Pemerintah Indonesia harus Menyudahi Ketidakseriusannya dalam Penanggulangan Wabah Pandemi COVID-19

Jakarta, 19 Juli 2020 – Empat bulan setelah pemerintah resmi mengakui adanya kasus infeksi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19), situasi pandemi di Indonesia belum membaik, bahkan semakin tidak terkendali. Hari ini, angka resmi kasus terkonfirmasi di Indonesia sudah melampaui jumlah kasus di China yang jumlah penduduknya lima kali lipat Indonesia. Sementara negara lain sekawasan telah berhasil menekan dan mengendalikan kurva pandemi dan perlahan bangkit kembali, angka kasus di Indonesia terus melejit, angka kematian terus memecah rekor, dan setiap hari semakin banyak tenaga kesehatan dan dokter di Indonesia yang gugur dalam menjalankan tugas.

Berbagai kebijakan yang diambil sejauh ini terbukti gagal menurunkan laju penyebaran infeksi di masyarakat. Sebaliknya, banyak kebijakan dan pernyataan pejabat pemerintah, termasuk presiden Joko Widodo, justru kontradiktif dan kontraproduktif terhadap upaya pengendalian wabah, menyepelekan bahaya bagi kesehatan masyarakat, menimbulkan kebingungan dan keresahan, dan pada saat yang sama juga rasa aman semu. Penolakan untuk menerapkan karantina wilayah, pelaksanaan pembatasan sosial skala besar yang terlambat, setengah hati dan tidak menyeluruh gagal memberi dampak pengendalian wabah yang diinginkan, padahal telah menimbulkan kerugian ekonomi dan pukulan psikis yang tidak kecil pada masyarakat.

Ada 7 (tujuh) penyebab fundamental mengapa Indonesia gagal mencegah dan menekan laju dan penyebaran penularan COVID-19 sejak ancaman wabah ini pertama mengemuka enam bulan yang lalu, yaitu:

Pertama, absennya kepemimpinan yang memahami keilmuan, memiliki kepekaan krisis, berempati, tanggap dan konsisten dalam membuat dan melaksanakan kebijakan. Sejak awal pandemi sampai hari ini, terlihat jelas bahwa narasi yang didengungkan pemerintah, khususnya pesan-pesan publik yang disampaikan Presiden Joko Widodo, tidak mengutamakan perlindungan kesehatan masyarakat dan tidak menciptakan rasa aman sesuai yang diamanatkan konstitusi. Sebaliknya, narasi yang ada melulu mendahulukan aspek ekonomi dan menjadikan kesehatan sebagai pertimbangan komplementer, bukan yang utama atau mendesak. Narasi ini juga telah menciptakan dikotomi semu antara ekonomi dan kesehatan masyarakat yang turut membuat publik terbelah dan bingung.

Kedua, absennya komunikasi krisis yang benar, serta buruknya tata kelola dan transparansi data, termasuk mengatur informasi Covid-19. Alih-alih menggunakan pendekatan komunikasi risiko yang jujur dan transparan menjelaskan bahaya Covid-19 agar masyarakat paham dan membangun kewaspadaan, pemerintah justru menyampaikan pesan-pesan yang cenderung meremehkan, bahkan menyangkal bahaya, dampak, dan skala wabah, dilandaskan logika semu bahwa hal ini akan dapat membuat warga “tidak panik” demi kelangsungan kegiatan ekonomi.

Buruknya komunikasi ini memperparah koordinasi, sehingga upaya mitigasi Covid-19 yang seharusnya terintegrasi dan responsif menjadi terpecah, lamban, bahkan sia-sia dan kontraproduktif. Yang muncul adalah suatu pola penyangkalan yang terorganisir (organized denial) di mana komunikasi pemerintah ke rakyat Indonesia hanya berpindah dari satu penyangkalan ke penyangkalan yang lain.  Kegagalan komunikasi risiko dan koordinasi ini membuat publik semakin bingung dalam menghadapi dan beradaptasi dengan situasi pandemi, menciptakan persepsi risiko yang sangat rendah dan menurunkan kewaspadaan pada tingkat individu.

Ketiga, absennya visi dan strategi yang jelas, pemahaman yang benar mengenai keilmuan pandemi, selain tidak adanya struktur kelembagaan yang efektif untuk melakukan koordinasi, memimpin riset dan analisis, dan mengawasi pelaksanaan dan pengendalian secara efektif dan efisien. Keputusan Presiden Joko Widodo untuk menyerahkan penanganan krisis pandemi kepada Gugus Tugas Percepatan Pengendalian COVID-19 beranggotakan lintas kementerian dan lembaga terbukti gagal mempercepat pengendalian pandemi. Di sisi lain, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 juga tidak efektif dalam merespons begitu banyak persoalan di lapangan, seperti kebutuhan para first responder di lapangan, penyaluran bantuan sosial bagi masyarakat terdampak, penegakan aturan pembatasan sosial dan mobilitas, dan lainnya.

Keempat, absennya fungsi pemantauan, pengawasan dan evaluasi terhadap perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendalian yang diambil. Ini bisa dilihat dari tidak adanya pengawalan dan pengawasan yang jelas terhadap segala kebijakan penanganan COVID-19 yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia. DPR-RI misalnya, alih-alih fokus mengawasi tindakan dan kebijakan pemerintah eksekutif, justru memilih ‘membuat gaduh’ dengan membahas beberapa rancangan undang-undang yang bermasalah seperti RUU Cipta Kerja, RUU Haluan Ideologi Pancasila, dll.

Di sisi lain, Pemerintah Indonesia tampaknya tidak begitu mendengar dan memperhatikan masukan-masukan dari lembaga negara lainnya yang memiliki fungsi pengawasan dalam permasalahan COVID-19 ini, seperti Ombudsman RI, Komnas HAM, dll. Yang terjadi adalah kebijakan penanganan COVID-19 oleh Pemerintah Indonesia terus berjalan sendiri begitu saja tanpa kontrol dan kendali.

Kelima, ketiadaan infrastruktur hukum penanggulangan wabah pandemi COVID-19 menjadi salah satu problem fundamental mengapa penanganan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia menjadi carut marut. Hingga kini, belum ada Peraturan Pemerintah turunan dari Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan yang dibentuk. Hanya ada Peraturan Pemerintah terkait PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) saja yang isi pengaturannya masih terbatas. Ia tidak mencakup pada kebijakan Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah. Akibatnya kebijakan Kekarantinaan Kesehatan yang diterapkan oleh Pemerintah bersifat parsial semata. Oleh karenanya, penanggulangan wabah pandemi COVID-19 dapat dikatakan “ugal-ugalan”, di mana ia dilakukan tanpa berdasarkan aturan hukum yang jelas secara menyeluruh.

Keenam, pengawasan dan implementasi kebijakan pencegahan dan pengendalian COVID-19 di lapangan cenderung dilakukan oleh aparat pemerintah yang tidak memiliki kompetensi dalam hal isu kesehatan masyarakat. Ini dapat dilihat dari peran Badan Intelejen Negara (BIN) untuk menyelenggarakan tes PCR yang bukan merupakan kompetensi lembaga tersebut. Selain itu, penempatan personel gabungan TNI dan Polri dalam mengawal pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar merupakan keputusan yang tidak tepat. Keberadaan personel TNI dan Polri di ruang publik, seperti pusat perbelanjaan, pasar, dan tempat pariwisata akan mengesankan situasi darurat keamanan, sementara yang terjadi saat ini adalah darurat kesehatan. Pelibatan TNI dan Polri memberi kesan pemerintah sedang mengambil jalan pintas untuk memaksakan pemulihan ekonomi dengan cara “menertibkan” masyarakat melalui pendekatan keamanan. Kebijakan ini menjadi cacat karena tidak adanya indikator yang jelas dalam  mengawasi dan mengevaluasi pelibatan unsur TNI dan Polri untuk menekan angka penularan Covid-19 di Indonesia.

Ketujuh, perumusan dan pelaksanaan kebijakan penanggulangan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia masih minim perspektif nilai-nilai demokrasi dan hak asasi manusia. Demokrasi pada dasarnya mengedepankan partisipasi publik seluas-luasnya dalam merumuskan, menerapkan, dan mengawasi kebijakan. Namun hingga hari ini, kebijakan penangggulangan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia terkesan dirumuskan dan dijalankan secara satu arah dari Pemerintah tanpa melibatkan partisipasi publik. Di sisi lain, nampaknya tak ada kanal pengawasan formal yang bisa dijadikan wadah dan acuan warga untuk mengevaluasi secara berkala kebijakan penanggulangan wabah pandemi COVID-19.

Selain itu, ketiadaan perspektif HAM (Hak Asasi Manusia) menjadi penyebab carut-marutnya kebijakan penanggulangan wabah pandemi COVID-19 di Indonesia. Pemerintah Indonesia tidak benar-benar mengupayakan pemenuhan hak atas kesehatan warga, misalnya dengan memperbanyak pendirian dan revitalisasi infrastruktur fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum) yang mendukung pencegahan penularan wabah COVID-19, menggratiskan dan memperbanyak uji tes COVID-19, dan lain sebagainya. Yang terjadi di lapangan justru menunjukkan uji tes COVID-19 (khususnya Rapid Test misalnya) cenderung dikomersilkan dan mahal untuk diakses warga. Tidak hanya itu, tarif iuran BPJS untuk golongan 1 dinaikkan. Padahal pemenuhan hak atas kesehatan ini fundamental, karena ia merupakan hak asasi manusia dan hak warga negara yang sudah dijamin dalam berbagai regulasi hak asasi manusia dan UUD NRI 1945.

Karena itu, pada hari ini, kami mendesak pemerintah untuk segera merumuskan visi dan strategi yang benar berlandaskan pemenuhan kewajiban penghormatan dan perlindungan hak asasi manusia pemerintah sebagaimana diamanatkan konstitusi, serta menyusun kebijakan dan memastikan tata kelola penanganan wabah yang sepenuhnya berlandaskan prinsip-prinsip tata kelola yang baik (good governance): responsif, akuntabel, transparan, partisipatif, dan menjunjung tinggi kesetaraan dan inklusivitas. Secara khusus, kami mendesak pemerintah melakukan hal-hal sebagai berikut:

  1. Melengkapi aturan-aturan hukum pelaksana dari Undang-undang No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan Undang-undang No. 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dalam bentuk peraturan pemerintah, yang mana ia menjadi dasar acuan untuk pelaksanaan penerapan kebijakan Karantina Rumah, Karantina Rumah Sakit, dan Karantina Wilayah.
  2. Menunda pelonggaran status PSBB dan/atau kebijakan sejenis untuk membantu menekan laju transmisi virus corona. Pemerintah harus kembali menutup aktivitas kerja non esensial dan menerapkan evaluasi keputusan pelonggaran harus didasarkan pada parameter kesehatan, seperti rasio test minimum 1/1000 penduduk per minggu, serta kesiapan masyarakat yang diukur berdasarkan persepsi risiko mereka. Ini hanya bisa dilakukan jika pemerintah mengubah paradigma penanganan wabah dengan mengedepankan aspek kesehatan masyarakat dan keselamatan sebagai prasyarat untuk menjamin kelangsungan ekonomi, bukan sebaliknya.
  3. Melakukan komunikasi risiko pandemi publik yang benar dan konsisten. Pemerintah wajib menciptakan rasa aman yang didasarkan pada pemahaman risiko pandemi dan pengetahuan—bukan rasa aman palsu—sebagai hal yang fundamental. Pastikan pesan yang disampaikan berempati, konsisten mengedepankan aspek keselamatan dan kesehatan publik, dan membangun kewaspadaan berlandaskan ilmu pengetahuan dan data yang benar, bukan pseudosains. Pastikan juga agar semua elemen pemerintah memiliki pemahaman yang benar dan tidak menyimpang dari pesan tersebut.
  4. Transparansi Data. Perumusan kebijakan penanganan dan pengendalian wabah yang efektif dan efisien hanya bisa dilakukan dengan menggunakan data yang benar. Oleh karena itu, pemerintah harus berani jujur membuka data Covid-19 yang sebenarnya ke publik. Pemerintah tidak perlu menutupi data kematian akibat belum adanya kesempatan mendapatkan akses tes Covid-19 yang berbasis molekuler, atau PCR. Semua pasien yang meninggal akibat  Covid-19 baik suspek maupun probable harus diumumkan secara resmi setiap hari
  5. Meningkatkan kapasitas tes-lacak-isolasi dan menghentikan penggunaan rapid test untuk diagnosis dan sebagai syarat administratif perjalanan. Kapasitas tes-lacak-isolasi yang memadai adalah penting untuk menekan penyebaran wabah dan memberikan gambaran utuh mengenai kondisi pandemi terkini. Pemerintah harus meningkatkan kapasitas tes PCR melebihi anjuran rasio minimum 1/1000 penduduk setiap minggu (atau sekitar 40,000 tes per hari), menjadi 300.000 per hari. Pemerintah juga harus meghentikan kebijakan keliru penggunaan rapid test untuk diagnosis dan sebagai syarat administratif perjalanan dan masuk kerja dan/atau prosedur. Merebaknya penggunaan rapid test yang menjadi lahan bisnis justru berdampak pada turunnya tingkat kepercayaan publik terhadap upaya pemerintah untuk melakukan pelacakan secara masif.

Selain itu, Pemerintah juga harus membangun dan merevitalisasi infrastruktur fasos (fasilitas sosial) dan fasum (fasilitas umum) yang mendukung pencegahan penularan COVID-19 di lingkungan warga sekitar maupun di ruang-ruang publik seperti pasar, jalanan, instansi publik, dan lain sebagainya.

  1. Lakukan penataan ulang kelembagaan penanganan pandemi Covid-19. Presiden Joko Widodo perlu mengambil alih kendali penanganan pandemi, mengganti pejabat dan personel yang selama ini terbukti gagal menjalankan mandat yang diberikan, dan menata ulang kelembagaan untuk menjamin transparansi data, konsistensi informasi, dan koordinasi yang efektif antar-tingkatan pemerintahan, antar-lembaga, dan lintas pemangku kepentingan.
  2. Hentikan pendekatan keamanan dalam penanganan pandemi. Pemerintah harus mengevaluasi dan mengoreksi peran BIN yang masuk area layanan Kesehatan terkait Covid-19, seperti pengadaan layanan tes PCR dan pengembangan obat yang bukan merupakan tupoksi BIN. Tanpa peran dan parameter yang jelas, pelibatan unsur TNI dan Polri dalam memimpin percepatan penanganan pandemi Covid-19 adalah keputusan yang keliru, dan terbukti tidak efektif selama pelaksanaan Pembatasan Sosial Skala Besar karena tidak diiringi kebijakan yang jelas dan konsisten. Keberadaan personel TNI dan Polri di ruang publik, seperti pusat perbelanjaan, pasar, dan tempat pariwisata, dalam mengawal era “adaptasi kebiasaan baru” juga memberi kesan pemerintah sedang mengambil jalan pintas untuk memaksakan pemulihan ekonomi dengan cara “menertibkan” masyarakat melalui pendekatan keamanan. Selain itu, saat ini tidak ada indikator yang jelas untuk mengawasi dan mengevaluasi pelibatan unsur TNI dan Polri tersebut.

 

Demikian pernyataan bersama ini kami buat sebagai masukan dan sumbangsih kami kepada pemerintah dan pemangku kebijakan di Indonesia.

 

 

Jakarta, 19 Juli 2020

Hormat kami,

 

Lembaga-lembaga:

Koalisi Masyarakat Sipil digerakkan oleh:
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia
Asia Justice and Rights (AJAR)
AMAR
Amnesty International Indonesia
Indonesa Corruption Watch (ICW)
Jurnalis Bencana dan Krisis (JBK)
Kios Ojo Keos
Koalisi Warga Lapor COVID-19
KawalCOVID19
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Masyarakat
Lokataru Foundation
Migrant Care
Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D)
Protection International
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK)
RUJAK Center for Urban Studies
Transparency International Indonesia (TII)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI)
WatchDoc
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI)
Yayasan Perlindungan Insani
Jurnalis Krisis dan Bencana
Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)
Yayasan Perlindungan Insani

 

Individu-individu:

Pandu Riono, Ph.D.,

Iqbal Elyazar Ph.D;

  1. Panji Hadisoemarto., MPH;

Ricky Gunawan, MA.

 

Narahubung:

  • Rasyid Ridha (LBH Jakarta) – 081213034492
  • Yeyen Yenuarizky (CISDI) – 08111188190
  • Afif (LBH Masyarakat) – 081320049060