Meningkatkan Inklusivitas dalam Penanganan COVID-19 kepada Kelompok Pengungsi

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan ingin menekankan pentingnya inklusivitas dalam penanganan Covid-19 yang harus pula memperhatikan beberapa kelompok rentan yang ada di Indonesia, salah satunya ialah kelompok pengungsi. Mengingat krisis pengungsi merupakan masalah internasional, menjadi perlu untuk mulai melihat permasalahan ini dari kacamata global. Dari 216 negara yang terdampak Covid-19, 134 negara di antaranya adalah negara yang memiliki banyak populasi pengungsi di dalamnya, termasuk Indonesia. Di kalangan internasional, kaum nasionalis sayap kanan menyalahkan pengungsi sebagai sumber penyebaran virus. Di Italia, pemerintah dianggap tidak mampu melindungi negara karena mengizinkan 276 orang dari Afrika untuk memasuki negara tersebut. Di Perancis, zona Schengen juga dikritik karena terlalu terbuka untuk jalur keluar masuk pengungsi.

 

Sebagai kelompok yang rentan dan terpinggirkan di masyarakat, pengungsi dan pencari suaka beresiko untuk terdampak wabah virus Covid-19 dengan akses yang terbatas untuk air, sistem sanitasi, dan fasilitas kesehatan. Lebih dari 80 persen dari pengungsi di dunia ditempatkan di negara-negara berkembang yang pendapatannya rendah dan menengah. Di negara-negara tersebut, yang sistem kesehatannya juga belum cukup baik, para pengungsi harus menghadapi tantangan besar karena kerentanan mereka terhadap penyebaran virus. Sistem lockdown ataupun pembatasan sosial sudah diberlakukan untuk meminimalisir penyebaran virus, namun hal-hal tersebut tidak dapat dilakukan dengan mudah oleh ratusan ribu pengungsi yang ada di Asia Tenggara. Mereka tidak bisa bekerja dari rumah atau bahkan tidak memiliki tempat tinggal yang layak, tidak ada akses untuk air bersih, makanan, sarana sanitasi, informasi, dan layanan kesehatan. 

 

Data sampai 3 Juni 2020 menyebutkan bahwa total pengungsi di seluruh dunia hampir menyentuh angka 71 juta jiwa, yang artinya tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa pengungsi adalah masalah internasional yang serius. Setiap dua detik, seseorang di mana pun ia berada di dunia, secara paksa dipindahkan, menurut PBB. Populasi pengungsi, yang jumlahnya terus meningkat, sangat rentan terhadap penyebaran penyakit. Padatnya penghuni dan kondisi kamp yang kotor menjadikan saran kesehatan yang bertujuan menghentikan penyebaran Covid-19 – menjaga jarak aman dan sering mencuci tangan – tidak praktis bagi para pengungsi.

 

Pada situasi darurat kesehatan yang menimpa hampir di seluruh negara di dunia, penting pula untuk melihat dan memperhatikan nasib para pengungsi yang mayoritas keberadaan mereka direndahkan dan tidak mendapatkan banyak perhatian dari pemerintah. Para pengungsi di banyak negara menghadapi ketakutan dan ketidakpastian, terlebih dengan adanya xenofobia yang terus meningkat. Di Malaysia, sekitar 400 pengungsi dideportasi pada 12 Mei lalu, padahal mereka pun sedang mencari tempat untuk menetap, mencari pekerjaan, dan mereka harus melindungi diri mereka dari virus yang tersebar. Para pengungsi, terutama yang berasal dari Rohingya, banyak mendapat ujaran kebencian di media sosial dan juga diskriminasi dari pihak imigrasi. Kehidupan para pengungsi di kala pandemi pun menjadi semakin sulit.

 

Selain pengungsi yang berasal dari negara lain. Tidak dapat kita kesampingkan bahwa Indonesia masih memiliki hutang untuk menyelesaikan persoalan internally-displaced persons (IDPs) dan juga para pengungsi yang ada di kamp-kamp pengungsian di beberapa kota di Indonesia yang hingga saat ini membuat mereka tidak mendapatkan hak ekonomi, sosialnya untuk bekerja dan memiliki tempat tinggal yang layak. Sebagai contoh kasus, lebih dari satu dekade komunitas Ahmadiyah yang menetap di transito di Nusa Tenggara Barat dan juga komunitas Syiah di Sampang, Jawa Timur. Di kamp pengungsian yang dikelola International Organization of Migration (IOM) di Makassar, telah ada beberapa pengungsi yang positif terjangkit Covid-19. Mereka tidak bisa mengisolasi diri mereka, di mana dalam satu kamp mereka tinggal secara bersamaan dalam satu bangunan tanpa ada persediaan alat-alat kesehatan untuk menjaga diri mereka layaknya masker, sabun cuci tangan, dan hand sanitizer. Kekhawatiran terus meningkat bahwa ketika virus itu mencapai kamp-kamp yang tersebar di dunia maupun di Indonesia, bencana besar akan timbul. Berdasarkan korespondensi BBC Indonesia kepada seorang pengungsi mengatakan, jika terdapat satu orang saja yang tertular dengan COVID-19 yang notabene sangat cepat menular, maka pengungsi yang tinggal di lingkungan yang sama pun akan terdampak dengan sangat cepat, sehingga diperkirakan 80 persen pengungsi dapat menjadi korban dari virus ini. Namun hingga saat ini, pemerintah Indonesia belum memberikan kejelasan terkait nasib kesehatan mereka selama pandemi.

 

Selain dari aspek kesehatan, kehidupan ekonomi para pengungsi pun juga terancam. Ketiadaan persediaan makanan membuat mereka harus keluar dari kamp untuk membeli makanan dan kebutuhan sehari-hari tanpa memakai masker dan alat pelindung lainnya. Mereka tidak punya hak untuk bekerja, sehingga mereka hanya bisa bergantung pada bantuan dari organisasi-organisasi migran dan pengungsi dan masyarakat sekitar. Bantuan yang didapatkan per orang hanya mencapai sekitar Rp1.281.500 perbulannya, dan nominal tersebut tidak cukup banyak untuk menghidupi kehidupan para pengungsi di kala pandemi di mana banyak harga barang-barang yang meningkat. Sehingga, dengan adanya kesulitan yang mereka alami di kala pandemi, para pengungsi mengalami berbagai macam penyakit fisik dan mental.

 

Menurut UNHCR, sesuai protokol Pemerintah Indonesia, pengungsi memiliki akses terhadap pelayanan yang berhubungan dengan COVID-19, termasuk dalam hal pemeriksaan dan perawatan, yang diberikan Kementerian Kesehatan. Komunitas pengungsi di seluruh negeri telah diinformasikan mengenai protokol tersebut melalui berbagai saluran dan pelaku komunikasi. Namun, hingga saat ini, dikarenakan oleh kendala bahasa, informasi yang saat ini hadir kebanyakan menggunakan Bahasa Indonesia, dan tidak semua pengungsi dapat mengerti Bahasa Indonesia, maka diperlukan adanya akses informasi yang serupa seperti yang dapat diakses oleh masyarakat pada umumnya terhadap pengungsi sesuai dengan kemampuan Bahasa mereka.

 

Untuk itu, koalisi merasa cukup penting adanya edukasi dan juga penyediaan sarana kebersihan di kamp ataupun penampungan pengungsi dalam standar minimum, yakni adanya tempat cuci tangan, hand sanitizer ataupun masker untuk digunakan oleh para pengungsi. Saat ini, sarana tersebut belum tersedia di beberapa tempat penampungan. Sama halnya seperti di tempat-tempat penahanan di Indonesia. Rapid test untuk para pengungsi pun belum tersedia, padahal mereka pun memiliki hak untuk dapat mengetahui paparan virus dan untuk mengetahui mekanisme pencegahan yang dapat mereka lakukan apabila rapid test dapat dilaksanakan kepada kelompok pengungsi. Selain itu, para pengungsi juga harus dipenuhi kebutuhan sehari-harinya supaya mereka tidak perlu untuk keluar rumah dan meminimalisir resiko penyebaran virus yang lebih luas lagi. Koalisi juga ingin menekankan kondisi kesehatan fisik maupun mental para pengungsi adalah hal yang penting untuk diperhatikan. 

 

Maka dari itu, KontraS ingin memberikan beberapa rekomendasi, diantaranya:

 

  1. Mengadakan rapid test secara inklusif termasuk kepada kelompok-kelompok rentan seperti pengungsi;
  2. Pemerintah Indonesia (pemerintah daerah maupun pusat) harus bekerjasama dengan Lembaga yang berkonsentrasi pada isu pengungsi untuk mekanisme pencegahan yang dapat dilakukan di tempat-tempat penampungan pengungsi;
  3. Kerjasama pemerintah, organisasi internasional dengan organisasi lokal dan masyarakat sipil juga perlu ditingkatkan untuk menutup celah keterbatasan pelayanan yang ada;
  4. Pemerintah Indonesia, dengan kementerian yang terkait, harus membantu para pengungsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari agar penyebaran virus bisa diminimalisir.