Penanganan Penyebaran COVID-19 di Tempat-Tempat Penahanan di Indonesia

  1. Gambaran Umum

Ditengah penyebaran virus COVID-19 yang menjadi pandemi dalam skala global, menyebabkan beragam kerugian dan kehilangan atas kehidupan sehari-hari, ada pula beberapa komunitas yang permasalahannya tidak hanya datang dari kelompok masyarakat miskin, namun juga penghuni dalam tempat-tempat penahanan seperti Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan, dan tahanan Kepolisian yang kerap kali dilupakan oleh pemerintah maupun masyarakat. Padahal warga binaan maupun tahanan pun menjadi korban dari dampak penyebaran virus ini, ditambah dengan situasi umum yang mereka hadapi bahwa mereka memiliki ruang gerak dan akses informasi yang sangat terbatas.

Hingga tahun 2019, Indonesia memiliki 473 lembaga Pemasyrakatan (Lapas). Meskipun beberapa Lapas sudah ada sejak masa colonial Belanda, sejumlah Lapas telah dibangun baru-baru ini atau direnovasi. Banyak laporan yang telah memperlihatkan bahwa kondisi penahanan di Indonesia merupakan kehidupan yang keras dan kadang bahkan sampai mengancam keselamatan, dan juga ada problem serius soal jumlah kepadatan narapidana yang sudah tidak berimbang lagi dengan kapasitas Lapas. Meskipun Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan (DitjenPAS) telah mengakui kebutuhan untuk mengatasi kepadatan Lapas dan rencana reformasi regulasi dan legislatif telah dikembangkan untuk mengurangi jumlah tahanan, statistik nasional menunjukkan bahwa jumlah narapidana telah meningkat secara stabil dan signifikan: dari tahun 2013 hingga 2019, populasi Lapas meningkat dari 160.064 menjadi 261.294. Selama periode yang sama, kapasitas hunian hanya meningkat sedikit (+16.000) dibandingkan dengan peningkatan jumlah narapidana (+100.000), yang mengakibatkan peningkatan tajam dalam tingkat hunian Lapas nasional, dari 143 persen pada 2013 menjadi 205 persen pada bulan Maret 2019.

Tingkat hunian lapas bervariasi dari satu lapas ke lapas lainnya: menurut informasi yang dikumpulkan selama misi pencarian fakta dan disediakan oleh petugas lapas, tingkat hunian lapas yang dikunjungi pada saat misi pencarian fakta bervariasi antara 15 hingga 512 persen. Sebaliknya, penjara Batu dengan tingkat keamanan “High Risk” di Nusakambangan one man-one cell orang-satu” yang baru saja diberlakukan pada saat itu dan menampung hanya 106 tahanan, termasuk dua tahanan terpidana mati: tingkat huniannya adalah 15 persen. Hal yang sama berlaku untuk lapas dengan tingkat keamanan “Super Maximum Security”, yakni Lapas Narkotika yang didedikasikan untuk orang-orang yang dihukum karena kejahatan terkait narkotika. Di lapas ini, yang menampung 17 tahanan hukuman mati, memiliki kapasitas resmi 382 orang tetapi hanya menahan 250 tahanan, sehingga merepresentasikan tingkat hunian sebesar 65 persen. Beberapa minggu sebelum kunjungan tim peneliti pada misi ini, sekitar 100 tahanan telah dipindahkan dari lapas ini ke lapas dengan tingkat “Medium Security” sesuai dengan sistem keamanan yang baru.[1]

Tidak hanya terkait dengan situasi overcrowding di lapas, tetapi juga terkait dengan kebersihan yang buruk di fasilitas lapas yang menjadi masalah paling penting untuk disoroti dalam menangani wabah penyakit menular di lapas dan fasilitas penahanan lainnya. Menurut misi pencarian fakta yang dilakukan oleh KontraS berkolaborasi dengan ECPM pada tahun 2019, kami menemukan bahwa kebersihan di penjara sangat buruk dan karena situasi overcrowded berada di bawah standar jika kita merujuk pada Aturan Nelson Mandela.

Mengenai fasilitas kesehatan dan ahli medis di Lembaga Pemasyarakatan tidak selalu disediakan. Beberapa lapas tidak memiliki dokter permanen yang tinggal 24/7 untuk memantau kesehatan para tahanan. Anggaran perawatan kesehatan adalah 10.000.000 Rupiah per tahun per lapas yang setara dengan 27.400 per hari untuk seluruh populasi dalam satu lapas. Beberapa penjara bahkan tidak memiliki klinik dan akses untuk obat-obatan sulit didapatkan. Jadi, jika penyakit menular seperti TBC menyebar di antara para tahanan, sangat sulit untuk menangani situasi seperti itu jika kita merefleksikan fasilitas medis di pusat-pusat penahanan.

Robert Greifinger seorang ahli kesehatan yang menghabiskan 25 tahun bekerja pada isu perawatan kesehatan di dalam lapas dan rutan, dan dia mengatakan bahwa “social distancing” yang kita semua dengar sekarang tidak dapat dilakukan begitu saja di tempat-tempat penahanan. Tingkat penyakit fisik dan cedera di antara tahanan sangat tinggi dibandingkan dengan mereka yang berada di luar penjara. Pertimbangkan terkait penyakit menular: hampir sepertiga dari tahanan mengidap hepatitis C, yang jumlahnya di bawah satu persen di masyarakat. Melihat fungsi fisik dan kognitif, penelitian di Kanada menemukan setengah dari tahanan pria memiliki cedera otak traumatis. Para tahanan tidak memiliki otonomi atas perawatan kesehatan, kebersihan atau pergerakan mereka. Dan sekarang mereka menghadapi pandemi global.[2]

  1. Konteks Penanganan COVID-19 di Tempat-tempat Penahanan
    • Instruksi untuk mencegah dan menagani kasus COVID-19 di tempat-tempat penahanan

Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyiapkan beberapa langkah pencegahan untuk penyebaran COVID-19 di pusat-pusat penahanan. Langkah ini ditulis dalam Surat Instruksi Direktur Jenderal Lembaga Pemasyarakatan No. PAS-08.OT.02.02 2020 tentang pencegahan, penanganan, pengendalian dan pemulihan COVID-19 kepada Unit Pelaksana Teknis Lembaga Pemasyarakatan. Menurut instruksi itu, setiap pusat penahanan akan dibagi menjadi dua zona (kuning dan merah).

Zona kuning diperuntukkan bagi warga binaan yang tidak memiliki kasus COVID-19, kemudian di zona merah merupakan zona jika telah terdapat warga binaan yang terinfeksi COVID-19. Pada hari Jumat, 20 Maret 2020, terdapat penyemprotan desinfektan di beberapa Lembaga Pemasyarakatan, termasuk Lapas Cipinang di Jakarta Timur, yang merupakan zona merah COVID-19. Ada beberapa instruksi yang dikeluarkan oleh PLT Direktur Lembaga Pemasyarakatan, yaitu untuk mencegah dan tes kesehatan di zona kuning dan langkah-langkah pemulihan untuk zona merah. Ada juga beberapa sosialisasi yang dilakukan oleh administrasi lapas untuk meminimalkan dampak virus corona di lingkungan lapas, dan menyediakan fasilitas sanitasi seperti mangkuk cuci tangan dan penyemprotan desinfektan secara teratur. Administrasi lapas juga berkoordinasi dengan pemerintah setempat untuk menekan kurva infeksi virus di lapas dan terkait penanganan virus corona.

Beberapa organisasi non-pemerintah seperti Palang Merah Indonesia (PMI) juga berkontribusi untuk mendukung pencegahan penyebaran virus di penjara. Palang Merah Indonesia meluncurkan sekitar 2.000 tim PMI untuk mensterilkan Lapas di seluruh Indonesia. Ketua Palang Merah Indonesia, Jusuf Kalla menyatakan bahwa Lapas adalah pusat keramaian yang merupakan tempat paling potensial untuk penyebaran virus. Oleh karena itu, Palang Merah Indonesia bekerja sama dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mencegah wabah tersebut.

Di sisi lain, petugas lapas menyarankan untuk menjaga kondisi kesehatan dan kebersihan warga binaan di dalam lapas. Meskipun demikian, akses untuk pembersih tangan dan masker sangat langka saat ini dan penggunaan alkohol dilarang untuk diakses oleh para tahanan. Bahkan, untuk mengakses serbet bersih setelah mencuci tangan tidak disediakan. Setiap penjara di Indonesia memiliki kebijakan sendiri untuk menjaga kondisi kesehatan dan pencegahan wabah. Walaupun ada surat yang diedarkan oleh Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, langkah-langkah yang jelas dan langkah-langkah terstruktur tidak diberikan dengan jelas, sehingga masing-masing lapas memiliki cara mereka sendiri dalam menangani situasi ini.

Seperti yang kita ketahui, menurut laporan pencarian fakta yang bekerja sama dengan ECPM tahun lalu, kami menemukan bahwa situasi fasilitas perawatan kesehatan adalah hal yang paling rentan. Di beberapa lapas di Indonesia, terutama lapas dengan kapasitas rendah dan bahkan di Nusakambangan, yang dimana pada pulau itu terdapat beberapa penjara, tim medis dan fasilitas kesehatan sangat mnim.[3] Jika seseorang menderita penyakit serius, mereka memerlukan surat khusus dari rumah sakit atau dari Kepala Lapas untuk membawa para tahanan ke rumah sakit. Sampai sekarang, tidak ada langkah-langkah khusus seperti pemeriksaan termometer dan kemungkinan untuk meluncurkan tim medis ke penjara atau fasilitas penahanan lainnya untuk memeriksa kondisi kesehatan, termasuk rapid test untuk para warga binaan dan petugas lapas.

Sehubungan terkait dengan dunia luar, batasan untuk kontak dengan dunia luar juga diterapkan oleh administrasi lapas kepada para tahanan. Pembatasan dilakukan sementara untuk kegiatan pengembangan warga binaan yang melibatkan pihak ketiga dari luar lapas. Administrasi lapas juga menutup akses untuk kunjungan keluarga dan menggantinya dengan fasilitas videocall yang disediakan oleh administrasi penjara. Mekanisme ini berlaku dari 17 Maret hingga 1 April 2020 dengan kemungkinan perpanjangan. Termasuk di Lapas Nusakamabangan, administrasi penjara menutup akses untuk kunjungan keluarga dan melakukan beberapa pemeriksaan untuk mencegah wabah.

  • Penanganan Warga Binaan yang Terinfeksi COVID-19

Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyiapkan beberapa daerah yang menjadi ruang isolasi bagi para tahanan yang terinfeksi virus corona. Bagi para tahanan yang berstatus “Orang-Orang di Bawah Pengawasan” (ODP) harus tinggal di dalam sel isolasi. Tempat-tempat yang menjadi lokasi isolasi seperti Rumah Sakit Umum Pengayoman Cipinang, Lapas Kelas IIA Cikarang, Lapas Remaja Kelas IIA Tangerang, Lapas Kelas IIA Serang dan Lapas Wanita Kelas IIB Manado. Meskipun demikian, jumlah daerah isolasi masih meningkat. Jika beberapa administrasi penjara ingin menyediakan layanan untuk menjadi tempat isolasi, mereka dapat meminta kepada Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan. Tindakan lain yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal dengan memerintahkan semua pusat penahanan untuk memiliki blok khusus untuk isolasi independen bagi para tahanan yang diduga terinfeksi oleh COVID-19.[4]

Namun, kami juga menggarisbawahi bahwa meskipun ada blok atau sel khusus untuk isolasi, tetapi karena fasilitas medis dan ahli medis tidak cukup memadai dengan jumlah tahanan, maka Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan harus berkolaborasi dengan rumah sakit setempat yang menjadi rujukan dalam penanganan virus COVID-19. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan juga harus meminta kepada pemerintah untuk memberikan rapid test untuk administrasi lapas, dan tahanan serta menyediakan fasilitas kesehatan di daerah isolasi. Langkah-langkah tersebut harus sesuai dengan Aturan Nelson Mandela dalam Aturan 24 dan Aturan 101 (1) yang menyatakan:

  1. “Penyediaan perawatan kesehatan bagi tahanan adalah tanggung jawab Negara. Tahanan harus menikmati standar perawatan kesehatan yang sama seperti yang tersedia di masyarakat, dan harus memiliki akses ke layanan perawatan kesehatan yang diperlukan tanpa biaya tanpa diskriminasi berdasarkan status hukum mereka.
  2. Layanan perawatan kesehatan harus diatur dalam hubungan yang erat dengan administrasi kesehatan masyarakat umum dan dengan cara yang menjamin kelangsungan perawatan dan perawatan, termasuk untuk HIV, tuberkulosis dan penyakit menular lainnya, serta untuk ketergantungan obat.”

 “Tindakan pencegahan yang ditetapkan untuk melindungi keselamatan dan kesehatan pekerja lepas harus diperhatikan dengan di Lembaga pemasyarakatan.”[5]

  1. Langkah-Langkah Alternatif

Karena situasi overcrowded, kurangnya fasilitas medis dan ahli medis, kasus COVID-19 di lapas harus dipikirkan secara berbeda untuk segera mengubah pendekatan penanganan untuk mencapai langkah-langkah cepat dan efektif sehingga dapat mencegah penyebaran pada tempat-tempat penahanan. Dimana berarti diperlukan perubahan pada sistem peradilan pidana yang sudah lama tertunda. Alih-alih melakukan karantina untuk mengatasi ancaman kekacauan dan kematian di penjara, pemerintah dan Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan harus membuat keputusan etis untuk mengurangi populasi yang di tempat-tempat penahanan.

Kepolisian Republik Indonesia (POLRI) mengeluarkan Instruksi Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Maklumat Kapolri) Nomor Mak/2/III/2020 tentang kewajiban terhadap Kebijakan Pemerintah dalam Penanganan Wabah Virus Corona (COVID-19) yang mengatur terkait pertemuan publik. Peraturan ini dibuat oleh polisi untuk mempercepat instruksi oleh pemerintah untuk mencegah dan melarang masyarakat untuk melakukan pertemuan publik dengan sanksi 4,5 bulan sampai 7 bulan penjara sesuai dengan Pasal 212, 216 dan 218 KUHP tentang pertemuan publik. Peraturan ini sebenarnya bisa menjadi bumerang jika polisi benar-benar melakukan operasi dan menerapkan peraturan tersebut kepada masyarakat, yang dapat berdampak pada situasi kepadatan di dalam tempat-tempat penahanan menjadi lebih buruk. Kegiatan yang dilarang seperti seminar, lokakarya, pernikahan, konser, bazaar, festival, pasar malam, pameran, demonstrasi, pawai dan karnaval.[6]

Di sisi lain, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, POLRI, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung harus berkolaborasi bersama untuk memiliki sinkronisasi agenda dalam mengimplementasikan pencegahan kasus COVID-19 di pusat-pusat penahanan. Menurut Surat Edaran oleh Sekretaris Mahkamah Agung (SE SEKMA) No. 1/2020 untuk mencegah penyebaran COVID-19 di wilayah Mahkamah Agung dan lembaga-lembaga di bawah Mahkamah Agung yang mengatur persidangan kasus pidana, pengadilan militer dan hukum adat dilakukan seperti biasa yang bisa menjadi ruang potensial dalam penyebaran COVID-19.

Satu kasus yang kami temukan berdasarkan wawancara kami dengan beberapa warga binaan menyatakan bahwa beberapa warga binaan yang terinfeksi COVID-19 maupun PDP dikarenakan mereka baru saja kembali dari proses persidangan di luar Lapas. Oleh karena itu, kami berpikir bahwa Mahkamah Agung harus menunda atau menyediakan metodologi persidangan lain untuk mencegah wabah, salah satunya seperti persidangan online.

Anggota Komisi III DPR RI Supriansa meminta Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk mengurangi penyebaran Corona (COVID-19) di Lapas dan tempat penahanan. Dia menyarankan agar tahanan kasus ringan dibebaskan. Selain pembebasan tahanan, Supriansa menyarankan bahwa tahanan dengan perilaku baik dapat dikirim ke rumah keluarganya dan akan dikembalikan ke sel jika situasinya membaik. Menurut dia, usulan itu diajukan terkait pencegahan penyebaran virus corona mengingat adanya isu overcapacity di Lapas. Langkah ini bisa menjadi salah satu alternatif dalam mengedepankan pengurangan jumlah tahanan dan menerapkan physical distancing di Lapas dan tempat penahanan.

  1. Rekomendasi

Kami ingin merekomendasikan pemerintah Indonesia, melalui Direktorat Jenderal Lembaga Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, POLRI, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung untuk:

 

  1. Melindungi para tahanan/warga binaan di Lembaga Pemasyarakatan, Rumah Tahanan dan tahanan Kepolisian sehubungan dengan pemenuhan hak atas kesehatan para tahanan dan warga binaan;
  2. Mendesak Mahkamah Agung untuk mengeluarkan kebijakan tentang penundaan proses persidangan atau melakukan tindakan alternatif yang tidak memerlukan kehadiran fisik selama persidangan bagi mereka yang masih menjalani proses sidang pemeriksaan;
  3. Mendesak POLRI, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung untuk meninjau kembali penahanan saat ini untuk mengurangi kepadatan dalam penahanan dan Lapas dan mendesak Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia melalui DitjenPAS untuk meninjau kebijakan tentang penerapan remisi, pembebasan bersyarat (PB) , cuti pra-bebas (CMB), cuti bersyarat (CB) dengan memprioritaskan tahanan dengan hukuman ringan atau kejahatan biasa, termasuk pengguna narkotika;
  4. Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan Kejaksaan Agung perlu membuat perjanjian bersama mengenai penundaan persidangan dengan implikasi dari masa penahanan. Peraturan bersama terkait dengan penangguhan periode penahanan untuk tahanan yang waktunya sudah terlambat.

 

[1] Lihat: KontraS dan ECPM. Laporan Misi Pencarian Fakta: Tidak Manusiawi: Kondisi Lembaga Pemasyarakatan dan Terpidana Mati di Indonesia. 2019. Sumber dapat diakses pada: http://www.ecpm.org/en/dehumanized-ecpm-publishes-a-new-fact-finding-mission-on-indonesian-death-row/

[2] The Conversation. Why Some Canadian Prisoners Should Be Released During Coronavirus Pandemic. 18 Maret 2020. Sumber dapat diakses pada: https://theconversation.com/why-some-canadian-prisoners-should-be-released-during-the-coronavirus-pandemic-133661

[3] Lihat: KontraS dan ECPM. Laporan Misi Pencarian Fakta: Tidak Manusiawi: Kondisi Lembaga Pemasyarakatan dan Terpidana Mati di Indonesia. 2019. Sumber dapat diakses pada: http://www.ecpm.org/en/dehumanized-ecpm-publishes-a-new-fact-finding-mission-on-indonesian-death-row/

[4] Lihat: Berita Satu. DitjenPAS Siapkan Blok Khusus untuk ODP, PDP, Suspect Virus Corona. 20 Maret 2020. Sumber dapat diakses pada: https://www.beritasatu.com/nasional/611211/nasional/611211-ditjenpas-siapkan-blok-khusus-untuk-warga-binaan-odp-pdp-suspect-virus-corona

[5] Peraturan Nelson Mandela (Terjemahan Tidak Resmi). Dalam resolusi A/RES/70/175, Majelis Umum PBB memutuskan untuk memperluas ruang lingkup Hari Internasional Nelson Mandela, yang dIperingati setiap tahun pada tanggal 18 Juli, untuk digunakan juga dalam mempromosikan kondisi penjara yang manusiawi; untuk meningkatkan kesadaran tentang tahanan yang menjadi bagian masyarakat yang berkelanjutan; untuk menghargai pekerjaan staf penjara sebagai layanan sosial yang sangat penting. Sumber dapat diakses pada: https://www.unodc.org/documents/justice-and-prison-reform/Nelson_Mandela_Rules-E-ebook.pdf

[6] Lihat: BBC Indonesia. Virus Corona: Hadiri resepsi pernikahan hingga pergi ke pasar malam diancam tujuh tahun penjara, bagaimana penerapannya?. 23 Maret 2020. Sumber dapat diakses pada: https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-52005566