Darurat Kesehatan Masyarakat, Bukan Darurat Sipil!!!

Pada tanggal 30 Maret dalam pernyataannya yang tersebar luas Presiden Joko Widodo menyebut Pembatasan Sosial Berskala Luas perlu didampingi adanya kebijakan Darurat Sipil untuk mengatasi Covid-19. Atas pernyataan tersebut kami menyatakan bahwa Darurat Sipil adalah langkah yang salah untuk menangani pandemik Covid-19 yang merupakan masalah kesehatan masyarakat.

Beberapa alasan sebagai berikut:

  1. Darurat sipil hanya diakibatkan keadaan bahaya apabila “1)keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan-kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa; 2) timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apa pun juga; 3) hidup Negara berada dalam keadaan bahaya atau dari keadaan- keadaan khusus ternyata ada atau dikhawatirkan ada gejala- gejala yang dapat membahayakan hidup Negara”. Tidak ada satu pun alasan yang diberikan UU (Prp) 23/1959 terpenuhi. Bencana yang terjadi bukan bencana alam dan hidup Negara tidak dalam keadaan bahaya. Hidup rakyat Indonesialah yang berada dalam bahaya!
  2. Darurat sipil dipimpin penguasa darurat sipil yaitu Presiden dengan dibantu oleh suatu badan yang terdiri dari: “Menteri Pertama, Menteri Keamanan/Pertahanan, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah; Menteri Luar Negeri, Kepala Staf Angkatan Darat, Kepala Staf Angkatan Laut, Kepala Staf Angkatan Udara; Kepala Kepolisian Negara”. Jelas sekali tidak ada pejabat kesehatan masyarakat di dalamnya. Kalaupun pejabat tersebut dilibatkan jelas sekali darurat sipil dibuat bukan untuk ancaman kedaruratan kesehatan masyarakat.
  3. Darurat sipil bersifat represif karena memberi wewenang sangat besar kepada penguasa darurat sipil seperti ditunjukkan pasal-pasal berikut ini:
    ● Pasal 13: mengadakan peraturan-peraturan untuk membatasi pertunjukan-pertunjukan, percetakan, penerbitan, pengumuman, penyampaian, penyimpanan, penyebaran, perdagangan dan penempelan tulisan-tulisan berupa apa pun juga, lukisan-lukisan, klise-klise dan gambar-gambar.
    ● Pasal 14(1): berhak atau dapat-menyuruh atas namanya pejabat-pejabat polisi atau pejabat-pejabat pengusut lainnya atau menggeledah tiap-tiap tempat, sekalipun bertentangan dengan kehendak yang mempunyai atau yang menepatinya, dengan menunjukkan surat perintah umum atau surat perintah istimewa.
    ● Pasal 15(1): dapat menyuruh memeriksa dan menyita semua barang yang diduga atau akan dipakai untuk mengganggu keamanan serta membatasi atau melarang pemakaian barang itu.
    ● Pasal 17 (1): mengetahui semua berita-berita serta percakapan-percakapan yang dipercakapkan kepada kantor telepon atau kantor radio, pun melarang atau memutuskan pengiriman berita-berita atau percakapan-percakapan dengan perantaraan telepon atau radio.
    ● Pasal 20: memeriksa badan dan pakaian tiap-tiap orang yang dicurigai serta menyuruh memeriksanya oleh pejabat-pejabat Polisi atau pejabat-pejabat pengusut lain.

Selain itu, ketika menerapkan darurat sipil, negara terlepas dari kewajiban hukum menjamin hak-hak dasar masyarakat. Berbeda jika pemerintah mengeluarkan penetapan Bencana (yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 24/2007) dan penetapan darurat kesehatan masyarakat, di mana negara terikat kewajiban hukum untuk menjamin ketersediaan sumber daya yang diperlukan.

Penetapan darurat sipil justru membahayakan keamanan dan kesehatan warga. Dalam beberapa kasus, sudah terjadi penangkapan penyebaran hoaks. Tindakan ini justru menempatkan mereka yang ditangkap dalam kumpulan orang dan tidak menerapkan pembatasan jarak fisik.

  1. Darurat COVID-19 perlu mengedepankan pakar dan praktisi kesehatan masyarakat sebagai tim inti untuk menekan distribusi virus corona yang sudah terlanjur menyebar secara eksponensial di tengah warga, bukan aparat. Para ahli kesehatan masyarakat dan tim medis memiliki kepakaran dalam menangani Covid-19 sesuai dengan prinsip Pencegahan dan Pengendalian Infeksi di masyarakat. Wawasan yang belum tentu dimiliki oleh aparat yang justru menjadi tim terdepan penanganan saat ini. Sejarah menunjukkan bahwa pendekatan represi tidak pernah berhasil menanggulangi persoalan kesehatan publik, dan menjamin keberlanjutan karena penyebaran virus tetap dapat terjadi di dalam rumah selama 24 jam dan tidak mungkin aparat keamanan sanggup mengawasi 200 juta lebih manusia selama 24 jam. Pendekatan Darurat Sipil hanya menandakan bahwa pemerintah panik dan frustrasi dengan kegagalannya sendiri menekan laju pandemik Covid-19.

Oleh karena itu berdasarkan hal-hal di atas kami mendesak:
I. Hentikan rencana darurat sipil
II. Segera bentuk PP yang mengatur tentang Tata Cara Penentuan dan Pencabutan Status Darurat Kesehatan Masyarakat, serta Penanggulangan Kedaruratan Masyarakat. Lalu segera tetapkan status Darurat Kesehatan Masyarakat dan berlakukan karantina wilayah.
III. Jadikan ahli kesehatan masyarakat sebagai pucuk pimpinan penanganan Covid-19 dengan pelibatan seluas-luasnya sektor terkait dan juga daerah.

Koalisi Masyarakat Sipil digerakkan oleh:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Asia Justice and Rights (AJAR)
AMAR
Amnesty International Indonesia
ICW
Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK)
Kios Ojo Keos
Koalisi Warga Lapor COVID-19
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat
Lokataru
Migrant Care
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
Transparency International Indonesia (TII)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)