Ringkasan Eksekutif : Laporan Hari Bhayangkara ke-74 Tahun 2020

Ringkasan Eksekutif

Laporan Hari Bhayangkara ke-74 Tahun 2020

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan

 

Bertepatan dengan Hari Bhayangkara ke-74, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) memberikan catatan mengenai akuntabilitas Kepolisianepublik Indonesia (POLRI) untuk periode Juli 2019 – Juni 2020. Laporan ini disusun berdasarkan pemantauan dan advokasi yang dilakukan oleh KontraS sebagai salah satu bentuk keterlibatan masyarakat sipil dalam mewujudkan reformasi sektor keamanan yang bertujuan untuk menjamin terjadinya demokratisasi dan kontrol sipil terhadap sektor keamanan.

Laporan ini dibuat berdasarkan hasil monitoring media, pendampingan hukum, serta informasi jaringan KontraS yang dianalisis dengan nilai-nilai HAM yang terkandung dalam berbagai instrumen hukum internasional serta konstitusi sebagai pisau analisis. Pada laporan tahun ini, kami memberi perhatian khusus pada fenomena penempatan anggota Polri aktif pada berbagai jabatan sipil di berbagai instansi melalui skema penugasan yang kami nilai tidak memiliki parameter serta batasan yang jelas sehingga memberikan kewenangan yang terlalu besar kepada Polri. Penugasan anggota Polri pada jabatan sipil ini, selain patut dipertanyakan legalitasnya, juga menimbulkan berbagai permasalahan dalam pelaksanaannya ke depan yakni perihal konflik kepentingan dan netralitas dalam menjalankan fungsi-fungsinya baik sebagai polisi maupun pejabat pada organisasi di luar struktur Kepolisian.

Selain itu, kami melihat adanya angka kekerasan yang meningkat setiap tahunnya tidak lepas dari adanya relasi kuasa yang timpang antara Polri dengan masyarakat sipil serta kultur kekerasan yang belum hilang dari tubuh Polri. Salah satu aspek yang paling terdampak relasi kuasa serta kultur kekerasan ini adalah kebebasan sipil. Dengan berbagai macam peristiwa pembubaran paksa, penangkapan sewenang-wenang yang disertai dengan penganiayaan.

Dalam pemantauan kami, Polri tercatat sebagai lembaga yang kerap menjadi aktor dari praktik penyiksaan. Karena ketiadaan pengungkapan kasus, pola penyiksaan kini timbul pada situasi baru, yakni penyiksaan siber.

Selain itu kami juga memberi perhatian khusus terhadap kasus-kasus kekerasan seputar isu Papua, utamanya sensitivitas aparat terhadap berbagai penyampaian pendapat seputar isu Papua. Berawal dari kekerasan saat menangani aksi massa, kekerasan sistemik juga berlanjut sampai ke meja pengadilan dengan rupa tuntutan yang sangat berat yakni 5 sampai 17 tahun penjara. Sangat sulit untuk memisahkan fenomena ini dengan stigma terhadap orang-orang yang mengaspirasikan isu papua sebagai separatis/pemberontak,

Salah satu isu kekerasan yang sangat identik dengan Polri adalah perihal penggunaan senjata api, yang selama satu tahun terakhir menimbulkan 287 korban tewas dan 683 lainnya luka-luka. Meskipun diberi wewenang untuk menggunakan senjata api, kami memandang Polri masih belum secara ketat mengimplementasikan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian yang mengatur mengenai tahapan penggunaan kekuatan dalam setiap situasi.

Idealnya, setiap peristiwa kekerasan di luar hukum yang dilakukan oleh aparat kepolisian ditindaklanjuti selayaknya peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh masyarakat sipil, yakni proses hukum sampai pada tahap persidangan. Namun, Berdasarkan pemantauan kami serta keterangan Mabes Polri melalui permohonan informasi publik, dalam satu tahun terakhir tidak ada kasus kekerasan oleh anggota Kepolisian yang dituntaskan melalui mekanisme pengadilan pidana.

Atas dasar tersebut, dalam laporan kali ini KontraS memberikan rekomendasi kepada Polri agar:

Pertama, mengealuasi penerapan mekanisme akuntabilitas terhadap diskresi aparat kepolisian agar memiliki batasan-batasan yang jelas dan terhadap siapapun yang melanggar batasan tersebut mendapatkan sanksi yang seadil-adilnya

Kedua, aparat Kepolisian wajib memahami implikasi dari besarnya kewenangan yang ia emban terhadap ketimpangan kuasa, baik secara kekuatan maupun hukum, dengan elemen masyarakat lainnya, baik melalui sanksi yang secara konsisten diterapkan pada setiap aparat kepolisian yang menyalahgunakan kekuasaannya

Ketiga, Mencabut Surat Telegram Nomor ST/1100/IV/HUK.7.1.2020 per tanggal 4 April 2020 terkait penanganan kejahatan di ruang siber selama penanganan wabah virus COVID-19.

Keempat, Polri wajib mengedepankan upaya-upaya persuasif dan non-kekerasan setiap kali melakukan kerja-kerja yang berkaitan dengan isu Papua, dengan tetap mengedepankan perlindungan terhadap kebebasan berpendapat masyarakat.

Kelima, Polri dapat melakukan fungsi pemantauan dan pengawasan kepada anggotanya secara ketat dengan mekanisme vetting untuk mempersempit ruang gerak para aktor keamanan yang telah melakukan pelanggaran.

Keenam, Polri wajib melanjutkan amanat reformasi sektor keamanan mengenai pemisahan antara sektor sipil dan sektor keamanan dengan tidak menggunakan celah-celah hukum untuk melakukan penempatan anggota aktifnya di berbagai jabatan sipil.