Rilis Pers
Pengembalian Berkas Penyelidikan Paniai:
Pola Ketidakmauan dan Pengingkaran Negara yang Terus Diulang
Jaringan Advokasi dan Kampanye Kasus Paniai yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Asia Justice and Rights (AJAR), Amnesty Internasional Indonesia, Rumah Honai dan John Gobai menilai pengembalian berkas hasil penyelidikan pro justisia kasus Paniai 2014 adalah pola keberulangan dari ketidakmauan (unwilling) Jaksa Agung untuk segera melakukan penyidikan kasus ini secara efektif dan akuntabel sesuai dengan UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Di mana tugas Jaksa Agung adalah melakukan penyidikan berdasarkan hasil penyelidikan yang telah di lakukan Komnas HAM.
Pengembalian berkas tersebut juga kembali menegaskan bahwa negara sama sekali tidak memberi prioritas untuk penyelesian dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Papua, di antaranya adalah kasus Paniai yang terjadi pada tahun 2014, di masa periode pertama pemerintahan Jokowi.
Pengembalian hasil penyelidikan Paniai kepada Komnas HAM kembali menggunakan alasan repetitif yakni belum tepenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat, baik pada syarat formil maupun materiil. Alasan ini seharusnya tidak muncul, jika sejak awal penyelidikan Jaksa Agung memberikan supervisi atau kordinasi dengan Komnas HAM. Pengembalian berkas ini tidak saja merugikan korban karena undue delay. Lebih jauh, sikap Jaksa Agung ini mengakibatkan impunitas kronis dalam penanananan kasus-kasus pelanggaran HAM berat, di mana korban menjadi pihak yang paling menderita, kepastian hukum terlanggar dan kemungkinan keberulangan peristiwa di masa depan.
Kami menilai bahwa seharusnya proses hukum kasus Paniai jauh lebih mudah karena tidak membutuhkan alasan dan putusan politik. Penyelesaian kasus Paniai bisa langsung melalui Pengadilan HAM sesuai dengan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, tanpa melalui usulan DPR dan keputusan Presiden. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 7-8 Desember 2014 ini setidaknya menewaskan 4 orang anak; Simeon Degei, Pius Youw, Okto Apinus Gobai dan Yulian Yeimo serta melukai 17 orang, akibat dari tindakan pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan oleh aparat gabungan TNI/POLRI, yaitu Timsus 753. Data-data masih jelas, saksi dan bukti masih ada, bahkan ada kesatuan yang jelas menandakan adanya struktur komando yang resmi. Sehingga seharusnya tidak ada lagi alasan bahwa kasus ini masih belum cukup bukti formil dan materiil.
Selain itu, berdasarkan pada UU No. 26 Tahun 2000, Pasal 20 menjelaskan bahwa kewenangan Komnas HAM adalah menemukan bukti permulaan yang cukup bahwa suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat. Bukti permulaan dinilai kurang lengkap apabila hasil penyelidikan tidak memenuhi unsur pelanggaran HAM berat. Nyatanya, pada kasus Paniai telah terjadi pelanggaran terhadap hak – hak anak, hak – hak perempuan, hak atas rasa aman dan hak untuk hidup. Sehingga alasan belum tepenuhinya kelengkapan atau syarat-syarat suatu peristiwa dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan pelanggaran HAM berat tidak dapat diterima.
Presiden harus mengambil sikap dan menggunakan kapasitas politiknya dalam kasus Paniai, karena Presiden memiliki tanggung jawab moril, hukum dan politik atas kasus ini. Mengingat, kasus Paniai terjadi di awal pemerintahan Joko Widodo yang sempat menyatakan untuk menaruh perhatian pada Papua.
Penjelasan di atas menyimpulkan bahwa tindakan bolak-balik berkas merupakan salah satu pola negara untuk terus melakukan pengingkaran, penyangkalan dan pelarian terhadap kasus pelanggaran HAM berat. Untuk itu, kami mendesak;
Jakarta, 21 Maret 2020
Jaringan Advokasi dan Kampanye Kasus Paniai (KontraS, AJAR, Amnesty Internasional Indonesia, John Gobai, Rumah Honai)
Narahubung;
KontraS : 081232758888 (Dimas Bagus Arya)
AJAR : 0818267531 (Dodi Yuniar)
Amnesty Indonesia : 08118889602 (Justitia Avila Veda)
Rumah Honai : 0811486896 (Alves)