pengelolaan sumber daya nasional melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat di samping dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN), telah menyalahi prinsip sentralisme pembiayaan anggaran pertahanan negara. Pasal 25 ayat (1) UU No. 3/2002 tentang Pertahanan Negara menegaskan “Pertahanan negara dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara”. Sementara ayat (2) menyebutkan “Pembiayaan pertahanan negara ditujukan untuk membangun, memelihara, mengembangkan, dan menggunakan Tentara Nasional Indonesia serta komponen pertahanan lainnya”.

       Bidang pertahanan negara merupakan salah satu bidang pemerintahan pusat yang kewenangan pengelolaannya tetap berada di tangan pemerintah pusat sebagaimana yang ditegaskan dalam konstitusi (UUD 1945), UU Pertahanan Negara (Pasal 13 ayat 1), UU TNI dan UU Pemerintahan Daerah. Keterpusatan penyelenggaraan sektor pertahanan negara sejalan dengan pembagian wewenang antara pemerintah pusat dan daerah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 9 dan Pasal 10 UU No. 23/2014 tentang Pemerintah Daerah yang menyebutkan bahwa bidang pertahanan merupakan urusan pemerintahan pusat secara absolut. Terlebih lagi, pemusatan anggaran merupakan mekanisme kontrol terhadap sektor keamanan, tidak hanya untuk mengawasi efektivitas penggunaan anggaran namun juga kontrol terhadap TNI. Akomodasi pembiayaan pertahanan dari APBD dan sumber lainnya jelas berpotensi menimbulkan masalah serius karena kontribusi bantuan anggaran tersebut sulit untuk dikontrol. Selain itu, hal tersebut akan juga memperumit proses pertanggungjawaban sehingga membuka peluang terjadi penyalahgunaan dan penyimpangan.

         Keenam, tidak mengatur mekanisme komplain warga negara. UU PSDN tidak mengatur memuat mekanisme komplain warga negara bila terjadi penggunaan komponen pendukung dan cadangan untuk tujuan yang tidak tepat, dan mekanisme pertanggungjawaban ketika terjadi kasus kekerasan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Komponen Cadangan. Misalnya, apakah bisa seorang warga negara yang menjadi komponen cadangan menolak perintah yang bertentangan dengan HAM? Atau, apakah ada saluran yang memungkinkan warga negara yang tengah menjadi Komponen Cadangan untuk mengajukan protes ketika terjadi penyalahgunaan Komponen Cadangan? Pembentukan mekanisme komplain warga negara merupakan bagian dari mekanisme kontrol warga negara untuk mendorong akuntabilitas negara dan institusiinstitusi di dalamnya, termasuk terhadap aktor dalam penyelenggaraan sektor pertahanan. Berdasarkan catatan di atas,

          Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak agar:
1. Presiden harus menunda rencana Kementerian Pertahanan untuk membentuk Komponen Cadangan. Selain belum urgen untuk dilakukan saat ini, aturan hukumnya (UU PSDN) juga memiliki banyak pasal yang problematik;
2. DPR segera melakukan legislative review terhadap UU PSDN sebelum diimplementasikan;
3. Presiden perlu memprioritaskan penguatan Komponen Utama yakni TNI dalam pembangunan pertahanan negara, seperti peningkatan kesejahteraan prajurit, penguatan profesionalisme, modernsiasi Alutsista, serta payung hukum yang menopangnya.

Jakarta, 11 Maret 2020

 

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan IMPARSIAL, KontraS, ELSAM, SETARA Institute, LBH Pers, HRWG, Institut Demokrasi dan Keamanan Indonesia, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Indonesia Corruption Watch, PBHI, Public Interest Lawyer Network (PILNET). Narahubung: Hussein Ahmad, IMPARSIAL (0812-5966-8926) Ikhsan Yosarie, SETARA Institute , Indonesia Corruption Watch (0878-7861-1344) Jesse A. Halim, HRWG(0819-3217-1618)

Darmawan Subakti, LBH Jakarta (0857-8358-9184)