Kebijakan keamanan (sekuritusasi) yang masih terus berlansung di Papua telah mengakibatkan terjadinya pelanggaran HAM dan jatuhnya korban kemanusiaan secara persisten. Salah satunya adalah yang dialami oleh para pembela HAM yang mengadvokasi isu Papua, mereka menghadapi berbagai bentuk ancaman mulai dari intimidasi, persekusi, penangkapan sewenang-wenang, penganiayaan (kekerasan fisik), kriminalisasi, bahkan hingga pembunuhan. Koalisi masyarakat sipil untuk perlindungan pembela HAM mencatat, selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo, setidaknya terdapat 72 kasus pelanggaran dan kekerasan terhadap para Pembela HAM Papua dengan jumlah korban pembela HAM mencapai ribuan orang.
Salah satu kasus yang mendapatkan perhatian publik saat ini, baik nasional maupun internasional, adalah kriminalisasi terhadap 7 (tujuh) tahanan politik Papua. Mereka saat ini sedang menghadapi ancaman hukuman 10 hingga 15 tahun penjara di Pengadilan Negeri Balikpapan. Bahkan 5 dari 7 tahanan politik ini masih berstatus sebagai mahasiswa, salah satunya adalah ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Unversitas Cenderawasih, Ferry Kombo. Kami menilai, dalam kasus 7 tahanan politik Papua ini, proses hukum yang mereka terima jauh dari memenuhi unsur keadilan. Tuntutan yang diberikan kepada para Tapol tersebut memperlihatkan adanya kesenjangan perlakuan aparat penegak hukum di Indonesia terhadap para pembela HAM Papua. Kesenjangan ini bahkan mengarah pada bias rasial, dimana ketujuh tahanan politik tersebut seolah pantas menerima hukuman yang lebih berat ketimbang kasus yang serupa lainnya.
Koalisi Pembela HAM, menilai, pelanggaran terhadap hak-hak pembela HAM di Papua berawal dari stigmatisasi sebagai pendukung separatisme/ pemberontak. Akibat dari stigmatisasi tersebut, perlakuan yang merendahkan martabat kemanusiaan dan pelangaran terhadap berbagai ketentuan hukum seolah dapat dibenarkan bagi tahanan politik dan pembela HAM Papua baik yang dilakukan oleh aparat maupun oleh warga sipil. Salah satu praktek kekerasan dan stigmasisasi itu adalah diskriminasi dan rasisme terhadap rakyat Papua. Diskriminasi dan rasisme adalah kejahatan kemanusiaan yang secara idiologis dan konstitusional adalah pelanggaran pada konstitusi dan kejahatan paling mendasar yakni kejahatan kemanusiaan.
Dalam dua tahun belakangan ini, banyak Pembela HAM, masyarakat sipil, dan kelompok mahasiswa di Papua yang melakukan aksi protes secara damai yang ditangkap dan dipenjara atas tuduhan makar. Padahal, hal tersebut merupakan salah satu bentuk ekspresi yang dilindungi oleh konstitusi Indonesia. Perlakuan diskriminatif, atau bahkan bias rasial ini semakin dipertegas oleh pemerintah dengan praktik impunitas yang terus berlangsung terhadap kasus-kasus kekerasan yang menimpa para pembela HAM di Papua.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM mendesak:
Jakarta, 16 Juni 2020
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perlindungan Pembela HAM
(ELSAM, YLBHI, Imparsial, WALHI, YPII, KRuHA, HRW, Kemitraan, LBH Pers, KontraS, LBH Jakarta, ICW, PBHI, HRWG)
Narahubung: