TNI-Polri dalam Penanganan COVID-19: Pendekatan Keamanan Tidak Proporsional

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan [KontraS] menilai bahwa pelibatan 340 ribu personel gabungan TNI – Polri yang diterjunkan dalam mengawal new normal tidak proporsional. Rencana penempatan TNI – Polri di pusat keramaian (pusat perbelanjaan, pasar, dan tempat pariwisata) akan mengesankan situasi darurat keamanan, bukan darurat kesehatan. Keputusan melibatkan TNI-Polri menjadi penegasan direalisasikannya wacana darurat sipil yang sebelumnya ditolak masyarakat sipil. Pengerahan TNI dan Polri ini membentuk situasi tidak normal, bukan pengkondisian kenormalan baru.

Kami juga menilai pelibatan TNI-Polri dalam pengkondisian kenormalan baru memiliki sejumlah permasalahan, di antaranya, pertama, penularan virus corona masih belum terkendali. Menurut epidemiolog UI[1], Indonesia masih dalam tahap bagaimana melaksanakan pembatasan sosial berskala besar memberi dampak berarti pada penurunan kasus harian; kedua, dalam new normal (kenormalan baru) versi WHO, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi setiap negara jika ingin menerapkan konsep tersebut. Konsep kenormalan baru akan diterapkan selama vaksin COVID-19 belum ditemukan. Sebelum menerapkan konsep new normal, pemerintah di suatu negara harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan WHO. Ketiga, Sebelum PSBB daerah dilakukan, sejumlah anggota Polres Manggarai Barat yang sedang berpatroli membubarkan sekelompok pemuda dengan melakukan penganiayaan.

Di sisi lain, dalam new normal (kenormalan baru) versi WHO, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi setiap negara jika ingin menerapkan konsep tersebut. Konsep kenormalan baru akan diterapkan selama vaksin COVID-19 belum ditemukan. Sebelum menerapkan konsep new normal, pemerintah di suatu negara harus memenuhi beberapa ketentuan yang telah ditetapkan WHO, salah satunya Negara harus punya kapasitas sistem kesehatan masyarakat yang mumpuni, termasuk mempunyai rumah sakit untuk mengidentifikasi, menguji, mengisolasi, melacak kontak, dan mengkarantina pasien COVID-19. Sedangkan, di Indonesia hal tersebut masih menjadi problem mendasar dalam penanganan COVID-19 sejak kasus pertama ditemukan.

PelibatanTNI-Polri terkesan merupakan jalan pintas untuk memaksakan keinginan pemerintah untuk memulihkan ekonomi, dengan menertibkan masyarakat melalui pendekatan keamanan, tanpa memenuhi keharusan memenuhin syarat-syarat kenormalan yang baru.

Dalam menangani masalah ini, pemerintah, termasuk TNI dan Polri harus tunduk pada otoritas kesehatan.  Pemerintah harus memprioritaskan menyelesaikan masalah kesehatan  agar krisis sosial ekonomi yang lebih buruk lagi dapat  dihindarkan.

Oleh karena itu, kami mendesak

Pertama, Pemerintah menghentikan pendekatan segala bentuk politik-keamanan baru di luar kerangka yang ada, yang justru dapat menganggu prioritaskan kita dalam mengatasi masalah pandemi ini. Termasuk menghentikan pendekatan pengerahan TNI-Polri yang tidak proporsional, pendekatan keamanan sebagai prioritas, dan  tidak menggunakan pendekatan  militeristik dalam penanganan COVID-19.

Kedua, Otoritas sipil harus berperan penuh dalam penanganan COVID-19. Pemerintah harus memperkuat otoritas kesehatan dan fasilitas kesehatan, serta mengedepankan pertimbangan atau masukan dari ahli, epidemiolog, untuk memperbaiki penanganan pandemi.

Ketiga, DPR RI, terutama Komisi I dan Komisi terkait untuk memperkuat fungsi pengawasan terhadap rencana pemerintah tersebut.

[1] https://metro.tempo.co/read/1346772/epidemiolog-sebut-kebijakan-new-normal-masih-terlalu-dini/full&view=ok