Rancangan Perpres tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme Mengganggu Criminal Justice System , Mengancam HAM dan Demokrasi

1. Pemerintah akhirnya menyerahkan draft Peraturan Presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme ke DPR. Selanjutnya DPR akan memberikan pertimbangan kepada pemerintah sebagai bentuk bagian dari konsultasi pemerintah kepada DPR sebagaimana diatur dalam UU Nomor 5 tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, sebelum nantinya akan disahkan atau tidak disahkan oleh Presiden.

2. Kami menilai bahwa hukum dalam masyarakat demokratik, berfungsi untuk memberi, mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan kewenangan-kewenangan negara. Dengan cara menetapkan batasan-batasan yang jelas terhadap kewenangan negara, hukum melindungi hak-hak warga negara dari kemungkinan abuse of power . Dengan berpijak pada hal itu, maka produk kebijakan penanganan teorisme di Indonesia harus dapat menjaga keseimbangan imperatif antara perlindungan terhadap ”liberty of person” dalam suatu titik dengan perlindungan terhadap ”security of person” pada titik lain .

3. Kami menilai pengaturan tentang kewenangan TNI di dalam rancangan peraturan presiden tentang tugas TNI dalam mengatasi Aksi Terorisme terlalu berlebihan sehingga akan mengganggu mekanisme c rimin al ju stic e sist e m , mengancam HAM dan kehidupan demokrasi itu sendiri. Pengaturan kewenangan penangkalan dalam rancangan peraturan presiden sangat luas, yakni dengan menjalankan operasi intelijen, operasi teritorial, operasi informasi dan operasi lainnya (Pasal 3 draft Perppres). Sementara itu, peraturan presiden ini tidak memberi penjelasan lebih rinci terkait dengan “operasi lainnya”. Dengan Pasal ini, TNI dapat terlibat dalam penanganan tindak pidana terorisme secara lebih leluasa di dalam negeri, sehingga berpotensi membahayakan kehidupan HAM di Indonesia.

4. Secara konseptual, istilah penangkalan tidak dikenal dalam UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU tersebut hanya mengenal istilah pencegahan, yakni sebagai tugas pemerintah yang dikoordinasikan oleh BNPT (Pasal 43 UU nomer 5 tahun 2018), yang kewenangannya diberikan kepada BNPT bukan kepada TNI. Berbeda halnya dengan Rancangan Perpres ini, TNI diberi kewenangan untuk dapat melakukan penangkalan.

5. Kami menilai bahwa pemberian kewenangan yang luas kepada TNI dalam mengatasi terorisme tanpa dibarengi dengan kejelasan mekanisme akuntabilitas untuk tunduk dalam sistem peradilan umum tentu membahayakan hak-hak warga. Jika terdapat kesalahan operasi di lapangan yang mengakibatkan hak-hak warga negara terlanggar maka mekanisme pertanggungjawabannya menjadi tidak jelas karena militer masih tunduk dalam yurisdiksi peradilan militer dan belum tunduk dalam yurisdiksi peradilan umum.

6. Kami menilai, rancangan Perpres tersebut akan mengganggu mekanisme criminal justice system dalam penanganan terorisme di Indonesia. Dengan alasan kejahatan terorisme, militer yang bukan merupakan bagian dari aparat penegak hukum dapat melakukan fungsi penangkalan dan penindakan secara langsung dan mandiri dalam mengatasi ancaman kejahatan terorisme di dalam negeri. Hal ini tidak sejalan dengan hakikat dibentuknya militer (raison d’etre) sebagai alat pertahanan negara yang dilatih untuk menghadapi perang, bukan untuk penegakan hukum. Pemberian kewenangan penangkalan dan penindakan tindak pidana terorisme di dalam negeri dengan alasan menghadapi ancaman terorisme kepada presiden, objek vital dan lainnya (Pasal 9 draft Perppres) akan merusak mekanisme criminal justice system .

7. Kami menilai, dengan adanya tugas penangkalan dan penindakan yang bersifat mandiri (bukan perbantuan) untuk mengatasi kejahatan tindak pidana terorisme di dalam negeri, akan menimbulkan tumpang tindih fungsi dan tugas antara militer dengan kelembagaan negara lainnya yakni dengan BNPT, aparat penegak hukum dan lembaga intelijen negara itu sendiri. Hal ini justru akan membuat penanganan terorisme menjadi tidak efektif karena terjadi overlapping fungsi dan tugas antar kelembagaan negara.

8. Kami menilai, penggunaan anggaran daerah dan sumber lain di luar APBN yang dapat digunakan oleh TNI dalam penanganan terorisme sebagaimana diatur dalam Pasal 14
Rancangan Perpres bertentangan dengan Pasal 66 UU TNI. Penggunaan anggaran di luar APBN oleh TNI tidak sejalan dengan fungsi TNI yang bersifat terpusat (tidak didesentralisasikan), sehingga anggaran untuk TNI hanya melalui APBN sebagaimana diatur dalam Pasal 66 UU TNI. Pendanaan di luar ketentuan UU TNI tersebut memiliki problem akuntabilitas, potensial terjadi penyimpangan dan menimbulkan beban anggaran baru bagi pemerintah daerah.

9. Kami menilai, Rancangan Perpres tentang tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme ini bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI. Dalam UU TNI, pelibatan militer dalam operasi militer selain perang yang salah satunya mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan jika sudah ada keputusan politik negara (Pasal 7 ayat 2 dan ayat 3 UU TNI). Yang dimaksud dengan keputusan politik negara adalah keputusan presiden yang dikonsultasikan bersama dengan DPR (penjelasan Pasal 5 UU TNI). Sementara di dalam Rancangan perpres ini, pengerahan TNI dalam mengatasi tindak pidana terorisme dapat dilakukan hanya melalui keputusan presiden tanpa ada pertimbangan DPR yang disyaratkan oleh UU TNI. Itu artinya secara hukum Perpres ini nanti akan bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi yakni UU TNI itu sendiri karena telah menghilangkan mekanisme checks and balances antara Presiden dan DPR.

10. Kami berkesimpulan bahwa pola penanganan terorisme dengan memberikan kewenangan yang berlebihan kepada TNI sebagaimana di maksud dalam draft peraturan presiden tersebut akan membuka ruang dan potensi collateral damage yang tinggi, cenderung represif, stereotyping (stigmatisasi) sehingga menjadi ancaman serius bagi hak asasi manusia dan kehidupan demokrasi di Indonesia.

11. Kami mendesak kepada parlemen agar meminta pemerintah untuk memperbaiki draft peraturan presiden itu secara lebih baik dan lebih benar karena secara substansi memiliki banyak permasalahan. Di sisi lain, Presiden Jokowi perlu hati-hati dalam membuat peraturan presiden tentang pelibatan TNI dalam mengatasi terorisme karena jika hal itu tidak di buat dengan benar maka peraturan presiden itu justru akan menjadi cek kosong bagi militer dalam mengatasi terorisme di Indonesia dan akan memundurkan jalannya reformasi TNI itu sendiri serta kehidupan demokrasi di Indonesia.

Jakarta, 27 Mei 2020

Kami, yang tergabung dalam petisi ini:
1. Prof. Dr. Mohtar Mas’oed (PSKP UGM)
2. Prof. DR Sigit Riyanto SH LLM (FH UGM)
3. Dr. Karlina Supeli (Pengajar STF Driyakara)
4. Usman Hamid (Public Virtue Institute)
5. Nursyahbani Katjasungkana (Pegiat Hukum dan HAM)
6. Wardah Hafidz (Pegiat HAM)
7. Najib Azca, PhD (Pengajar FISIP UGM)
8. Dr. Arifah Rahmawati (PSKP UGM)
9. Dr. Nur Iman Subono (Pengajar UI)
10. Dr. Saiful Mujani (Pengajar FISIP UIN Jakarta)
11. Dr. Zainal Arifin Mochtar (Pengajar FH UGM)
12. Dr. Ismail Hasani (Pengajar UIN jakarta)
13. Dr. Phil Shiskha Prabawaningtyas (Pengajar HI Univ. Paramadina Jakarta)
14. Dr. Muchamad Ali Safa’at (Pengajar FH Brawijaya Malang)
15. Dr. Herlambang P. Wiratman (Pengajar FH Unair Surabaya)
16. Dr. Otto Nur Abdullah (Pengajar Universitas Syiah Kuala Aceh)
17. Dr. Zuly Qodir (FISIP UMY) 18. Dr. Agus Sudibyo (Peneliti media)
19. Dr. Zulfan Taufik (Pengajar IAIN Bukittinggi)
20. Airlangga Pribadi, PhD (Pengajar Unair Surabaya)
21. Laode M Syarif PhD (Kemitraan/ Pengajar FH Universitas Hasanudin)
22. Burhanuddin Muhtadi, PhD (FISIP UIN Jakarta)
23. Anton Aliabbas, PhD (IdeKa Indonesia)
24. Agus Wahyudi, PhD (PSP UGM)
25. Randy W. Nandyatama, PhD (FISIPOL UGM)
26. Hakimul Ikhwan, PHD (Fisipol UGM).
27. Ahmad Qisa’i, PhD (Kemitraan)
28. Achmad Munjid, PhD (FIB UGM)
29. Diah Kusumaningrim, PhD (Fisipol UGM)
30. Luqman Nul Hakim, PhD ( PSKP UGM)
31. Ray Rangkuti (Pegiat HAM dan demokrasi)
32. Suciwati (Pegiat HAM)
33. Yati Andriyani (KontraS)
34. Adnan Topan Husodo (ICW)
35. Al Araf (Imparsial)
36. Wahyudi Djafar (ELSAM)
37. Erwin Natosmal Oemar (Pil Net)
38. Papang Hidayat (Pegiat HAM)
39. Asfinawati (YLBHI)
40. Feri Malik Kusuma (KontraS)
41. Halili (Pengajar UNY)
42. Moh Zaki Arrobi, MA (FISIPOL UGM)
43. I Wayan Gendo Suardana (Pegiat HAM)
44. Julius Ibrani (PBHI)
45. Emerson Yuntho (Pegiat Antikorupsi)
46. Darmawan Triwibowo (Pegiat HAM)
47. Indria Fernida (Pegiat HAM)
48. Maemanah
49. Wilson Obrigados (Pegiat HAM dan Demokrasi)
50. Raafi Nurkarim Ardikoesoema (Public Virtue Institute)
51. Ahmad Taufiq (Public Virtue Institute)
52. Ikhsan Yosarie (SETARA Institute)
53. Rafendi Djamin (Pegiat HAM)
54. Majda El Muhtaj (PUSHAM UNIMED)
55. Feri Amsari (PUSAKO UNAND)
56. M. Faried Cahyono (PSKP UGM)
57. Ayu Diasti Rahmawati MA (FISIPOL UGM)
58. Yunizar Adiputera MA. (FISIPOL UGM)
59. Zuhairi Misrawi (Direktur Moderate Muslim Society)
60. Muji Kartika Rahayu, SH. M.Fil (Pengajar STHI Jentera)
61. Hendra Try Ardianto (Pengajar Ilmu Pemerintahan UNDIP)
62. Bivitri Susanti (Pengajar STHI Jentera)
63. Damar Juniarto (Safenet)
64. Ade Wahyudin (LBH Pers)
65. Abdul Qodir (LBH GP Ansor)
66. Erasmus Abraham Napitupulu (ICJR)
67. Muhammad Hafidz (HRWG)
68. Ricky Gunawan (Pegiat HAM)
69. Afif Abdul Qoyyim (LBH Masyarakat)
70. Asep Komarudin (Greenpeace Indonesia)
71. Ghufron Mabruri (IMPARSIAL)
72. Ardi Manto Adiputra (IMPARSIAL)
73. Husein Ahmad (IMPARSIAL)
74. Aditya Batara Gunawan, M.Litt (Pengajar Ilmu Politik Universitas Bakrie)
75. Yudha Kurniawan (FEIS Universitas Bakrie)
76. Meidy Wattimena (Pegawai Swasta)
77. Muktiono, M.Phil (Pengajar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang)
78. Muhammad Affandi (LPSHAM Sulawesi Tengah)

Narahubung:
1. Najib Azca (+62813-9291-1314)
2. Usman Hamid (+62811-812-149)
3. Herlambang Perdana W (+62821-4083-7025)
4. Julius Ibrani (+62 813-1496-9726)
5. Al Araf (+62 813-8169-4847
6. Wahyudi Djafar (+62 813-8208-3993)
7. Feri Amsari (+62 853-6327-5513)
8. Malik Fery Kusuma (+62 812-9801-9266)
9. Siskha Prabhawaningtyas (+62 811-1103-426)
10. Erwin Natosmal Oemar (+62 813-9214-7200)

File selengkapnya di sini