Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme Mengancam HAM di Indonesia

Pemerintah akhirnya menyerahkan Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Selanjutnya, DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah sebagai bagian dari konsultasi pemerintah kepada DPR sebagaimana diatur dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme mengancam kehidupan HAM di Indonesia karena memberikan mandat yang sangat luas dan berlebihan kepada TNI. Apalagi, pengaturan tersebut tidak diikuti mekanisme akuntabilitas militer yang jelas untuk tunduk pada sistem peradilan umum. Dengan tidak adanya keharusan untuk tunduk pada sistem peradilan umum, penanganan tindak pidana terorisme oleh TNI kepada warga negara di dalam negeri melalui fungsi penangkalan, penindakan dan pemulihan (Pasal 2 Rancangan Perpres) tidak hanya berbahaya, tapi juga sama saja memberikan cek kosong bagi militer. Jika terjadi kesalahan dalam operasi yang mengakibatkan terlanggarnya hak-hak warga negara, mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas.

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, pengaturan kewenangan fungsi penangkalan dalam Rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3). Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya”. Dengan Pasal ini TNI mempunyai keleluasaan untuk terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme baik di dalam maupun di luar negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.

Sejatinya, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT (Pasal 43), yang kewewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan pencegahan (Pasal 7 Rancangan Perpres).

Koalisi Masyarakat Sipil menilai, Rancangan Perpres tersebut akan menimbulkan masalah serius bagi kehidupan hukum dan HAM di Indonesia. Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dapat melakukan fungsi penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri. Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum. Sehingga, adalah salah dan keliru jika militer diberi kewenangan penindakan terorisme secara langsung dan mandiri di dalam negeri. Pemberian kewenangan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya (Pasal 9) akan merusak mekanisme criminal justice sistem dan berpotensi menimbulkan terjadinya pelanggaran HAM yang tinggi.

Secara prinsip, tugas militer dalam mengatasi kejahatan terorisme seharusnya ditujukan khusus untuk menghadapi ancaman terorisme di luar negeri, seperti pembajakan kapal/ pesawat Indonesia di luar negeri, operasi pembebasan warga negara Indonesia di luar negeri. Militer tidak perlu memiliki kewenangan penangkalan dan penindakan terorisme di dalam negeri baik secara langsung maupun mandiri sebagaimana diatur dalam perpres ini. Penanganan tindak pidana terorisme di dalam negeri harus tetap diletakkan dalam koridor criminal justice system. Pelibatan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme di dalam negeri sifatnya hanya perbantuan kepada aparat penegak hukum, dilakukan jika kapasitas penegak hukum sudah tidak mampu lagi mengatasi eskalasi teror yang tinggi, dan pelibatan harus melalui keputusan politik negara. Dengan demikian, bentuk operasi pelibatan TNI tidak bisa dilakukan secara mandiri dan langsung sebagaimana dijelaskan dalam Rancangan Perpres, tetapi menjadi bagian dari kendali bawah operasi aparat penegak hukum. Hanya dalam kondisi darurat militer, operasi militer selain perang dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan secara langsung oleh militer dan tidak berada di bawah kendali operasi penegakan hukum.

Dengan adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri (bukan perbantuan) untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, akan menimbulkan tumpang tindih tugas antara penegak hukum dengan militer. Hal ini dapat menimbulkan overlapping tugas antara penegak hukum dan militer dan akan berbahaya bagi kebebasan masyarakat serta menjadi masalah baru buat pemerintah dalam mengatasi masalah kejahatan terorisme yang terjadi.

TNI seharusnya tidak terlibat dalam fungsi-fungsi penangkalan dan pemulihan karena sejatinya TNI merupakan alat pertahanan negara. Fungsi-fungsi tersebut sebaiknya dikerjakan oleh badan-badan lain yang memang memiliki kompetensi, seperti fungsi penangkalan oleh Badan Intelijen Negara atau fungsi pemulihan yang di dalamnya termasuk melakukan kerja-kerja rehabilitasi dan rekonstruksi oleh Kementrian Agama, Kementrian Pendidikan, BNPT dan lembaga-lembaga lainnya.

Koalisi masyarakat sipil menilai, Rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI . Dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara ( Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI). Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR (penjelasan Pasal 5 UU TNI). Sementara di dalam Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. Itu artinya secara hukum Perpres ini nanti akan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yakni UU TNI itu sendiri karena telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 ayat (3) UU TNI.

Persoalan lain dari Rancangan Perpres ini adalah terkait penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14 Rancangan Perpres. Ketentuan ini jelas bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI. Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan), sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru di daerah yang sudah terbebani dengan kebutuhan membangun wilayahnya masing masing

Atas dasar hal tersebut di atas, Koalisi Masyarakat Sipil:

  1. Menolak Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme karena berbahaya kelangsungan penegakan hukum dan HAM di Indonesia;

 

  1. Meminta kepada seluruh fraksi partai politik di DPR untuk menolak Rancangan Peraturan Presiden tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini karena secara substansi memiliki problem serius;
  2. Mendesak Presiden Joko Widodo untuk tidak menandatangani Rancangan Perpres tersebut karena membahayakan masa depan penegakan HAM di Indonesia;
  3. Segera menyelesaikan RPP turunan UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme agar skema penanganan tindak pidana terorisme menjadi jelas, termasuk penyelesaian RAN Pencegahan Ekstrimisme yang saat ini terhenti. Dengan begitu, Pemerintah punya acuan kebijakan dan tidak tambal sulam sebagaimana di dalam Rancangan Perpres ini.

 

 

Jakarta, 9 Mei 2020

Koalisi Masyarakat Sipil

Kontras, Imparsial, Elsam, PBHI, YLBHI, HRWG, Amnesty International Indonesia, ICW, Setara Institute, LBH Pers, LBH Masyarakat, Perludem, WALHI, ICJR, INFID, Pusat Studi Konstitusi (PUSAKO) Universitas Andalas, Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PUSHAM) Universitas Negeri Medan, Pusat Pengembangan Hak Asasi Manusia dan Demokrasi (PPHD) Universitas Brawijaya, Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, IDeKa Indonesia, LBH Surabaya Pos Malang, Public Virtue Research Institute, Aliansi Masyarakat Sipil Anti Penyiksaan (SIKAP) Medan, PILNET Indonesia.

 

Narahubung:

  1. Wahyudi Djafar (Elsam) : +62 813-8208-3993
  2. Feri Kusuma (KontraS) : +62 812-9801-9266
  3. Julius Ibrani (PBHI) : +62 813-1496-9726
  4. Ade Wahyudin (LBH Pers) : +62 857-7323-8190

5. Husein Ahmad (IMPARSIAL) : +62 812-5966-8926