Menguggat Jaksa Agung RI Kasus Semanggi I dan Semanggi II adalah Pelanggaran HAM berat

Keluarga korban Semanggi I dan II, Maria Katarina Sumarsih (Ibu alm. Bernardinus Realino Norma Irmawan) dan Ho Kim Ngo (Ibu alm. Yap Yun Hap) yang diwakili oleh Koalisi Untuk Keadilan Semanggi I dan II sebagai kuasa hukum akan melayangkan gugatan terhadap Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin ke Pengadilan Tata Usaha Negeri (TUN) Jakarta.

Gugatan ini dilayangkan setelah Jaksa Agung mengeluarkan pernyataan pada tanggal 16 Januari 2020 lalu di Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI, bahwa “…Peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang sudah ada hasil rapat paripurna DPR RI yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan pelanggaran HAM berat, seharusnya Komnas HAM tidak menindaklanjuti karena tidak ada alasan untuk dibentuknya Pengadilan ad hoc berdasarkan hasil rekomendasi DPR RI kepada Presiden untuk menerbitkan Keppres pembentukan Pengadilan HAM ad hoc sesuai Pasal 43 ayat (2) UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM…”.[1]

Pernyataan tersebut merupakan bagian dari Tindakan Pemerintahan yang masuk dalam konstruksi Produk Tata Usaha Negara, sehingga upaya Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II ini telah sesuai dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (selanjutnya disebut dengan UU Peratun) dengan Penjelasan Umum alinea ke-5 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan jo. Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad).

Gugatan ini dilayangkan ke pengadilan TUN karena saat berbicara di rapat Komisi III DPR RI tersebut Jaksa Agung bertidak sebagai pejabat publik yang menghalangi kepentingan keluarga korban untuk mendapatkan keadilan atas meninggalnya para korban Peristiwa Semanggi I dan II. Dalam pasal 53 ayat (1) UU Peratun menyatakan: “Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang diperkarakan itu dinyatakan batal atau tidak sah dengan disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”

Pernyataan Jaksa Agung jelas menyalahi proses hukum untuk penyelesaian kasusnya di pengadilan HAM yang sampai saat ini masih tengah berlangsung antara Komnas HAM dan Jaksa Agung. Tindakan sembrono Jaksa Agung juga mengaburkan fakta bahwa peristiwa Semanggi I dan II adalah Pelanggaran HAM Berat. Hal ini menciderai perjuangan keluarga korban dan seluruh masyarakat yang mendukungnya untuk menghadirkan keadilan dan kebenaran peristiwa. Sebagaimana diketahui bahwa perjuangan keluarga korban tidak pernah berhenti sejak 1998. Bahkan, tidak menutup kemungkinan bahwa pernyataan ini dapat mempengaruhi narasi publik mengenai peristiwa Trisakti, Semanggi I dan II dan juga melanggengkan praktek impunitas yang menghambat proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Upaya keluarga korban ini sejalan dengan hak konstitusional warga negara yang tercantum dalam pasal Pasal 27 ayat (1): “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”; Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama terhadap hukum.” Pasal 28G ayat (1): “Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehoratan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”, Pasal 28I ayat (2): “Setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”.

Koalisi memandang bahwa upaya litigasi yang akan ditempuh ini dapat menghadirkan upaya korektif terhadap negara untuk serius dalam penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai bagian dari kewajiban negara untuk melakukan penegakan HAM di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

Jakarta, 12 Mei 2020

Koalisi untuk Keadilan Semanggi I dan II

(KontraS, Amnesty Internasional Indonesia, YLBHI, LBH Jakarta, AJAR)

Narahubung:

Muhammad Isnur

Justitia Avila Veda

Dimas Bagus Arya

[1] Laporan Singkat Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan Jaksa Agung tertanggal 16 Januari 2020, Poin tentang Tindak Lanjut Penanganan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Dapat diakses melalui file:///C:/Users/KontraS/Documents/PANTAS/Semanggi%20I%20dan%20II/Gugatan%20TUN%202020/16.01.2020_Notula%20Rapat%20Kerja%20DPR%20RI%20-%20Kejagung.pdf