Gugatan Warga Beutong Ateuh Banggalang Dikabulkan Mahakamah Agung, Bukti Pemerintah Serampangan Memberikan Izin Pertambangan

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengapresiasi putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan kasasi warga Beutong Ateuh Banggalang bersama dengan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Aceh, terkait pembatalan Surat Keputusan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor: 66/I/IUP/PMA/2017 tentang persetujuan penyesuaian dan peningkatan tahap izin usaha pertambangan eksplorasi menjadi izin usaha pertambangan operasi produksi mineral logam dalam rangka penanaman modal asing untuk komoditas emas kepada PT. Emas Mineral Murni dengan luas areal 10.000 hektar.

Melalui Putusan Mahkamah Agung dengan nomor register perkara: 91 K/TUN/LH/2020, MA memerintahkan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal untuk segera membatalkan dan mencabut surat keputusan tersebut. KontraS menilai putusan MA tersebut merupakan putusan yang cermat dan tepat. Sebab, terbitnya izin usaha operasi produksi dari BKPM untuk PT.EMM sudah menabrak berbagai peraturan perundang-undangan sejak awal.

Terhadap pemberian izin pertambangan  dan Putusan MA kami berpendapat; 

Pertama, IUP eksplorasi seharusnya diberikan oleh Pemerintah Provinsi bukan Pemerintah Kabupaten. Oleh karenanya pemberian IUP eksplorasi tidak sesuai dengan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 4/2009 maka keabsahan BKPM dalam menerbitkan IUP Operasi Produksi kepada PT.EMM tidak sah secara hukum.

Kedua, penerbitan IUP Operasi Produksi di wilayah Aceh merupakan kewenangan Pemerintah Aceh. Hal itu sebagaimana diatur dalam Pasal 165 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Ketiga, setelah adanya Putusan MA tersebut, pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah untuk seharusnya tidak lagi memberikan izin pertambangan di wilayah tersebut. Selain adanya persoalan mengenai izin, eksplorasi dan produksi pertambangan tersebut dapat memantik konflik yang berkepanjangan, mengingat di areal pertambangan terdapat 11 (sebelas) warisan budaya/sejarah yang dianggap sakral oleh warga setempat. Tempat warisan itu berada di Gunong Lhee Sagoe, adapun warisan sejarahnya ialah Kuburan Tgk. Beutong (Poe Nanggroe), Kuburan Tgk. Kaki Alue, Kuburan Tgk. Alue Panah, Kubruan Tgk. Alue Ilee, Kuburan Tgk. Alue Baro, Kuburan Tgk. Trieng Beutong, Kuburan Tgk. Di Tungkop, Kubruan Tgk. Pakeh, Kuburan Tgk. Bantaqiah, Kuburan Murid Tgk. Bantaqiah (KM 7), dan Tapak Tilas Cut Nyak Dhien.

“Banyak kuburan para syuhada di sini. Jadi tak boleh PT EMM itu buka tambang emas di sini,” kata Tgk Diwa. Ia merupakan salah satu tokoh di Beutong Ateuh yang menolak PT.EMM lantaran bila perusahaan tersebut beroperasi  dapat mengancam kuburan-kuburan para syuhada

Merujuk pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya,  situs-situs tersebut dapat diklasifikasikan sebagai cagar budaya sebab memilki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama dan/atau kebudayaan. Sehingga Pemerintah wajib mempertahankan dan melindungi cagar budaya tersebut.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pemerintah dalam menjalankan kewenangannya harus memerhatikan asas-asas umum pemerintahan yang baik. Tetapi terdapat dua asas yang tidak diperhatikan oleh pemerintah, yaitu asas kecermatan, dan asas kepentingan umum. Pertama, pemerintah tidak cermat karena keputusan tidak didasarkan pada fakta, bahwa di lokasi pertambangan terdapat 11 cagar budaya yang harus dilindungi. Kedua, pemerintah tidak mengedepankan asas kepentingan umum sebab orang-orang yang terdampak tidak sepakat adanya PT.EMM. 

Keempat, hal yang seharusnya juga menjadi pertimbangan untuk menghentikan praktik tambang di wilayah tersebut adalah kasus pelanggaran hak asasi manusia dalam kasus kasus Tengku Bantaqiyah, yang terjadi  pada 23 Juli 1999. Teungku Bantaqiah dituduh menyimpan senjata dan dianggap mendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Atas tuduhan yang tidak berdasar tersebut, aparat kemanan melakukan penembakan yang mengakibatkan 56 (lima puluh enam) orang tewas termasuk Teungku Bantaqiah dan putranya yang bernama Usman Bantaqiah. Lokasi peristiwa itu berada di Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya, Aceh salah satu daerah pertambangan emas PT.EMM. Kasus tersebut hingga sekarang belum diselesaikan oleh negara sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Dengan terancamnya makam yang dianggap sakral oleh masyarakat setempat dan belum diselesaikan kasus pelanggaran hak asasi manusia di wilayah tersebut, akan berdampak  pada naiknya ketegangan antara masyarakat Aceh dengan pemerintah. Bila diteruskan dan dibiarkan maka tinggal menunggu waktu akan dapat terjadi konflik yang tidak berkesudahan. Sementara itu, penambangan tidak memberikan manfaat bagi warga setempat

Berdasarkan  uraian dan penjelasan di atas, KontraS mendesak:

  1. Presiden Republik Indonesia Cq. Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) harus patuh terhadap Putusan Mahkamah Agung dengan nomor register perkara: 91 K/TUN/LH/2020 dan segera mencabut Keputusan BKPM Nomor 66/1/IUP/PMA/2017 tentang Persetujuan Penyesuaian dan Peningkatan Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Menjadi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi Mineral Logam Dalam Rangka Penanaman Modal Asing Untuk Komoditas Emas Kepada PT.Emas Mineral Murni;

 

  1. PT. Emas Mineral Murni menghentikan segala bentuk kegiatan baik eksplorasi maupun operasi produksi pertambangan emas di daerah Beutong Ateuh Banggalang, Kabupaten Nagan Raya dan Kecamatan Pegasing, Kabupaten Aceh Tengah.

 

Jakarta, 08 Mei 2020

Badan Pekerja KontraS

 

Yati Andriyani

Koordinator

Narahubung: Andi Muhammad Rezaldy (087785553228)